Jl. Ridwan 07 Kota Batu 65311 floscarmelibatu@gmail.com 0341-591913

Masa Persiapan

Sdri. Christina Sri Maharsi Poespowardojo

Pada tahun 1954 keinginan untuk mendirikan Ordo II Karmel mulai menemukan titik terang, ketika seorang puteri Indonesia pertama, yaitu Sdri. Christiana Maria Sri Maharsi Poespowardojo, menyatakan minatnya karena merasa terpanggil untuk menghayati hidup kontemplatif.

Desember 1953

Berangkatlah ia, seorang pemudi asli Jawa, meninggalkan Ibu-Bapanya, sanak saudara serta kota Malang, guna mengabdikan diri kepada Tuhan, sebagai perintis biara Karmelites di Indonesia. Sdri. Christiana Maria, setelah menyelesaikan sekolahnya, menantikan saatnya untuk berangkat.

Teman-temannya tak merasa heran akan panggilan istimewa itu, sebab memang dia seorang yang alim lagi saleh. Dengan pengurbanan yang besar, ia bertolak menumpang ‘kapal api’ (kapal laut) ke negeri Belanda seorang diri. Salju yang putih bersih menyambutnya, pasti dingin bukan main bagi putri dari tanah matahari. Dua minggu ia sempat menikmati suasana serta masyarakat di negeri baru itu di dalam keluarga Beijers, yang pernah menjadi gurunya di Indonesia dahulu.

2 Februari 1954

Terbukalah pintu klausura Biara Karmel “St. Maria Magdalena de Pazzi”  Elzendaal di kota Boxmeer, Belanda bagi Sdri. Christiana. Ia mulai hidup sebagai pertapa, jauh di negeri orang, di antara segala-galanya yang serba asing, sambil menantikan kawan yang akan menyusul dari Indonesia. Entah kapan.

Sr. Brocarda menerima jubah Karmel, 2 September 1954

2 September 1954

Diperkenankan menerima jubah Karmel dengan nama biara: Sr. Maria Brocarda. Disaksikan oleh beberapa mahasiswa yang saat itu studi di sana. Inilah saat mulai hidup sebagai seorang Novis, menghadapi masa percobaan. Dengan gigih semua diatasinya.

8 September 1955

Suster Maria Brocarda diperkenankan mengucapkan kaul sederhana untuk tiga tahun. Berdoa mohon segera disusul kawan setanah air. Akhirnya terkabulkan pula doanya.

2 Februari 1957

Lagi, seorang pemudi merasa dipanggil Tuhan untuk membantu melaksnakan tugas itu, maka ditinggalkan pula ayah yang telah tua serta semuanya. Dengan menumpang kapal laut yang sama, ia menuju ke tempat yang baru. Dalam musim panas sampailah dia di Negeri Belanda, untung baginya.

13 Juli 1957

Tiga tahun kemudian, masuklah  puteri kedua dari Indonesia, yaitu Sdri. Agnes Soejati Dipojudo ke Biara Elzendaal, menemani Sr. M. Brocarda. Mereka berdua menghayati hidup sebagai Rubiah Karmel di antara 30 Suster Belanda.

8 September 1958

Suster M. Brocarda Sri Maharsi diperkenankan mengucapkan kaul kekalnya. Telah selesai masa percobaan baginya. Tuhan telah memilihnya untuk selamanya.

3 Maret 1959

Sdri. Agnes Soejati Dipojudo dengan nama biara Sr. M. Redempta diperkenankan mengucapkan kaul kecilnya (kaul sementara). Mereka berdua di tengah para Suster selalu mengharapkan teman-teman dari Indonesia, tetapi tidak ada yang menyusul, sedangkan suasana antara Indonesia dan Belanda makin genting akibat perebutan Irian Barat (Papua), yang masih tetap berada di tangan Belanda. Satu per satu hubungan  kedua negara diputuskan. Keadaan tegang sekali. Orang Indonesia yang berada di Nederland dianjurkan pergi dari situ.

Sdri. Agnes Soejati D. memulai masa Novis, 8 Februari 1958 | Menerima jubah Karmel dengan nama Sr.Redempta

Kesehatan mereka berdua  tampak terganggu, beberapa kali bergilir ke rumah sakit. Akhirnya dokter menganjurkan supaya cepat kembali ke tanah airnya. Maka dicarinya akal bagaimana untuk kembali. Dimintanya bantuan Suster dari Jerman, sebab Suster Belanda tak mungkin boleh ikut serta. Tetapi Suster dari Jerman tidak dapat, sebab mereka akan mengadakan ‘stichting’ (mendirikan biara) sendiri. Permintaan dialihkan ke Brazilia, namun tak boleh pula. Sambil menanti saat, mereka berdoa agar Tuhan mengutus bantuan. Berdua saja tak mungkin untuk memulai biara baru dan tak akan diizinkan oleh Roma.

19 April 1960

Ordo  Karmel di Indonesia menjadi  Komisariat dengan Komisaris Jendralnya yang pertama: Romo Martinus Sarko Dipojudo, O. Carm.(kakak Sr. Redempta). Beliau mengetahui suasana kami, maka segera berusaha membangun biara Suster Karmel. Setahun lagi kami akan dipanggil kembali, sesudah suster yang kedua berkaul kekal juga. Namun dokter menyarankan agar secepat mungkin, tak boleh menanti setahun lagi. Segera Komisaris Jendral mencari tanah. Akhir bulan April mulai dibicarakan.

September 1960

Untuk mewujudkan kehadiran biara kontemplatif di Jawa Timur, di Keuskupan Malang, pada bulan September 1960, Rm. Martinus Sarko Dipujudo, O. Carm., selaku Komisaris Jendral Ordo Karmel Indonesia, membeli sebidang tanah di Jalan Kutilang (sekarang Jln. Ridwan), Batu – Malang (Jatim). Udara di kota ini sejuk. Suasana (kota Batu) yang sunyi dan tenang kala itu menjadi sarana penting dan dituntut bagi hidup para suster kontemplatif.

Pembangunan awal Biara Flos Carmeli di Kota Batu

November 1960

Mulai membangun. Diketuai oleh Komisaris Jendral sendiri, sebagai pengawas, Bapak Talip, Br. Jacobus Soeradji dan Ganep Goenawan yang kemudian sebagai Br. Redemptus. Sedangkan di Negeri Belanda sibuk mencari teman yang akan turut serta memulai biara baru nanti. Di Brazilia kebetulan pemilihan Provinsial baru. Mater Teresita berusaha mohon izin sekali lagi kepada Provinsial yang baru terpilih itu, dengan harapan akan diizinkan, tetapi sama halnya, tetap tidak mungkin, walaupun dengan perjanjian hanya meminjam tenaga selama diperlukan di Indonesia.

Biara Elzendaal dari atas

Untuk kedual kalinya mohon izin ke Jerman, mereka tetap berkeberatan, sebab ‘stichting’ ke Duisburg telah dekat pula, sedangkan mereka tak begitu banyak jumlah anggotanya. Secara tukar-menukar dengan Suster Belanda pun tak disetujuinya. Nah, kami kehabisan akal, harus dicari teman lain.

Biara Elzendaal sibuk mempersiapkan ‘stichting’ yang akan datang. Mereka berusaha akan memperlengkapi kebutuhan ‘stichting’, maka berani mohon bantuan para dermawan, dengan berbagai macam akal. Ternyata kami banyak mendapat perhatian dari para dermawan, mereka tidak memandang suasana politik antara Belanda – Indonesia.

Kembali ke Indonesia sudah pasti, hanya kapan dan naik apa, belum tahu. Mereka masih menantikan izin dari Roma untuk berangkat berdua terlebih dahulu. Jadi, kami mendapat izin istimewa, dengan alasan berupa surat keterangan dokter mengenai kesehatan Suster berdua dilampirkan. Lama, kami baru mendapat izin, sambil berharap mungkin Suster dari Itali dapat membantu. Namun ada yang mengingatkan untuk tidak dengan mereka (Suster dari Itali). Sebab bangsa, adat istiadat, dan kebiasaan yang sangat berbeda. Akhirnya, kami mengalihkan pandangan kepada Suster-suster dari Spanyol. Ada kemungkinan kami menyusul ke Filipina dahulu, melanjutkan pendidikan di sana, supaya putri-putri Indonesia akan lebih mudah masuk ke sana, sehingga kelak dengan jumlah yang diinginkan dapat kembali ke Indonesia. Ini pun tinggal rencana saja. Toh, kami tetap mengharapkan bantuan Suster dari Spanyol sebagai keputuan.

Suster Elzendaal sibuk menyiapkan segala keperluan untuk di Indonesia

Kami berdua ingin kembali ke Indonesia dengan kapal laut, agar banyak pertukaran udara , karena saat itu telah menginjak musim salju lagi. Barang-barang semakin menumpuk, mereka sibuk benar mempersiapkan segala kebutuhan kami berdua. Katanya, kasihan hanya berdua kalau tidak diperlengkapi, kepada siapa akan meminta. Sudah merupakan pengurbanan besar untuk kami berdua memulai sementara. Sementara surat-menyurat dengan Komisaris Jendral terus dilakukan. Komisaris Jendral belum pernah menyaksikan biara slot (klausura) suster, sehingga timbul kesulitan bagaimana harus membangunnya.

Januari 1961

Kira-kira pertengahan Januari tiba-tiba datanglah izin yang sangat kami nanti-nantikan bersama dengan tiket pesawat yang akan kami gunakan. Tgl. 4 Februari kami harus berangkat dan boleh mampir di Roma, akan dimintakan izin untuk diperkenankan beraudensi di depan Bapa Suci, waktu itu Paus Yohanes XXIII. Suasana dalam biara Elzendaal terasa semakin tegang setelah mereka mengetahui keberangkatan kami berdua semakin mendekat.

Banyak kenalan yang datang untuk memberi selamat jalan. Beberapa sebelumnya mereka mengadakan pesta perpisahan, bukan hari yang terakhir, sebab pasti terlalu berat untuk mereka semua, tetapi terutama untuk kami berdua. Pesta perpisahan sangat mengesankan bagi semua penghuni biara.

3 Februari 1961

Ucapan selamat dari Romo | Pembacaan surat pengutusan dari Romo Provinsial

Pukul lima sore dimulai upacara perpisahan, dengan diadakan astuti (pujian), semua dengan kotbah dan pembacaan perintah Paduka Romo Provinsial, Rafael Gooijer, O. Carm. kepada kami, Suster Indonesia, untuk memulai ‘sichting’ di Indonesia. Upacara dipimpin oleh paduka Pater Asisten Provinsial, Pater Valerius Hoppenbrouwers, O. Carm. didampingi oleh sekretaris Provinsial, Pater Balduinus Steneker, O. Carm. dan Pater Bonifacius Hazelbekke, Bapa Pengakuan mereka, sebab Paduka Pater Provinsial dengan Misi Prokuratornya sedang bervisitasi ke Filipina.

Ucapan selamat dari Suster Misericordia | Ucapan selamat jalan dari Ibu Arts

Astuti dihadiri oleh kenalan-kenalan berkebangsaan Belanda maupun para kenalan Indonesia yang kebetulan berada di sana. Koor para Suster Elzendaal menyanyikan lagu sebagai kenang-kenangan bagi kami berdua. Sesudah astuti, kesempatan memberi selamat jalan kepada kami berdua. Para mantan Misionaris serta Pater-pater yang hadir ada sekitar 9 – 11 orang. Sungguh kami mendapat per-hatian besar dari mereka.

4 Februari 1961

Pukul 04.30 Perayaan Ekaristi. Semalam-malaman kami berdua tidak dapat tidur, terharu akan meninggalkan biara, di mana kami telah dibina sekian lamanya. Berat mereka semua melepaskan kami berdua, Suster muda, bahkan yang seorang masih sebagai Suster yang baru berkaul kecil (sementara), sedangkan tugas kami berat, cukup beratnya.

Saat-saat terakhir perpisahan dengan para Suster Elzendaal

Pejabat Biara Elzendaal saati itu: Paduka Mater Teresita van Keijsteren O. Carm. sebagai Priorin, beliau cakap benar. Berkali-kali dipilih menjadi Priorin. Dalam selama masa jabatannya telah 3 kali diadakan ‘stichting’. Ke Brazilia tahun 1948. Ke Inggris tahun 1956, dan terakhir ke Indonesia.

Sebagai Suppriorin adalah Moeder Maria Alberta Peters, O. Carm. Beliau sangat aktif dalam mempersiapkan kebutuhan ‘stichting’, tanpa mengenal waktu, beliau bekerja untuk melengkapi berbagai keperluan. Mengumpulkan bahan-bahan, menjahit, dan memasukkan ke dalam peti, dsb. Beliau sungguh-sungguh sebagai Ibu yang ‘gemati’, juga setelah kami berdua berada di tanah air, mereka banyak mengirim surat dan keperluan lain-lain.

Di bandara Schipol; diantar oleh Ibu Arts dan beberapa Romo.

Sebagai Novice Meesteres adalah Moeder Mariella van Beckhoven, O. Carm. Dari tangan mereka bertiga itu serta para penghuni Biara Elzendaal lainnya, kami berdua, setelah selesai bersiap pkl. 06.00 pagi dilepas keluar slot (klausura), meninggalkan semuanya. Dalam gelap musim dingin berangkatlah dengan dibanjiri air mata. Perpisahan yang tak akan bersua kembali di dunia ini. Bagi para pembesar, berat hati mereka melepas kami berdua, sebagai anak yang masih ‘belum cukup umur’. Dengan diantar beberapa mobil menuju ke lapangan terbang Schipol oleh Pater Asisten Provinsial dan para kenalan. Karena udara jelek, maka terjadi keterlambatan, sehingga pkl. 13.00 baru berangkat. Dengan rasa berat benar, negeri tempat kami mengalami hidup kebiaraan, kekayaan rohani yang tak ternilaikan, ditinggalkan.

***