Jl. Ridwan 07 Kota Batu 65311 floscarmelibatu@gmail.com 0341-591913

Sr. M. Aloysia Tjahjani T. O.Carm

Sr. M. Aloysia Tjahjani T. O.Carm

My First Love
(Sharing awal panggilan sebagai Karmelites)

“Hyang Widhi iku Maha Kuwoso, dadi patut kito sembah”, kata Bapak saya. “Allah hu’ Akbar, Allah itu Mahaagung, jadi perlu kita berpasrah”, kata guru Agama Islam saya. “Allah Maha Asih asung Putra-Nya”, kata guru menyulamku, pendeta putri GKJW. Lha, aku koq masuk katekumen Katolik, setelah pencarianku dan mendapat ajaran dari para murid, “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11, 1).

Itulah awal panggilanku yang pertama-tama; diajari doa Bapa Kami dan Salam Maria, sesudah itu baru doa-doa lain. Doa yang menarik, menyebut Allah: “Bapa”, ada garis merah hubungan yang akrab antara Allah dan manusia, sehingga lebih memunculkan hasrat untuk dapat berdoa dengan benar dan baik. Kiranya Allah sendiri yang menarikku menjadi pendoa, meskipun pada waktu itu rasanya “aku” yang berusaha dengan bantuan Romo Pembimbing dan Sr. Lousiana, CB, boss tempatku bekerja, sehingga aku tertarik untuk berkenalan dengan Biara pendoa, Flos Carmeli ini. Syukur, setelah melalui kesukaran izin dari orang tua, aku diterima menjadi postulan di Biara Flos Carmeli.

Bapa Kami di dalam Biara

Di dalam biara, doa ini diperluas maknanya melalui ajaran-ajaran hidup rohani; ternyata tak semudah kata-kata dalam doa ini. Aku bersyukur mendapat pembimbing yang sabar dan ulet, Sr. Brocarda dengan tekun mengajariku menjadi pendoa yang baik, bersemuka dengan Allah, maka penting memulia-kan Allah di setiap saat …. Wah, koq tidak gampang ya, pada awal penyesuaian: Mengatasi rindu pada keluarga dan berkumpul dengan para Suster dari pelbagai daerah, sering membuatku terkaget-kaget, dari Jateng, Jatim, Jerman, meminta perjuangan tersendiri. Untung ada Sr. Teresita Fremuth dengan senyumnya yang khas, menghadapi kami, Suster muda, sering Beliau mengungkapkan: “Haben sie geduld”.

Doa Liturgi

Sesudah beberapa waktu tinggal di biara, terjadi pergolakan cara hidup kontemplatif, ada seruan dari Konsili Vatikan untuk penyesuaian dan pembaharuan. Kami melakukan penyesuaian dan pembaharuan dalam hal model habyt dan selubung; doa yang pada waktu itu menggunakan Bahasa Latin diganti dengan Bahasa Indonesia.

Yang bergejolak pada waktu itu, adalah keinginan beberapa biara kontemplatif yang ingin juga merasul aktif, sampai-sampai Biara OCD mempertanyakan mana yang benar. Teolog Karl Rahner dalam majalah Ascent menegaskan: “Bagaimana menghayati hidup kontemplatif. Tetap kontemplatif meskipun perlu penyesuaian dan penyederhanaan hidup. Beliau menulis, orang-orang semacam ini (kontemplatif) harus tetap ada, menghayati dengan rendah hati, mengikuti bimbingan Roh Kudus, di sini sejalan dengan dekrit Lumen Gentium dan Perfectae Caritatis. Kemudian muncul surat ketentuan Kepausan Venite Seorsum, yang mengharuskan biara-biara kontemplatif kembali berklausura.

Inilah zaman saya menjelang kaul pertama, dalam bimbingan Sr. Brocarda, kami tetap bermoto hidup: di hadirat Allah, lagi-lagi belajar doa Bapa Kami

“Jadilah kehendak-Mu” melatih kami untuk taat.
“Berilah kami rezeki” melatih kami untuk melarat.
“Dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni” melatih kami untuk hidup berkomunitas dengan baik.

Semakin lama, doa Bapa Kami terasa nyata, kadang membahagiakan, kadang membuat perjuangan ini terasa berat dalam hidup bersama, mewujudkan semangat Bapa Elia, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan” (bdk I Raj  19,10, digabung dengan semangat ayat 11: Allah hidup dan aku berdiri di hadapan-Nya. Lalu sesekali muncul pertanyaan dalam hati: “Mengapa kadang aku ‘melempem’ kurang gairah hidup, kadang acuh dengan sesama Suster dengan dalih aku sibuk dengan tugasku.” Pengalamanku pada waktu itu, aku kurang menghayati doa Bapa Kami. Semangat Karmel: Doa, Persaudaraan, dan Pelayanan tidak aku hayati dengan baik. Ketiganya menuntut kita bersatu dalam mempraktikkannya. Pertanyaan Rm. Andreas Dedy Purnawan, O.Carm. menggelitik hati saya, “Masih relevankan hidup doa itu lebih penting?” Yakinkah aku akan arti dan manfaat doa di zaman sekarang? Bagaimana menjadikan komunitasku menjadi komunitas doa?

Di HUT ke-50 saya dipermandikan dan 45 tahun hidup di Biara Flos Carmeli, doa ini selain Salam Maria, Bapa Kami, semakin aku resapi dan kembangkan secara menyeluruh …. Jangan masukkan kami dalam pencoban dan bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin. Semakin aku rasakan, ternyata bukan aku yang berjuang, melainkan prakarsa Bapa sendiri yang menuntunku dalam kasih-Nya untuk lebih mengenal dan mencintai Putera dalam bimbingan Roh-Nya.

Terima kasih, Bapa.

Sr. M. Aloysia Tjahjani T., O. Carm.

***

1 Comment

  1. Santi

    Salve, salam kenal suster, bolehka saya bertanya?
    Apa persyaratan masuk suster ordo OCD
    Terima kasih.

    Reply

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *