4 Februari 1961 (Roma)
Sore itu juga kami sampai di Roma, amat melelahkan, terutama bagi saya, Sr. M. Redempta, yang memang telah lemah sekali fisiknya. Perjalanan sangat memualkan baginya, muntah-muntah terus. Untung Sr. M. Brocarda lebih bertahan. Kami dapat melihat-lihat kota Roma dengan beberapa Basilika, terutama Basilika St. Petrus. Juga diperkenankan beraudiensi dengan Bapa Suci Paus Johanes XXIII bersama dengan para perawat dari Italia.
Bermalam di Roma 2 malam, diantar oleh Paduka Pater Asisten Jendral Jacobus Melsen, O. Carm., Rm. Kirdi Dipojudo, O. Carm. (kakak Sr. Maria Redempta), dan Romo Dionysius Sudartanta Hadisumarta, O. Carm. ke bandara. (yang kemudian menjadi Uskup Malang).
Bangkok
Sesudah sehari semalam terbang, siang harinya kami berdua mencapai Bangkok. Karena sesuatu hal, maka kami terpaksa tinggal di Bangkok yang sangat panas itu dua malam. Di sana kami berganti pakaian yang agak tipis.
9 Februari 1961
Berangkatlah kami ke Jakarta. Pukul lima sore sampailah kami berdua. Menginjakkan kaki kami di bumi Indonesia lagi. Banyak yang datang menjemput, di antaranya Rm. Albertus Hardawidagda, O. Carm. sebagai pejabat kepala kantor Wali Gereja di Jakarta bagian umum.
11 Februari 1961
Kami naik kereta api ke Surabaya. Di stasiun kami berdua dijemput oleh keluarga. Sr. M. Brocarda yang telah berpisah selama 7 tahun bertemu lagi dengan Bapak, Ibu, dan sanak saudara serta semua yang menjemputnya. Setelah dari Surabaya, mampir ke Malang, baru ke Batu.
14 Februari 1961
Sore hari kami berdua meninggalkan biara di Jln. Pandan, Malang ke tempat tujuan utama, Batu. Kami segera menuju bangunan yang masih sebagian dikerjakan dan tampaknya akan lama baru selesai. Sesudahnya, pkl. 17.00 kami menuju biara Suster Roh Suci (St. Maria) diawali dengan astuti, sebagai tanda terima kasih atas selamatnya perjalanan yang kami tempuh selama ini, yang dipimpin oleh Romo Komisaris Jendral sendiri.
Februari 1961
Kami berdua disambut oleh semua Romo Karmelit di Biara Karmel, yang dipimpin oleh Rm. G. Harjaka, O. Carm. Selama pembangunan biara belum selesai, atas kebaikan dan kemurahan hati para Suster SSpS, kami diizinkan menempati paviliun. Kami memulai kehidupan di Batu, di biara Roh Kudus (St. Maria) di belakang poliklinik. Dua kamar untuk kami. Sebuah untuk kamar tidur yang dipisahkan dengan tirai dari kain dan sebuah untuk kamar makan, rekreasi, kamar tamu, dsb. Saat itu kami hanya beristirahat, tidak diperkenankan bekerja. Setiap pagi ke kapel Suster, kecuali hari Minggu ke Biara Karmel menghadiri Misa dengan doa ofisi.
10 April 1961
Suster M. Brocarda tinggal seorang diri saja, karena Sr. M. Redempta beristirahat di Malang, kemudian di Surabaya. Baru kembali setelah lebih dari sebulan.
20 Mei 1961
Pada hari Pentakosta kedua, pindahlah kami berdua ke Biara Flos Carmeli, walaupun baru beberapa kamar saja yang selesai, secara darurat dapat ditempati. Seluruh kamar bagian timur sudah selesai. Selain dipakai untuk kamar tidur, juga dipakai untuk macam-macam. Untuk kapel pun, sementara hanya menggunakan salah satu kamar. Sejak saat itu setiap hari ada Misa Kudus di biara yang darurat. Sejak itu pula setiap hari setelah Ibadat Sore dinyanyikan lagu ‘Datanglah Roh Ilahi’ untuk mengucapkan syukur atas karya Roh Kudus dalam diri kami berdua. Demikian pula sesudah Ibadat Siang, kami menyanyikan lagu ‘Salam Bintang Laut’ untuk mendoakan para Suster di Biara Elzendaal.
1 Juni 1961
Bertepatan dengan Hari Raya Sakramen Mahakudus, tgl. 1 Juni 1961, mulai bertakhtalah Sakramen Mahakudus siang dan malam dalam tabernakel darurat pula. Alangkah bahagia kami berdua diperkenankan bersatu dengan Kristus, serumah lagi. Karena kekurangan Romo, maka pada hari Minggu kami harus ke Gereja. Penghuni biara hanya berdua, maka kami bergilir ke Gereja, supaya jangan kosong sama sekali. Kami hanya berdua dalam biara sebesar itu. Konperensi dan pengakuan dosa dapat dilaksanakan setiap minggu. Pasti sangat sunyi bagi kami yang hanya berdua, karena itu sering Romo Prior, Pater Mollink, datang untuk rekreasi bersama. Sewaktu bangunan belum selesai, sering pula Romo Komisaris Jendral datang meninjau, mula-mula setiap hari, lalu dua hari sekali, walaupun Beliau masih tetap mengajar di SMA. Kalau tidak pagi, siang hari datang menjenguk. Sebagai teman untuk meramaikan suasana, setiap kali diberi sepasang anjing atau kucing yang masih kecil, tetapi tidak bertahan lama, sering mati. Kami pernah mendapat anjing herder dari umat di Malang, ternyata anjing itu pulang kembali ke tuannya di Malang. Anjing yang amat setia. Sampai sore hari Br. Jacobus dan Sdr. Goenawan mengurusi bangunan. Pada suatu sore, kebetulan kami berdua lagi enak-enak berada di luar. Tanpa mengetahui kalau kami berdua di luar, pulanglah Br. Jacobus, seperti biasanya, pintu ke luar (dari oratori sekarang) selalu ‘dijeglegkan’ dan pintu besar dikuncinya pula. Setelah kami selesai berdoa serta melihat-lihat di luar, ingin masuklah kami. Tetapi alangkah terkejutnya, pintu terkunci, padahal kami tidak membawa kunci. Masuk ke dalam tidak mungkin, sedangkan ke luar pagar tembok pun tak mungkin pula. Tak seorang pun lewat di jalan. Sampai sekitar pkl. 19.00 datanglah penjaga malam, barulah dia dapat masuk dengan memanjat melalui lubang di atas pintu koor, lalu membukakan pintu untuk kami, padahal sore itu dingin sekali.
30 September 1961
Datanglah dua orang ibu guru yang akan membantu kami, untuk membeli beberapa keperluan, karena sebentar lagi biara akan selesai dibangun. Sampai saat itu, kami selalu mendapat kiriman makanan dari Biara Karmel, bahkan sampai datangnya ketiga Suster dari Jerman. Setiap kali akan mulai memasak, tetapi selalu gagal karena banyaknya tamu dan urusan lain. Akhirnya, kami hanya sanggup menanak nasi sendiri, tetapi lauk pauk tetap dari Biara Karmel. Pendeknya, jasa-jasa Biara Karmel sangat besar, selalu membuka tangan guna meringankan beban kami. Selalu siap sedia, baik Romo-romo sendiri maupun para Fraternya. Waktu libur selalu dipergunakan untuk bekerja di Biara Flos Carmeli, melakukan segala pekerjaan dan semua Frater mengulurkan tangan mereka dengan gembiranya, terbukti dari cara mereka bekerja serta suasana yang meriah, penuh nyanyian serta ‘banyolan’ (senda gurau) waktu bekerja. Para Suster Roh Kudus (SSpS) dan Sang Timur banyak pula membantu kami, juga mendapat bantuan dari keluarga-keluarga Katolik, baik dari batu maupun dari Malang. Demikian juga Suster-suster dari Sawahan.
2 Oktober 1961
Saat itu banyak angin bukan main, bangunan di tengah sawah, berarti menerima angin sebanyak-banyaknya. Kami sangat takut. Kira-kira Pkl. 16.00 Sr. Redempta mendengar suara sesuatu jatuh, dilihatnya dari pintu kamar, jendela-jendela masih utuh. Selesai berdoa, keluar akan mengantarkan teh untuk Bruder, heran meli-hat pohon-pohon pisang di seberang, serta seorang merumput di pekarangan. Barulah sadar, bahwa tembok keliling biara telah ambruk diterpa angin besar. Melihat ke sebelah timur di mana semula terdengar suara, di sana tembok kira-kira 20 m telah ambruk, dan di bagian barat sekitar 35 m juga ambruk. Jadi kami gugup. Malam itu juga dan beberapa malam berikutnya ada dua orang Frater secara bergilir menjaga. Konperensi sore itu dibatalkan. Dalam waktu dekat diperbaiki kembali.
Oktober 1961
Kami mendapat kunjungan Duta Vatikan untuk Indonesia, Yang Mulia Msgr. Alibrandi, yang mampir dari kunjungannya ke Biara Karmel. Bangunan dapat dikatakan hampir selesai.
15 Oktober 1961
Pemberkatan Biara Flos Carmeli oleh Msgr. A.E.J. Albers, O. Carm. didampingi oleh Rm. Komisaris Jendral dan Romo Rumoldus Mollink. Para Frater yang menyanyi. Banyak yang berkunjung. Dengan demikian, orang-orang yang keluar masuk biara dibatasi, hanya yang memang perlu saja, sehingga meringankan tugas kami berdua.
3 Maret 1962
Saya, Sr. M. Redempta terpaksa membaharui kaul. Berhubung Suster dari Jerman belum datang, maka di tangan Komisaris Jendral, saya membaharui kaul.
5 Maret 1962
Masuklah postulan pertama, Caecilia. Sayang, hanya sebulan saja. Akhirnya kami berdua lagi. Kami selalu menantikan kedatangan Suster Jerman yang akan membantu.
***