Tahun penuh hikmah
Paus Fransiskus benar-benar mempunyai cinta dan perhatian yang besar kepada kaum religius, sehingga tahun 2015 menjadi tahun yang dikhususkan untuk Tarekat Hidup Bakti. Kaum religius menjalani dan menghayati kehidupan yang berbeda di dalam dunia ini. Beliau menghendaki supaya kami, kaum religius, melakukan sesuatu yang membuat Gereja itu menarik melalui kesaksian hidup yang konkrit dan benar serta berbeda di tengah-tengah dunia. Kami, para Rubiah Karmel, sebagai bagian dari Tarekat Hidup Bakti yang menghayati kehidupan yang sungguh-sungguh khusus, yang selalu tinggal dalam biara, yang tidak melakukan kerasulan nyata dengan menjumpai banyak orang, juga menyambut dengan gembira Tahun yang penuh hikmah ini. Kami merasa seperti diingatkan dan disadarkan kembali akan keterlibatan kami dengan kehidupan kaum religius yang lain. Tahun ini menjadi masa khusus bagi kami untuk merefleksikan makna Hidup Bakti dalam Gereja. Kami pun menerima beberapa undangan berbagai kegiatan dalam rangka Tahun Hidup Bakti ini. Sebagai bagian dari Gereja, kami mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan oleh Keuskupan maupun oleh Paroki, karena kami pun tinggal dalam sebuah paroki dan Keuskupan. Semua kegiatan yang kami ikuti, kami sesuaikan dengan kemampuan dan acara dalam komunitas kami. Kami mengikuti Misa Pembukaan Tahun Hidup Bakti, seminar, live in, dan hadir dalam stand untuk promosi panggilan yang diadakan di Paroki “Gembala Baik”, yang berada di depan biara kami, sehingga beberapa Suster diperkenankan untuk sejenak mengunjungi, selain mereka yang memang ditugaskan untuk menjaga stand ini.
Kami pun menyadari akan kelemahan dan keberdosaan kami sebagai manusia lemah dan berdosa. Namun, kami pun mensyukuri atas rahmat berlimpah yang diberikan Tuhan kepada komunitas kecil kami. Meskipun kerasulan kami hanyalah kerasulan doa, namun kami tetap memberikan perhatian terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia dan Gereja. Kami tetap merupakan bagian dari dunia dan Gereja. Kami selalu mengikuti berbagai peristiwa yang aktual di dunia luar melalui beberapa majalah dan surat kabar, sesekali melalui TV. Kami membawa dalam doa-doa kami, masalah-masalah yang terjadi dalam dunia dan Gereja. Keberadaan dan kehadiran kami yang tersembunyi dalam keheningan, namun kami sadar akan tugas utama kami, yaitu kami berdoa atas nama Gereja dan untuk mewakili mereka yang tak punya waktu untuk berdoa, serta untuk mereka yang setiap hari disibukkan oleh aneka pekerjaan dan kegiatan yang bagaikan tiada hentinya.
Kaum religius sebagai tiang dan penggerak Gereja
Sungguh mengagumkan dan menakjubkan, kesaksian hidup kaum religius dari berbagai Tarekat yang tetap bertahan sampai saat ini, meskipun dalam perjalanan sejarah yang panjang (bahkan ratusan tahun) melalui jatuh dan bangun, namun kaum religius masih eksis di zaman yang semakin serba canggih ini, di mana jarak dan waktu sudah tidak lagi menjadi masalah. Kaum religius menjadi tiang dan penggerak Gereja. Tak bisa dibayangkan bagaimana warna Gereja Katolik tanpa kehadiran mereka! Merekalah yang mengajak dan mengajarkan berdoa kepada para umat. Merekalah yang memperkenalkan Tuhan Yesus di tempat-tempat yang belum mengenal kekristenan. Sungguh, betapa besarnya jasa dan pengurbanan kaum misionaris, yang rela meninggalkan tanah airnya untuk melayani dan bekerja di tempat-tempat yang terpencil dan paling pelosok. Di tempat-tempat yang sulit, bahkan membahayakan nyawanya sendiri. Tak terkecuali Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” yang dirintis oleh tiga Suster Karmelites dari Jerman dan dua Suster pribumi yang menerima pendidikan di Belanda. Sungguh besar jasa mereka yang rela meninggalkan tanah air tercintanya untuk memulai biara baru di Indonesia.
Perkembangan zaman yang luar biasa cepatnya tidak mampu menghentikan keberadaan kaum religius. Ada banyak kemudahan yang dapat mereka lakukan dengan aneka sarana yang semakin canggih. Mau tidak mau kami pun harus menyesuaikan diri dan mengikuti arus zaman, namun tetap harus dengan selektif yang ketat dan bijaksana. Jangan sampai kami hanyut terbawa arus, tetapi kami tetap harus waspada. Bukan hal aneh lagi bila berbagai gadget sudah merambah masuk ke dalam biara, tidak terkecuali dalam Biara Kontemplatif yang berklausura. Media komunikasi yang terus berkembang sangat membantu pelayanan kaum religius, asalkan dapat dipergunakan dengan tepat dan bijaksana.
Masuk Biara
Ketika saya masuk Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” di Batu pada thn. 1988 belum ada alat dan sarana canggih seperti sekarang ini. Pengenalan saya dengan Biara “Flos Carmeli” bermula dari beberapa lembar foto para Suster Karmelites di Batu yang saya lihat beramai-ramai dengan teman-teman yang bersama-sama sedang mengikuti retret panggilan di Malang. Waktu itu saya baru setahun berada di Malang. Jadi, saya belum begitu mengenal aneka biara yang bertebaran di sekitar Malang, termasuk yang berada di Batu. Dari pandangan mata yang melihat dan mengamati foto-foto para Suster Karmelites itu, menimbulkan beberapa pertanyaan dalam benak saya. Mengapa pakaian mereka berbeda dengan para Suster yang pernah saya jumpai? Jubah mereka mirip yang dipakai para imam, menutupi kaki sampai ke bawah. Mengapa saya belum pernah sekali pun berjumpa dengan mereka? (tentu saja karena mereka selalu tinggal dalam biara, hal ini belum saya ketahui sebelumnya). Saya mempunyai teman kuliah, asli anak Batu, yang tempat tinggalnya berdekatan dengan Biara ini. Suatu saat dia bercerita, bahwa di dekat rumahnya ada biara, yang para susternya tidak boleh ke luar dan tidak boleh berbicara. Waktu itu tahun 1981, saya hanya mendengarkan sepintas lalu, meskipun dalam hati juga bertanya-tanya, masak sih ada orang yang hidup seperti itu. Memang dalam hati penasaran, tetapi belum merasa tertarik saat itu.
Akhirnya, berangkat dari rasa penasaranlah, maka saya minta diantar oleh seorang Romo Karmel untuk dikenalkan dengan Rubiah Karmel yang hidup dalam Biara “Flos Carmeli” ini. Sejak kecil saya tidak punya cita-cita untuk menjadi suster. Namun setelah kuliah, keinginan menjadi suster baru terpikirkan. Saya ingin menjadi suster yang juga sekaligus mengajar, karena sejak kecil saya memang punya cita-cita untuk menjadi guru. Tak pernah sedikit pun saya membayangkan menjadi rubiah Karmelites yang tidak melakukan karya kerasulan aktif, yang sepanjang hari, bahkan seumur hidup hanya tinggal di tempat yang sama, sampai dikuburkan pun di kebun biara. Perkenalan saya dengan Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” mengubah semua rencana saya. Benarlah apa yang tertulis dalam Kitab Suci, sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku (Yes. 55, 8). Manusia hanya dapat merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan. Ketika saya ditanya, mengapa memilih Biara Kontemplatif, saya selalu menjawab, saya tidak pernah memilih, tetapi Tuhanlah yang memilihkan dan menempatkan saya di situ, dan saya mau. Tuhanlah yang telah menghantar, menuntun, dan membimbing saya sampai ke pintu klausura biara ini.
Sebelum masuk biara, saya sering menghadiri upacara pengikraran kaul pertama, kaul kekal, maupun tahbisan Imam Karmel. Dalam upacara ini selalu dinyanyikan lagu dengan syair: “Betapa indah dan senangnya tinggal bersama sebagai saudara.” Lagu ini mengiringi ucapan selamat yang diterima oleh mereka yang baru mengikrarkan kaul pertama, kaul kekal, dan tahbisan Imam. Adanya unsur doa dan persaudaraan yang kuat inilah yang membuat saya memutuskan masuk Biara Rubiah Karmel. Selain itu juga, Bunda Maria mendapat perhatian yang khusus dalam Ordo Karmel.
Berbeda sekali dengan zaman sekarang, ketika beberapa pemudi ditanya dari mana mengenal kami. Mereka menjawab, lewat YouTube. Pada hari ulang tahun Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” yang ke-50 tahun 2012, kami membuat video dengan judul “Suara Keheningan”, yang dapat dilihat di YouTube. Video ini untuk memperkenalkan kehidupan kami, khususnya untuk para pemudi yang sedang mencari di biara mana mereka merasa terpanggil.
Perkembangan dan perubahan
Ketika saya masuk biara, komputer baru dikenalkan di sekolah-sekolah. Di biara juga belum mempunyai komputer. Baru beberapa tahun setelah saya berada di biara, ada sebuah komputer yang khusus untuk keuangan. Terus terang, kami agak ketinggalan dalam hal ini. Saya mendengar beberapa istilah yang berkaitan dengan komputer, tetapi tidak mengerti apa-apa soal itu. Komputer yang saat itu sudah menjadi hal yang umum dan banyak digunakan orang, tetapi kami masih belum menggunakan komputer, kecuali hanya satu Suster yang bertugas sebagai prokuratriks itu. Tahun 2003 barulah beberapa Suster belajar komputer. Saya sudah mulai mengerjakan beberapa tugas dengan komputer. Sungguh berbeda sekali dengan mesin tik yang biasa saya gunakan. Komputer memudahkan dan mempercepat pekerjaan saya. Beberapa buku yang dulunya masih menggunakan ejaan lama mulai saya perbaiki dengan komputer. Perkembangan komputer pun cepat. Untuk menyesuaikan, mau tidak mau saya pun ikut menyesuaikan dengan program yang sedang berlaku, karena program-program yang lama sudah ditinggalkan. Memang harus saya akui, program yang terbaru biasanya lebih lengkap dibandingkan dengan program yang lama. Ini membuat saya harus terus belajar.
Setelah komputer diperkenankan masuk biara saya, maka beberapa tahun kemudian kami mulai juga mempunyai alamat Email, mengingat hubungan dengan luar negeri akan lebih mudah dan cepat bila dilakukan dengan Email, yang sebelumnya kami lakukan dengan surat menyurat. Dengan cara yang masih tradisonal dan manual, kami masih mengirim surat lewat kantor pos. Kami masih juga menunggu dan mencari informasi, apakah kiriman surat sudah diterima atau belum. Juga dengan risiko surat penting akan terlambat datang ke tempat yang dituju, bahkan hilang tak tahu ke mana. Kami sudah mengalami itu semua. Kini Email sangat membantu dan dijamin dalam waktu yang amat singkat sudah sampai pada tempat yang dituju.
Saluran internet di biara saya hanya dipasang di kantor Suster Priorin. Beliaulah yang sering membuka Email, bila ada hal yang penting untuk komunitas, baru akan dicetak, supaya dapat dibaca oleh semua Suster sekomunitas. Di kalangan masyarakat mempunyai alamat Email adalah hal yang biasa. Sekarang anak-anak usia sekolah menengah atas, sebagian besar sudah mempunyai alamat Email. Relasi antar komunitas religius juga sudah dapat kami lakukan lewat Email. Karena kami hidup di tengah-tengah dunia yang selalu berubah dengan cepat dalam media komunikasi, maka supaya tidak ketinggalan jauh, maka akhirnya kami pun juga ikut menggunakan media komunikasi tersebut. Namun tidak semua kami ikuti, kami merasa tidak perlu untuk memiliki Face Book, Twitter, atau pun Instagram. Meskipun dengan jujur harus saya akui, saya sama sekali belum mengerti apa itu, untuk apa, dan bagaimana penggunaan itu semua.
Ketika HP sudah menjadi hal yang biasa digunakan banyak orang, juga oleh kaum berjubah, di biara kami masih belum ada satu HP pun. Kami masih belum merasakan perlunya memiliki HP di biara. Ketika kami berada di luar biara dan memerlukan untuk menghubungi Suster di biara, kami masih mencari-cari di mana ada wartel. Waktu itu masih ada beberapa wartel di pinggir jalan, meskipun agak sulit ditemukan dan beberapa sudah tidak berfungsi.
Memiliki HP barulah kami pertimbangkan, ketika ada salah seorang Suster kami yang sakit, sehingga tidak dapat meninggalkan kamarnya. Suster ini sering menerima telepon, tetapi tidak memungkinkan untuk datang ke tempat telepon itu berada. Dengan adanya HP di kamar, maka ini memudahkan Beliau untuk tetap berelasi dengan mereka yang mau berbicara lewat telepon. Biasanya mereka mempunyai masalah dan mohon bantuan doa. Jadi, sekarang lewat HP, para umat yang memerlukan bantuan doa, cukup dengan mengirimkan sms atau berbicara lewat HP. Mereka yang berada di tempat yang jauh, tidak perlu harus datang ke biara, bila memerlukan untuk berkonsultasi atau memohon bantuan doa. Oleh Suster ini, permohonan doa lewat sms ditulis di kertas, lalu ditempelkan di papan khusus, sehingga dapat didoakan oleh semua Suster. Kini HP menjadi sarana pelayanan doa bagi mereka yang memerlukannya.
Meskipun di biara sudah ada HP, namun masih banyak Suster yang tidak dapat menggunakan HP. Sebagian besar dari kami belum mengenal HP sebelum masuk biara. HP ini khusus untuk Suster yang sakit dan tentu saja Suster yang merawatnya juga dapat menggunakan HP ini. Ada peristiwa lucu dan menggelikan karena ketidaktahuan dan ketidakmengertiannya bagaimana cara menggunakan HP. Seorang Suster ketika sedang menjaga Suster yang harus opname di RS, dipesan untuk memakai HP tersebut. Suatu saat HP itu berdering pertanda ada telepon masuk. Karena belum mengerti atau belum diajari bagaimana menggunakan HP tersebut, maka HP yang sedang berdering itu hanya ditimang-timang saja tanpa tahu harus diapakan. Memang sudah ditekan di bagian untuk menerimanya, tetapi dia tetap tidak dapat berkomunikasi. Akhirnya Suster yang menelepon menggunakan telepon di kamar sakit tersebut. Ketika ditanya, mengapa tidak diangkat, Suster yang menjaga itu mengatakan sudah mengangkatnya. Lalu ditanya lagi, apakah sudah didekatkan ke telinganya … ternyata HP tersebut tidak dibawa ke telinganya, ya tentu saja dia tidak akan mendengar apa-apa. Yah, begitulah kalau masih gaptek. Suster yang lain lagi, ketika disuruh menjaga Suster yang opname di Rumah Sakit, HP itu langsung disimpan dalam lemari. Dia berpikir, kalau memang perlu bisa menelepon lewat rumah sakit. Memang diperlukan kemauan untuk belajar hal yang baru, meskipun sudah berumur.
Saya sendiri pun punya pengalaman yang agak serupa, ketika saya menengok ibu saya yang opname dan menjaganya, kakak saya meminjamkan dan meninggalkan HP untuk saya. Namun ketika HP itu berdering pertanda ada sms masuk, saya juga merasa kebingungan, tidak tahu bagaimana membuka dan membaca sms tersebut. Saya hanya dapat menerima dan menelepon, tetapi tidak mengerti bagaimana cara membaca sms.
Ketika ada dua Suster yang berobat ke Rumah Sakit, yang semula dikira akan lama menunggu, ternyata hanya sebentar. Mereka ingin memberi tahu dan menghubungi supir untuk menjemputnya segera karena si supir tidak ada di tempat parkir seperti biasanya. Berhubung tidak membawa HP, maka mereka tampak seperti orang bingung. Untunglah ada seorang Ibu yang tanggap dan memerhatikan mereka. Ibu itu bersedia meminjamkan HP nya, tetapi Ibu itu harus membeli pulsa dulu karena selama ini dia hanya berkirim sms, belum pernah menelepon. Kebingungan kedua muncul karena tidak tahu berapa no. HP sang supir. Akhirnya, menelepon dulu ke biara untuk menanyakan no. HP supir tersebut, baru kemudian dapatlah mereka menghubungi supir untuk menjemputnya. Nyatalah betapa terasa perlunya membawa HP ketika sedang berada di luar biara, di perjalanan. Dari berbagai pengalaman ini, setiap Suster yang sedang bepergian, diharapkan membawa HP, sehingga memudahkan untuk dihubungi dan menghubungi sesama Suster bila diperlukan. Saat ini HP bukan lagi menjadi barang mewah atau benda yang tabu bagi kaum religius, asal saja tahu menggunakan secara tepat dan bijaksana.
Kami sering mendapat kunjungan dari aneka rombongan, seperti dari anak-anak misdinar, OMK, anak-anak sekolah, kelompok Legio Maria, kelompok Ibu-ibu dari berbagai tempat. Pada umumnya mereka datang untuk lebih mengenal kehidupan kami. Ada cukup banyak yang belum tahu kalau ada biara semacam ini, yang para Susternya sepanjang hari hanya tinggal di dalam, dengan melakukan pekerjaan kecil-kecil di tengah-tengah tugas doa yang menjadi tugas utama kami. Karena merasa penting, maka kami membeli LCD dan Laptop untuk keperluan ini. Kalau dulu kami merasa cukup dengan berbicara saja, maka kini kami melengkapinya dengan video, juga dengan foto-foto aneka kegiatan kami, yang dapat menjelaskan lebih terinci.
Keindahan mengikuti Kristus
“Betapa gembira hatiku, ketika dikatakan kepadaku, mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kakiku telah berdiri di dalam rumah-Mu, ya Tuhan.” (Mzm 122, 1-2). Saya bersyukur gembira karena menjadi milik-Mu, Tuhan (Kel. 34,9). Bagi saya, berada di rumah Tuhan, itu saya artikan sebagai tinggal di biara (komunitas). Keberadaan saya sebagai Rubiah Karmel telah memberi kesaksian yang nyata bagi orang-orang yang datang berkunjung ke biara. Saya mencintai panggilan saya sebagai Rubiah Karmel yang sehari-hari hanya tinggal dalam komunitas dengan pribadi-pribadi yang sama. Saya menjalani dan menghayatinya dengan kebebasan batin. Dengan kesadaran diri yang penuh saya menerima semua konsekuensinya. Saya mengisi hati saya ketika bangun di pagi hari dengan rasa syukur, sukacita, gembira, dan bahagia karena saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup sebagai Rubiah Karmel. Meskipun saya menyadari tidaklah selalu kegembiraan itu akan bertahan sepanjang hari hingga menjelang tidur. Namun, setidaknya saya membiasakan diri untuk mengawali hari dengan hati yang bergembira, karena dengan hati yang diwarnai rasa gembira akan banyak membantu saya dalam menjalani dan menghayati satu hari ini. Saya diberi kesempatan seluas-luasnya oleh Tuhan untuk membantu siapa saja yang memerlukan bantuan doa, dan saya melakukan permohonan itu.
Beberapa kali saya menerima ungkapan spontan dari tamu yang datang berkunjung. Suatu pagi, ketika saya membukakan pintu, seorang Bapak yang sudah saya kenal langsung berkomentar demikian ketika melihat saya, “Suster, wajahnya tampak segar dan cerah, Suster tampak bahagia…” Sesaat saya terhenyak dengan ungkapan yang tiba-tiba ini. Begitu pula seorang Suster yang tidak saya kenal langsung bereaksi begini, ketika saya membukakan pintu, “Saya melihat Suster tampak bahagia di sini …” Dari ungkapan ini saya menyadari, betapa rasa bahagia itu tidak dapat disembunyikan. Terasa aneh sekali kalau orang lain dapat melihat kebahagiaan saya, namun saya tidak menyadarinya. Memang, sesungguhnya saya bahagia dengan kehidupan yang sedang saya jalani dan hayati ini, sejak pertama kali kaki saya menginjak dan memasuki biara ini. Merasa bahagia bukanlah berarti perjalanan hidup saya senantiasa mulus bagaikan jalan tol. Tidak! Saya tetap mengalami jatuh bangun, seperti halnya yang dialami oleh para religius pada umumnya. Ketika saya jatuh karena kelemahan dan keterbatasan saya, saya tidak berhenti hanya mengasihani dan menangisi diri atau hanya menyesali apa yang telah terjadi, tetapi saya berusaha untuk tetap dapat bangun dan berjalan kembali menapaki jalan panggilan yang telah disediakan oleh Tuhan sendiri bagi saya. Hati saya tetap berteriak memohon uluran tangan Tuhan untuk menarik dan mengangkat atau bahkan mungkin menggendong saya kembali, manakala saya merasakan sungguh betapa beratnya kaki saya harus melangkah kembali. Saya percaya dengan sepenuh hati, bahwa Tuhan yang telah membawa dan menempatkan saya di biara ini, akan selalu menjaga dan membimbing langkah hidup saya. Begitu pula, Maria Bunda Karmel, sebagai Bunda rohani saya akan selalu menemani perjalanan hidup saya menuju kepada Puteranya, Yesus.
Beberapa kali mimpi saya sebagai Rubiah Karmel benar-benar telah menjadi kenyataan. Terima kasih, ya Tuhan, Engkau telah memanggil saya sebagai Rubiah Karmel. Saya mensyukuri dan bergembira diperkenankan mengikuti Kristus dengan cara hidup seperti ini, karena tidak banyak orang yang mendapat kesempatan dan dipilih untuk menjalani kehidupan semacam ini. Hidup saya dapat berguna bagi banyak orang, tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu, juga tidak selalu harus mengenal siapa yang saya bantu dalam doa. Di era globalisasi ini, saya masih merasakan betapa beruntung dan bersyukurnya saya dipanggil sebagai Rubiah Karmel. Banyaknya sarana komunikasi yang begitu modern tidaklah menjadi gangguan atau beban bagi saya pribadi karena saya tahu dan sadar, bahwa semua itu hanyalah sarana untuk memudahkan pelayanan, dan bukan tujuan yang harus saya kejar atau saya peroleh. Saya memahami, betapa berat dan sulit tantangan mengikuti Kristus sebagai religius bagi kaum muda di era globalisasi ini. Mereka yang sejak kecil sudah diperkenalkan dan sudah terbiasa menggunakan berbagai gadget, tentu tidaklah mudah untuk melepaskan dan meninggalkan begitu saja, ketika masuk biara. Kesungguhan hati mereka untuk menjadi pengikut-Nya lebih teruji. Asalkan saja mempunyai rasa cinta yang kuat dan berkobar-kobar kepada Tuhan, maka semuanya akan dianggap bukan apa-apa, bahkan dianggapnya sampah, seperti ungkapan Rasul Paulus. Semuanya kuanggap sampah setelah perkenalanku dengan Kristus Yesus, supaya aku dapat memeroleh Kristus (Flp. 3, 8).
Keindahan mengikuti Kristus sebagai religius, haruslah juga membuahkan kegembiraan. Bagi saya, bergembira sebagai religius itu hukumnya wajib, tak bisa ditawar-tawar. Mengapa? Karena Pribadi yang saya ikuti adalah sumber kegembiraan sejati. Tuhanlah sumber gembiraku! Tak ada kegembiraan yang begitu besar dan luar biasa, selain daripada kegembiraan yang saya peroleh dari Yesus sendiri. Biara seharusnya menjadi tempat orang-orang yang bergembira. Menjadi religius itu merupakan suatu panggilan yang membawa kegembiraan bagi sesama. Nah, untuk dapat membawa dan membagikan kegembiraan, maka saya harus lebih dahulu mempunyai kegembiraan itu. Cinta akan panggilan sebagai Rubiah Karmel itulah yang membuat saya dapat mengungkapkan kegembiraan dan merasa bahagia. Cinta selalu membuat seseorang bergembira, bersukacita, bersemangat, dan ceria. Hati yang dipenuhi dengan kegembiraan menjauhkan saya untuk berpikir negatif terhadap sesama. Rasa gembira menghindarkan saya untuk bekeluh kesah dan bersungut-sungut dalam menerima dan melakukan tugas apa pun yang diberikan kepada saya, betapa pun terasa berat tugas itu bagi saya. Kegembiraan yang bersumber dari Tuhan memudahkan saya untuk menerima kelemahan dan kekurangan sesama, seraya menyadari kelemahan dan kekurangan saya sendiri. Hati yang bergembira tidak mudah membuat saya mengadili dan menghakimi sesama, tetapi memampukan saya untuk menerima sesama apa adanya. Ketika hati saya bergembira, saya mudah untuk berterima kasih dan bersyukur dalam segala hal, juga termasuk bila saya menghadapi situasi yang kurang/tidak menyenangkan.
“Walau pohon ara tidak bertunas dan pohon anggur tidak berbuah; walau penghasilan zaitun tidak memuaskan dan ladang tidak memberi panen; walau domba seekor pun tidak ada di kandang dan tiada ternak di dalam pagar. Namun aku bersuka ria dalam Tuhan, bersorak sorai dalam Allah yang menyelamatkan daku” (Hab. 3, 17-18). Bagi saya, betapa indah dan luar biasanya ayat-ayat ini! Ternyata kegembiraan sama sekali tidak ditentukan oleh apa pun di dunia ini, dan tidak juga oleh manusia, tetapi semata-mata oleh Tuhan sendiri. Dialah satu-satunya sumber kegembiraan karena Dialah Sang Penyelamat.
Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah doa berdasarkan refleksi pribadi saya sebagai Rubiah Karmel. “Ya Tuhan, siapakah aku ini, sehingga Kauhantar, Kaubawa, dan Kautempatkan aku ke Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli”. Aku menjadi seperti sekarang ini semata-mata hanyalah kemurahan dan kebaikan-Mu, hanyalah karena Penyelenggaraan Ilahi-Mu. Tanpa-Mu Tuhan, aku ini bukan apa-apa. Kubiarkan langkahku Kautuntun, kuulurkan tanganku untuk Kaubimbing ke arah yang Kaukehendaki. Kupercaya, tak pernah Kautinggalkan daku sedetik pun. Kaubebaskan daku dari berbagai urusan rumah tangga, dari persoalan keluarga karena aku bukanlah seorang ibu rumah tangga. Kaubebaskan daku dari berbagai urusan dengan anak-anak didik karena aku bukanlah seorang guru yang bekerja di sekolah. Kaubebaskan daku dari berbagai urusan dengan para pasien karena aku bukanlah seorang perawat yang bekerja di rumah sakit. Kaubebaskan daku dari berbagai urusan dengan para umat/keluarga karena aku bukanlah pekerja pastoral di Gereja. Kaubebaskan daku dari kegelisahan untuk tidak mendapatkan pekerjaan, seperti yang dialami oleh banyak orang yang masih menganggur, karena aku selalu Kausediakan aneka pekerjaan dan tugas dalam biaraku. Sebagai Rubiah Karmel, Kauberi aku pekerjaan yang tiada artinya di mata dunia. Aku menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi dan WC, membersihkan selokan, merawat kebun, dan masih banyak pekerjaan kecil-kecil lainnya. Semua pekerjaan itu kulakukan dengan hati yang penuh syukur dan bergembira, yang di dalamnya kutaburkan cintaku. Pekerjaan ini sebagai persembahan diriku kepada-Mu. Ungkapan St. Teresa dari Yesus, selalu lebih banyak mencinta, ini sering bergema dalam hatiku. Kutemukan Engkau di antara panci-panci di dapur, pakaian-pakain kotor yang harus dicuci, aneka bunga di kebun, suara kicauan burung di pagi hari. Sungguh Tuhan, Engkau selalu hadir dan dapat kurasakan kehadiran-Mu di mana pun aku ditugaskan di biara ini.
Ketika bangun di pagi hari, kuucapkan syukur kepada-Mu atas istirahat semalam. Kutahu Engkau telah menantiku di kapel, meskipun kehadiran-Mu telah langsung kurasakan di saat kubuka mataku. Sebagai Rubiah Karmel, hanya satu yang selalu Kauinginkan dariku, tinggallah selalu di hadirat-Ku, entah apa pun yang sedang kulakukan, di mana pun aku bekerja, dan dalam kondisi apa pun. Ya Tuhan, hanya satu inilah yang memang kukehendaki, tinggal di rumah-Mu (di biara) untuk merasakan kebaikan-Mu dan menikmati kediaman-Mu.
Sungguh, aku mencintai panggilanku sebagai Rubiah Karmel, yang membawa berbagai kegelisahan, kecemasan, dan persoalan dunia ke hadapan-Mu, tanpa aku harus berada di tengah-tengah dunia. Aku hanyalah alat di tangan-Mu, ya Tuhan, hanyalah penyalur berkat dan rahmat-Mu bagi mereka yang memerlukan uluran kasih-Mu. Pakailah aku sesuai dengan kehendak-Mu. Ketika aku berdoa, kuingat itu bukanlah untukku sendiri, namun kuberdoa atas nama Gereja, untuk mereka yang tak punya waktu untuk berdoa. Untuk mereka yang tak tahu bagaimana mereka memohon kepada-Mu. Seluruh hidupku ini adalah milik-Mu, ya Tuhan. Biarlah aku tetap tinggal di tempat yang tersembunyi ini sampai ajal menjemputku. Terima kasih, ya Tuhan, atas panggilan-Mu ini. Betapa indahnya panggilan-Mu, Tuhan. Amin.” Sub Tutela Matris.
***
Oleh: Sr. M. Laura, O. Carm.
Yang terkasih, Suster Maria Laura O. Carm, Prior Biara Flos Carmel Batu
Senang sekali membaca tulisan Suster di Web. Terutama ttg Kaum religius sebagai tiang penggerak Gereja, tetapi juga sharing pengalaman panggilan. Saya ikut berdoa bagi 2 Suster Postulan baru. Agar bertumbuh dan makin menemukan jati diri dalam panggilan sebagai Suster2 rubiah Carmelit.
Mohon Doanya
Kami Paroki St. Yohanes Pemandi Janti pada tgl. 12 /13 Januari 2019 merayakan Hari Jadinya yang ke 18. Semoga Paguyuban komunitas Paroki SYP bertumbuh seperti “Jemaat Perdana” dan dapat menyerang dan menggarami masyarakat sekitar. Shg kehadiran Gereja menjadi kehadiran yang membawa kedamaian dan kesejahteraan.