Jl. Ridwan 07 Kota Batu 65311 floscarmelibatu@gmail.com 0341-591913

Doa di Kaki Gunung Panderman

Sumber Foto: http://arsip.tembi.net

Sebuah bangunan yang sunyi di ujung Jalan Kasiman. Tak jauh di belakangnya, terlihat Gunung Panderman. Kesunyian Gunung Panderman seakan meresap ke dalam bangunan itu, hingga makin terasa sunyilah bangunan itu. Apalagi di sekitar bangunan itu tak terdengar kegaduhan, karena di sekitarnya belum ada perkampungan. Ya, sebuah bangunan sunyi di sudut Kota Batu. Begitulah kira-kira kesan saya tentang Biara Karmelites, 50 tahun lalu.

Waktu Biara Karmelites dibuka, saya masih anak kecil, berusia sepuluh tahun. Saya belum tahu apa-apa tentang biara. Saya hanya heran, karena kata orang, dalam waktu dekat akan masuk ke dalam biara itu beberapa suster, di antaranya adalah tiga suster berasal dari Jerman. Sebentar lagi biara akan diresmikan. Selesai diresmikan, pintu biara akan ditutup untuk selamanya, dan suster-suster itu akan tinggal di sana, dan mereka tak boleh lagi keluar. Katanya, jangankan keluar biara, di dalam biara pun mereka tak boleh bicara.

Mengapa ada biara demikian? Mana mungkin orang akan bertahan di sana, tanpa boleh keluar pintu sama sekali? Saya, yang masih anak-anak itu, seakan dihadapkan pada kenyataan yang tak dapat saya pahami, dan pertanyaan yang tak dapat saya jawab. Itukah yang namanya misteri? Mungkin, tapi istilah misteri itu toh baru saya kenal kemudian, ketika saya sudah dewasa dan tahu tentang pelbagai istilah spiritual. Tapi kalau memang mesti dipakai kata “misteri”, berarti, pada usia sekecil itu saya sudah boleh merasakan, bahwa panggilan, tepatnya panggilan para Suster Karmelites, yang tak saya pahami itu, adalah sebuah misteri.

Syukur, bahwa misteri itu masih ada sampai sekarang ini. Ya, buat saya, keberadaan Biara Karmelites sampai sekarang ini adalah bukti, bahwa misteri, yang tak terselami itu, sungguh-sungguh nyata dan ada. Lima puluh tahun lalu, saya yang anak kecil itu sesungguhnya sudah mengalami bahwa panggilan itu adalah misteri, walau saya belum tahu menahu tentang istilah misteri itu.

Merasakan panggilan sebagai misteri tentu akan menguatkan kita. Karena dengan demikian, kita tahu, bahwa panggilan pertama-tama datang dari Tuhan dan terkait dengan Tuhan, yang tak dapat kita selami. Inilah sesungguhnya jawaban dari pertanyaan saya lima puluh tahun lalu: Suster-suster Karmelites itu hidup dalam misteri, karena itu mereka sanggup bertahan dalam biara, di mana mereka hidup terpisah dari dunia luar sama sekali.

Keheningan yang beriwayat

Lima puluh tahun lalu, saya adalah misdinar di Karmelites. Sebelumnya, saya adalah misdinar di gereja Paroki “Santo Simon Stock”, Batu, yang sekarang menjadi gereja Paroki “Gembala Baik”, Batu. Waktu itu pastor paroki Batu adalah Pastor Ten Kroode, O. Carm. Saya tidak ingat lagi, mengapa saya tidak lagi menjadi misdinar di paroki, tapi di Karmelites. Mungkin, karena di paroki sudah ada banyak misdinar baru. Namun mungkin juga karena Karmelites terasa lebih sunyi dan hening.

Kalau sekarang pengalaman itu harus diingat kembali, saya mesti bilang, sebagai anak, ternyata saya sudah diberi pengalaman tentang pentingnya keheningan. Sampai sekarang, saya sering dicekam oleh kerinduan akan keheningan. Sungguh keheningan terasa sebagai suatu kebutuhan, lebih-lebih di tengah tugas saya sebagai Yesuit, yang sering tenggelam dalam kesibukan dan kegaduhan. Bagi saya, keheningan adalah sumber inspirasi, sekaligus kekuatan yang membuat dan membantu saya untuk bisa memaknai tugas dan pekerjaan saya, juga melihat sesuatu yang lain di balik segala rutinitas hidup yang kerap terasa berjalan tanpa makna dan kedalaman.

Keheningan ternyata adalah sebuah riwayat. Maksudnya, kita bisa mencintai keheningan, kalau kita terlatih hidup dalam keheningan, atau sekurang-kurangnya pernah mengecap keheningan dalam-dalam. Mungkin inilah yang terjadi pada diri saya: Ketika kecil saya sudah membiarkan disentuh oleh keheningan, yang terpancar dari Biara Karmelites, di mana saya pernah menjadi misdinarnya.

Banyak penulis rohani mengatakan, bahwa Tuhan sendiri adalah keheningan, dan tak ada keheningan manusia siapa pun yang bisa melampaui keheningan-Nya. Kita hanya bisa menyediakan diri, agar keheningan-Nya meresap ke dalam diri kita kita. Betapa indahnya, bila keheningan Tuhan itu boleh merasuki diri kita. Hanya dalam keheningan itulah kita bisa merasakan indahnya peristiwa inkarnasi, ketika Tuhan diam-diam menjadi manusia seperti kita: Ketika segalanya diliputi kesunyian dan malam mencapai puncak peredarannya, turunlah sabda-Mu yang Mahakuasa, ya Tuhan, dari surga, dari singgasana kerajaan (Kebij 18: 14-15).

Semoga di tengah gegap gempita dan dunia yang semakin ramai dan tak mencintai lagi keheningan ini, Biara Karmelites tetap menjadi pancaran keheningan, sehingga dalam keheningannya itu Suster-suster Karmelites selalu bisa mewartakan misteri inkarnasi, misteri di mana keagungan Tuhan yang terselubung dalam keheningan menyusup ke dalam dunia tanpa kita ketahui.

Suasana doa

Karmelites adalah biara suster-suster pendoa. Mereka berdoa bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk gereja dan masyarakat dunia. Sebagai misdinar, waktu itu saya sudah ikut merasakan suasana doa itu hampir setiap pagi, sebelum saya berangkat sekolah di SMP Katolik, Batu. Karena misa sudah selesai pkl. 6.30 pagi, saya masih mempunyai beberapa waktu sebelum masuk sekolah, karena sekolah kami sangat dekat, praktis bertetangga dengan Karmelites. Maka, sambil menanti jam masuk sekolah, saya membiarkan diri duduk di kapel, atau duduk-duduk di tangga luar biara. Tanpa saya sadari saya ikut berdoa, walau saya tak ingat lagi apa yang saya doakan dan bagaimana saya berdoa. Mungkin lebih tepat, waktu itu saya sudah diberi kesempatan untuk belajar berada dalam suasana doa.

Kenangan ini menancap dalam-dalam di ingatan saya.  Ketika merasakan kembali kenangan itu, saya hanya bisa bersyukur. Dengan kenangan itu, saya jadi mempunyai kerinduan. Kerinduan untuk menikmati lagi perasaan, betapa di masa lalu, di saat saya masih sekecil itu, saya sudah boleh tahu, apa artinya hidup dalam suasana doa. Untuk memuaskan kerinduan itu tak ada cara lain, kecuali saya pulang ke Karmelites. Pulang, bukan dalam arti saya harus menempuh jarak geografis tertentu sampai saya tiba di Karmelites, tapi pulang dalam ingatan, ketika saya boleh menikmati betapa indah sesungguhnya suasana doa, yang pernah saya alami di masa kecil saya di Karmelites dulu.

Hidup dalam suasana doa itu kiranya sangat saya butuhkan dalam hidup saya sebagai Yesuit. Sebagai Yesuit, kami memang tidak mempunyai waktu doa berlama-lama. Tapi kerja dan tugas hidup harian kami harus memacu kami untuk berdoa. Bahkan, kami harus berusaha, bagaimana menjadikan kerja dan tugas hidup harian itu sebuah doa. Untuk itu, kami kiranya perlu berada terus-menerus dalam suasana doa. Mungkin itulah yang menjadi kandungan semboyan hidup kami: contemplativus in actione, kontemplatif dalam kerja dan tugas kami.

Tanpa saya sadari, pengalaman atau makna contemplativus sudah meresapi saya ketika saya menjadi misdinar di Karmelites dulu, dan itu terus merayap ke masa-masa sekarang ini, menguatkan hidup saya sebagai Yesuit, yang kalau tidak hati-hati mudah terjerumus melulu ke dalam aksi tanpa kontemplasi lagi. Ya, sampai sekarang kadang-kadang saya hanya mengucapkan sepatah kata doa, ketika saya ditelan kesibukan. Tapi karena itu saya katakan dalam suasana doa, cukuplah rasanya kata-kata itu terasa sebagai doa yang keluar dari jeritan hati saya. Untuk itu, saya pun ingin berterima kasih pada Suster-suster Karmelites, yang diam-diam dulu telah memasukkan saya dalam suasana doa, tanpa saya sadari.

Kerinduan akan panggilan awal

Dulu, di samping kapel Karmelites, di sebelah luar, ada garasi kecil. Di garasi inilah romo-romo dari Karmel menaruh skuternya. Saya sering masuk di dalam garasi itu. Duduk di sana berlama-lama. Sementara saya mencoba-coba menirukan lagu prefasi, seperti dinyanyikan oleh Romo Kutschruiter, O. Carm. Saya suka menyanyikannya. Saya sering dicekam kerinduan, kapan kira-kira saya sendiri boleh menyanyikan prefasi itu secara resmi.

Memang waktu itu saya sudah berniat menjadi calon imam, dan ingin masuk seminari. Ya, Karmelites memang bagian dari perjalanan panggilan saya. Malah menjadi bagian yang paling awal dari panggilan itu. Di Karmeliteslah, panggilan yang mulai menggugah saya itu disemikan. Dalam hal panggilan, saya belum tahu apa-apa, dan saya belum mengalami apa-apa. Toh saya berani menjawab “ya” terhadap panggilan itu.  Karmeliteslah tempat di mana untuk pertama kalinya saya mencoba merasakan dalam-dalam apa maksudnya jawaban “ya” itu.

Jawaban awal “ya” terhadap panggilan itu adalah titik yang sangat menentukan bagi perjalanan panggilan saya. Sekarang, setelah saya boleh merayakan 40 tahun dalam Serikat Yesus, saya merasakan benar, betapa indah isi dari jawaban “ya” itu. Indah, karena jawaban awal terhadap panggilan itu sesungguhnya adalah kekuatan yang tak pernah hilang. Setiap saya ragu, atau bimbang, dan merasa goyah, apakah saya akan melanjutkan panggilan, kata-kata “ya” di masa kecil itu tiba-tiba bergema. Sekecil itu, saya sudah berani mengatakan “ya”, masak saya akan mundur begitu saja? Ketika saya mengingat lagi jawaban “ya” itu, saya seakan dikuatkan lagi untuk berjalan terus, untuk tidak berputus asa dalam melanjutkan panggilan. Seakan sebuah kekuatan awali meresapi saya kembali, dan memerteguh saya lagi.

Adakah ini dalam jawaban awali itu sesungguhnya terkandung daya, yang menyerap para murid, sehingga mereka begitu saja meninggalkan jalanya dan pergi mengikuti Yesus pada saat pertama Ia memanggil mereka? Waktu kecil, saya tentu tidak tahu akan hal itu. Tapi setelah lama menjalani panggilan, saya kiranya boleh menduga, bahwa memang dalam jawaban awali itu sesungguhnya terkandung daya panggilan, seperti yang terjadi pada para murid, ketika Yesus memanggil mereka. Atau mungkin, jawaban “ya” atas panggilan awali itu jangan-jangan adalah sebuah jawaban seorang Samuel, setelah diberitahu oleh Eli: “Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu mendengarkan” (1 Sam 3:10). Samuel tidak tahu apa-apa tentang panggilan Tuhan, tapi ia berani menjawab panggilannya.

Merefleksikan hal ini, buat saya, Karmelites seakan adalah “rumah Allah”, seperti rumah Allah dalam kisah Samuel. Di “rumah Allah” inilah mungkin saya diam-diam mengalami daya panggilan, seperti dialami Samuel dan para murid pada panggilan pertama mereka. Jika demikian, tak mustahil bahwa dalam jawaban awali saya itu terkandung sebuah kekuatan, yang tak mungkin tergoyahkan, karena kekuatan itu berasal dari Allah sendiri. Mungkin itulah sebabnya, mengapa saat saya diterpa oleh keraguan dan kegelisahan,  saya dikuatkan kembali, setiap kali saya mengenang panggilan awal saya tadi. Inilah saatnya saya berterima kasih pada Karmelites, karena dari sinilah saya selalu boleh menimba kembali kekuatan panggilan awali saya itu.

Dalam kaitan dengan hal di atas, saya teringat kata-kata Santa Theresia Kanak-kanak Yesus ini: “Yesus tak pernah mengerjakan sesuatu, yang sebelumnya tidak Ia kerjakan sendiri. Jika Yesus tidak ingin mengerjakannya, masak Ia meletakkan dalam hati kita keinginan, yang Ia tidak dapat mewujudkannya.” Artinya, jika Yesus menanamkan sesuatu keinginan dalam hati kita, apalagi jika keinginan itu adalah keinginan untuk mengikuti-Nya, pastilah Ia sendiri yang akan melaksanakan dan mewujudkannya.

Di masa kecil, di Karmelites ini, Yesus kiranya telah meletakkan panggilan untuk mengikuti-Nya dalam hati saya. Tak mungkin Ia mencabutnya kembali, tak mungkin pula Ia tak membantu saya untuk mewujudkan keinginan itu. Malah sebaliknya, Ia sendirilah yang mewujudkan keinginan itu. Tanpa terasa, saya sudah menjalani panggilan sebagai Yesuit ini empat puluh tahun lamanya. Mengingat segala kelemahan dan keteledoran saya, itu sudah cukup menjadi bukti, bahwa Yesus sendiri yang melaksanakan terwujudnya keinginan, yang mungkin Ia letakkan dalam hati saya, empat puluh empat tahun lalu, ketika saya masih menjadi misdinar di Karmelites. Maka sekali lagi, Karmeliteslah tempat saya selalu bisa pulang, untuk merasakan kembali inspirasi awal panggilan saya, yang diletakkan oleh Yesus sendiri, yang kemudian dirawat-Nya sendiri, dan diwujudkan-Nya sendiri.

Rasul-rasul doa

Saya adalah Yesuit. Namun karena di masa kecil saya hidup dalam  lingkungan Karmel, dan lebih-lebih karena panggilan saya tak bisa dilepaskan dari Karmelites, spiritualitas Karmel tentulah selalu menggenang di hati saya. Terus terang, Karmelites adalah tempat, di mana saya secara nyata boleh merasakan bayang-bayang santa yang amat saya cintai: Santa Theresia Kanak-kanak Yesus. Pelbagai tulisannya sangatlah memengaruhi hidup saya. Tentu saja, “jalan kecil” yang diajarkannya sangatlah membantu meringankan jalan panggilan saya.

Terlalu banyak hal yang bisa saya katakan tentang dia. Pada kesempatan terbatas ini tak mungkin saya mengatakannya, bahkan dalam kata-kata yang sangat singkat. Tapi inilah yang kiranya harus saya katakan: Menjelang tahbisan imam, di mana saya bergulat dengan demikian banyak keraguan, saya membaca otobiografinya The Story of the Soul. Saya terharu, sampai di beberapa tempat saya sempat meneteskan airmata. Keharuan itu menyentakkan saya, bahwa saya tak perlu ragu lagi untuk menerima tahbisan imam, dan melanjutkan panggilan saya.

Saya tak tahu, mungkin keharuan itu berkenaan dengan pengalaman awal saya, ketika Yesus menyentuh saya untuk pertama kalinya, di mana saya diberanikan untuk mengikuti-Nya. Maka kalau toh keharuan itu harus dipulangkan, ia harus pulang ke masa kanak-kanak saya, ketika saya menjadi misdinar di Karmelites, puluhan tahun lalu. Syukurlah, dua puluh delapan tahun lalu, Januari 1984, akhirnya saya boleh memersembahkan misa yang pertama di Biara Karmelites, tempat saya misdinar dulu.

Saya sungguh bahagia, karena dalam kotbah misa pertama itu, saya sempat membacakan surat yang saya buat untuk Santa Theresia Kanak-kanak Yesus. Saya seakan bicara dengan Santa Theresia, tapi sesungguhnya saya bicara dengan Suster-suster Karmelites yang ada di hadapan saya. Layaklah demikian, karena buat saya Suster-suster Karmelites tercinta itu adalah wajah-wajah yang hidup dari Santa Theresia yang saya cintai. Setelah misa, di hadapan para Suster Kamelites, saya membaptis keponakan saya yang masih bayi, Cynthia Ardesia. Saya memberi nama baptis baginya: Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Peristiwa ini tentulah makin membekaskan kenangan yang mendalam bagi saya.

Sejak tahun 2009, saya diberi tugas menjadi Sekretaris Nasional Kerasulan Doa di Indonesia. Hampir 170 tahun lamanya, sejak didirikan pada tahun 1844, Kerasulan Doa dipercayakan oleh Bapa Suci kepada Serikat Yesus. Dengan demikian, bersama seluruh gereja, Serikat Yesus berusaha untuk menyebarkan kerasulan doa itu. Tujuannya adalah mengajak orang berdoa dan memersembahkan hidup hariannya untuk ujud-ujud Bapa Suci dan ujud-ujud gereja, baik universal maupun lokal.

Dalam tugas ini pun, kembali saya bersambung dengan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Sebab seperti dilaporkan oleh Delegatus Kerasulan Doa di Roma (2003), P. Aloys van Doren, SJ, berdasarkan informasi yang diperoleh dari Sr Camille, petugas arsip di Carmel of Lisieux,  ternyata Santa Theresia juga anggota Kerasulan Doa. Theresia menjadi anggota Kerasulan Doa pada waktu ia berumur menjelang 13 tahun. Keanggotaannya ditandai dengan pemberian sertifikat atas nama Thérèse Martin. Demikianlah, jauh sebelum ia masuk Biara Karmelites, ia sudah menjadi pendoa bagi gereja.

Tak heranlah bila di kemudian hari, ketika ia sudah di biara, makin bersemangatlah ia berdoa bagi gereja. Theresia menulis: “Di kaki Yesus dalam Sakramen Mahakudus, menjelang profesi saya, inilah yang akan saya buat di Karmel: Saya akan ikut menyelamatkan jiwa-jiwa, dan di atas itu semuanya saya akan berdoa untuk para imam.” Ia menuliskan lagi dalam otobiografinya sebuah tekad, yang sangat mirip dengan semangat Kerasulan Doa: “Aku ingin menjadi seorang puteri Gereja seperti ibu kami Santa Theresa, dan aku ingin berdoa bagi semua ujud Bapa Suci, karena aku menyadari, bahwa ujud-ujud Bapa Suci itu meliputi seluruh dunia, yang juga merupakan seluruh tujuan hidup saya… Begitulah, aku menyatukan diriku secara spiritual dengan para murid yang diberikan Yesus kepadaku: semua yang menjadi milikku, juga menjadi milik mereka semuanya.”

Seperti sudah saya katakan di atas, bagi Suster-suster di Biara Karmelites Batu adalah wajah-wajah yang hidup dari Santa Theresia. Maka seperti Theresia, Suster-suster Karmelites di Batu adalah rasul-rasul doa, yang tak henti-hentinya berdoa bagi kepentingan dan keprihatinan gereja. Mereka memang bukan rasul-rasul yang aktif, tapi dengan doa-doa mereka bagi gereja, mereka juga rasul, yang ikut menyebarkan Kerajaan Allah di dunia.

Sampai sekarang, saya sendiri yakin dan percaya, doa-doa mereka selalu menguatkan saya, di tengah segala beban, percobaan, dan kesulitan, sehingga saya bisa terus tabah dan kuat dalam imamat saya. Mana mungkin tidak? Sedangkan setiap hari mereka berdoa untuk kepentingan gereja, lebih-lebih untuk para imamnya, masak mereka tidak berdoa untuk saya, anak mereka, yang sampai kini dalam segala kelemahan terus berusaha untuk setia dalam menjadi imam gereja?

Saya percaya, kalau toh sampai sekarang Tuhan menganugerahkan rahmat kesetiaan dan keteguhan, sehingga saya boleh merayakan 40 tahun Yesuit bersamaan dengan pesta 50 Tahun Biara Karmelites di Batu, itu semuanya juga karena doa-doa Suster-suster Karmelites tercinta. Sungguh, dalam pengalaman saya, panggilan imamat saya amat tergantung pada doa-doa mereka yang memrihatini saya. Saya selalu merasa, doa-doa Suster Karmelites di kaki Gunung Panderman selalu bergema untuk menguatkan imamat saya. Untuk itu pada kesempatan ini selayaknya, saya mengucapkan syukur dan beribu terima kasih pada Suster-suster Karmelites yang saya cintai.

Selamat buat Suster-suster tercinta, yang merayakan 50 tahun pesta pendirian biaranya di kampung halaman saya tercinta, Kampung Hendrik, di bawah kaki Gunung Panderman yang indah.

***

Rm. G.P. Sindhunata, SJ
Kolese Santo Ignatius-Yogyakarta, 29 Januari 2012

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *