Tujuh Puluh Hari di Rumah Khalwat Roncalli, Salatiga
(Kisah Perjalanan Selama Kursus Medior 2016)
Saya sangat berterima kasih atas kemurahan hati komunitas “Flos Carmeli” melalui Sr. M. Rosa, O. Carm. sebagai Priorin saat itu, karena diberi kesempatan untuk ‘sejenak’ berada dan hidup di luar klausura dengan mengikuti Kursus Medior selama 70 hari di Rumah Khalwat Roncalli, Salatiga, dari tanggal 2 Oktober sampai 11 Desember 2016. Saya diperkenankan untuk meninggalkan tugas-tugas saya di biara dan para Suster pun bersedia menggantikan beberapa tugas yang saya tinggalkan. Saya berusaha memersiapkan sebaik mungkin apa saja yang perlu saya bawa, secara khusus memersiapkan jiwa dan raga saya. Saya berangkat dengan tubuh yang sehat, maka harapan saya kelak pulang dari kursus, tubuh saya tetap sehat. Ternyata Tuhan mengabulkan doa dan harapan, selama mengikuti kursus, saya tidak pernah jatuh sakit, sehingga saya dapat selalu hadir dan mengikuti semua acara kursus dengan baik.
Saya meninggalkan Batu pada hari Sabtu, 1 Oktober 2016, bertepatan dengan Pesta St. Theresia dari Lisieux, pada pkl. 21.00 saya dijemput travel untuk menuju ke Salatiga. Beberapa Suster menghantar saya di depan pintu klausura. Pada hari Minggu, tanggal 2 Oktober pkl. 06.00 pagi saya tiba di Rumah Khalwat Roncalli, bertepatan dengan peringatan Malaikat Pelindung. Saya sangat percaya bahwa malaikat pelindung selalu menjaga dan melindungi saya di mana pun saya berada. Saya disambut oleh pemimpin Rumah Khalwat Roncalli, Br. Anton Karyadi, FIC. Ketika kaki saya melangkah memasuki ‘rumah antik’ Roncalli ini, pandangan mata saya langsung tertuju kepada lantai dan dinding rumah ini, yang menampakkan kekunoan dan keindahannya. Saya diantar ke kamar No. 207 di lantai dua, di mana di pintu kamar terpampang nama saya. Kamar ini berukuran 3,6 m x 3,6 m dengan lantai tegel kuno seperti di Biara “Flos Carmeli”. Kamar ini sedikit lebih luas daripada kamar saya di biara.
Saya berkata kepada diri saya sendiri, selama 70 hari, tempat tinggal dan rumah saya adalah di Roncalli, maka saya harus dapat menikmati tempat yang baru ini. Supaya saya tidak begitu merasa asing, maka beberapa benda yang menghiasi kamar, saya bawa dan saya letakkan di meja kamar di Roncalli, seperti patung Maria Bunda Karmel, gambar/foto Tuhan Yesus, gambar St. Theresia dari Lisiuex, foto kedua orang tua saya, rosario, dan salib kecil yang biasanya saya letakkan di tempat tidur. Saya juga membawa lilin yang biasanya saya pasang kalau saya meditasi di kamar atau berdoa rosario. Saya langsung menyukai kamar yang saya tempati yang posisinya berdampingan dengan kapel, sehingga setiap saya membuka dan menutup di jendela, pandangan saya tertuju ke jendela kapel.
Pertemuan dibuka dengan Ekaristi pada pkl. 18.00, setelah itu dilanjutkan dengan makan malam bersama. Memasuki kamar makan yang indah, membuat mata saya tertuju ke sebuah ruangan yang berhadapan dengan ruang makan, dihias dengan ornamen khas China dengan beberapa cermin memanjang dengan tulisan China dan gambar-gambar khas China, lantai dan dindingnya dihiasi dengan keramik kuno yang indah, juga di dindingnya ada marmer kuno warna abu-abu. Ini menjadi ruang rekreasi yang diberi kursi antik dari besi berwarna krem dan berbunga yang begitu cantiknya dan seperangkat sofa untuk membaca surat kabar. Rumah Roncalli ini sudah menjadi cagar budaya, maka keasliannya masih dipertahankan dan sungguh-sungguh dirawat.
Acara perkenalan dimulai pkl. 20.00 di ruang rekreasi yang bangunannya di belakang ruang makan. Lantai di ruang rekreasi pun tidak kalah menariknya dengan motif yang unik dan cantik. Di ruang rekreasi ini ada ruang agak kecil untuk melihat TV dan tempat menyimpan berbagai alat musik, seperti gitar, kendang, organ, dll. Berjajar kursi kayu dengan alas spon berbungkus kain merah menyala juga bagian sandarannya, warna khas China. Di sini kami saling memerkenalkan diri. Acara perkenalan dibuka oleh Br. Anton Karyadi, FIC selaku pimpinan Roncalli. Jumlah peserta kursus Medior 47 religius, yang terdiri dari 4 Imam: OCD, SMM, OFMCap, Pr; 3 Bruder: OFMCap dan 2 MSC; 40 suster: FCh, SMFA, KSFL, KFS, MASF, SFS, SFIC, OSA, CP, DSY, FSIC, SPM, FCJM, OSF, JMJ, O. Carm. Seluruhnya ada 21 kongregasi dari berbagai tempat, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Flores, Bali, Papua Neugini, Timor Leste, Malaysia, Jakarta, Sukabumi, Surabaya, Malang, dan Batu. Mulai hari itu saya tinggal bersama 46 peserta lain sebagai satu komunitas di Roncalli. Kami dibagi menjadi 7 kelompok komunitas kecil. Satu hari telah berlalu, terima kasih Tuhan, Engkau telah membawa saya ke tempat penyegaran rohani ini. Semoga saya dapat menyesuaikan diri dengan ‘hidup baru’ bersama mereka yang semuanya baru saya kenal.
Di biara, kami biasanya bangun pkl. 03.30. Saya berkomitmen akan bangun tiap hari pkl. 04.00 dan menjalankan semua doa ibadat, Ibadat Bacaan, Ibadat Pagi, Ibadat Siang, Ibadat Sore, dan Ibadat Penutup (completorium). Seperti biasa di hari-hari pertama, saya mengalami kesulitan untuk tidur di tempat yang baru. Udara yang lumayan panas -menurut saya- salah satu penyebabnya. Saya berusaha untuk menerima dan berdamai dengan udara panas di kota Salatiga ini. Sebentar lagi akan musim hujan, tentu akan terasa lebih sejuk. Acara setiap hari lumayan padat. Pertemuan pertama dimulai pkl. 08.15 – 10.00 dengan istirahat sekitar 5 menit. Setelah itu kami minum bersama sampai pkl. 10.30. Lalu dilanjutkan dengan pertemuan kedua sampai pkl. 12.30. Dalam pertemuan kedua ini biasanya ada acara diskusi kelompok selama 1 jam, atau juga bisa diisi dengan acara emaus, berdua atau bertiga.
Senin, 03 – 5 Oktober 2016
Hari pertama kami di ruang kuliah. Teman pertama yang saya kenal adalah Sr. Margaretha Kowaas, JMJ. Suster ini berasal dari Menado, dan baru saja dipindahkan ke Jakarta. Dia mengikuti kursus ini sendiri dalam kongregasinya sama seperti saya, maka kami langsung merasa akrab. Kamarnya pun berseberangan dengan kamar saya, jadi cukup dekat dengan kamar saya. Ketika kami berdua menuju ke ruang kuliah yang lumayan jauh dari kamar, semua tempat duduk sudah penuh, yang tersisa hanya dua kursi di bagian belakang. Akhirnya kami pun duduk bersebelahan di barisan belakang ini. Setiap baris ada 4 kursi berjejer. Dari awal kursus sampai akhir kami tidak pernah pindah tempat duduk. Saya bersyukur sekali mendapat tempat ini, karena saya tidak akan begitu mengganggu banyak peserta kursus lain bila saya terpaksa harus kipas-kipas bila udara terasa amat panas bagi saya. Ternyata teman saya ini pun juga harus kipas-kipas karena keringat selalu bercucuran dari wajahnya. Untuk urusan keringat ternyata dia lebih heboh dari saya, tiada henti-hentinya dia mengusap wajahnya. Saya mencoba menghafal dan mengenali mereka satu persatu. Ada beberapa nama yang sama dari Tarekat yang berbeda.
Br. Anton Karyadi, FIC selaku pimpinan Rumah Khalwat Roncalli mengawali pertemuan ini dengan memerkenalkan sejarah gedung Roncalli secara cukup mendetail. Ternyata gedung ini sudah masuk dalam cagar budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Harus saya akui memang unik dan cantik bangunan gedung ini. Beberapa kali saya masih kesasar kalau kembali ke kamar atau menuju ke tempat cuci pakaian. Setelah Beliau menjelaskan sejarah gedung ini, maka dilanjutkan dengan beberapa ketentuan yang harus kami ketahui dan kami taati bersama. Hal yang biasa/normal, di mana ada banyak orang hidup bersama, maka pastilah harus ada peraturan yang jelas demi berlangsungnya kehidupan bersama ini. Saya merasa semuanya disampaikan dengan jelas, sehingga tidak lagi menimbulkan keraguan. Tentu saja Br. Anton mengharapkan agar kami, semua perserta, dapat mengikuti peraturan yang ada. Beliau selalu mengatakan, bahwa kami semua adalah pribadi-pribadi yang dewasa, maka diandaikan dapat menaati semua peraturan tersebut.
Materi yang diberikan di awal kursus pada pertemuan pagi ini adalah Pengantar Kursus. Br. Anton mengatakan, bahwa kami selama 70 hari di Roncalli sedang menjalani penyegaran, meninggalkan sejenak semua tugas yang diemban saat ini. Kami boleh dan bahkan diharapkan dapat mengekspresikan diri dengan bebas, sebebas-bebasnya, dalam arti membebaskan diri dari berbagai masalah dan tugas-tugas selama ini. Semoga dengan selesainya kursus ini , kami pulang dengan membawa semangat yang lebih segar. Pertemuan nanti sore sampai tanggal 5 Oktober membahas tentang Buku Harian. Selama kursus, kami akan diberi waktu khusus untuk menulis Buku Harian selama 40 menit setiap malam dari pkl. 19.50 – 20.30, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Dengan panjang lebar Br. Anton menjelaskan Buku Harian, yang merupakan Sarana Penemuan Diri. Kehidupan rohani berakar dalam pengalaman kehidupan kita sehari-hari. Kehidupan rohani tumbuh dari pengalaman hidup setiap hari. Maka memerhatikan, menyadari, dan mendalami segala peristiwa yang kita alami setiap hari sangat bermanfaat bagi perkembangan hidup rohani. Proses perkembangan hidup rohani terjadi dalam peristiwa konkrit sehari-hari. Jurnal atau buku catatan harian atau yang biasa disebut Buku Harian adalah sarana efektif “menemani” perjalanan hidup kita. Buku Harian dapat membantu untuk mengungkapkan, merenungkan, dan mendalami semua pengalaman yang mewarnai hidup kita. Buku Harian sebagai sarana untuk menemukan diri sendiri. Beberapa hal yang dibahas, antara lain: Tujuan dan isi Buku Harian adalah merekam dari hari ke hari sejarah kehidupan kita, lembar demi lembar. Juga merupakan tanggapan, reaksi, gerak hati yang muncul. Petunjuk Praktis Penulisan Buku Harian: menulis secara spontan, menulis secara jujur dan terbuka, menulis hal yang baik dan positif, menulis perasaan-perasaan yang negatif, menulis pengalaman waktu meditasi atau ibadat doa, mencatat mimpi, mencatat semua pikiran, gagasan atau kutipan yang mempunyai arti. Buku Harian Sarana Pengembangan Diri: Sarana efektif untuk melihat peristiwa hidup, Sarana berbicara dengan diri sendiri, Sarana merefleksikan realitas kehidupan, Sarana untuk hadir pada diri sendiri, Sarana untuk menyalurkan gejolak emosi, Sarana pembedaan Roh, Sarana berkomunikasi akrab dengan Tuhan, Sarana berkreasi dan imajinasi, Sarana healing, Sarana membina diri. Gaya Bahasa dan Ekspresi: Katarsis merupakan bahasa emosi yang sepuas-puasnya bisa positif biasa negatif. Deskripsi yaitu menguraikan secara terinci, teliti, dan objektif. Refleksi sebagai gaya ekspresi dapat juga disebut pengamatan, permenungan, observasi-diri, sikap kontemplatif. Teknik Praktis Penulisan Buku Harian: Daftar inventaris adalah mencatat secara berurutan atau pengumpulan data yang diingat. Melihat diri dari persepsi orang lain adalah suatu teknik pengungkapan diri yang cukup jitu dan bermanfaat. Menulis pengalaman sendiri dengan subjek kalimat “dia”, “beliau” bukan “saya”, “aku”. Seakan-akan kita berbicara mengenai orang lain. Menulis dan membalas surat, yang ditujukan kepada diri sendiri. Teknik ini bermanfaat mengembangkan pribadi menjadi manusia dewasa dan harmonis. Pertanyaan jurnalistik akan memermudah melukiskan secara rinci dan lengkap kejadian-kejadian, langkah-langkah hidup, dan titik-titik balik dari riwayat hidup. Menggambar, memakai gambar atau simbol, teknik ini banyak dipraktikkan dalam Buku Harian sebagai ekspresi atau ungkapan visual dari isi hati dan kesadaran diri. Dapat juga menggunakan gambar atau foto yang sudah jadi, yang ditemukan dalam majalah. Bahasa satu foto lebih jelas dan lebih berisi daripada ceramah panjang.
Berdialog dalam Buku Harian semakin diakui manfaatnya sebagai sarana untuk perkembangan diri menjadi manusia yang lebih utuh. Dialog imaginer bagaikan sebuah jembatan yang menghubungkan antara “diri saya” dengan “suara-suara” dari bawah sadar, di mana tersimpan banyak pengalaman. Dialog tertulis itu adalah sarana untuk berkomunikasi dengan Diri Sejati (my true self). Dialaog adalah alat bantu untuk mengintegrasikan aspek-aspek dari diri kita yang tertekan atau terlalaikan.
Setiap pertemuan pada umumnya diselingi dengan istirahat sekitar 10 menit. Sesekali pertemuan diawali dengan gerak dan lagu yang diikuti oleh peserta kursus, kadang juga diawali dengan sebuah lagu yang mendukung sebagai gantinya doa. Setiap hari ada tiga kali pertemuan, dua kali pada siang hari dan sekali pada sore hari.
Inti Misa sore ini adalah bahwa kasih itu memberi, sedangkan mencintai itu mengambil. Malam hari para pengikut St. Fransiskus dari Asisi, lebih dari separuh peserta kursus, mengadakan doa bersama karena besok merupakan Hari Raya St. Fransiskus bagi mereka, pengikutnya.
Tiap hari Selasa dan Kamis ada latihan Doa Terbimbing pkl. 05.30. Biasanya mulai pkl. 05.00 para peserta sudah mulai berdatangan. Hari Selasa, 4 Oktober kami dilatih untuk meditasi alam. Karena pesertanya cukup banyak, maka kami dibagi menjadi dua.
Rabu, 05 Oktober 2016
Hari ini semua peserta kursus diharap mengikuti olah raga, yang dimulai pkl. 05.00, tetapi sebelum itu sudah ada beberapa peserta yang jalan-jalan atau lari-lari di halaman. Di hari pertama sebagian besar peserta, termasuk saya mengikuti poco-poco yang dipimpin oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Teman-teman yang lain, yang putra khususnya main bulutangkis. Kami olah raga selama 1 jam. Lumayan melelahkan karena sudah lama saya tidak pernah olah raga. Tubuh saya basah kuyup dengan keringat, tetapi sesudahnya terasa enak dan segar.
Pertemuan sore hari dimulai pkl. 16.30 sampai menjelang misa sore hari pkl. 18.25. Materi hari ini sampai hari Jumat, 07 Oktober ialah Spiritualitas Medior yang diberikan oleh Br. Anton Sumardi, FIC. Batasan usia medior ada aneka pendapat, tetapi pada umumnya berkisar antara 35 – 55 tahun, tetapi jangan dimutlakkan. Usia medior merupakan panggilan untuk “pulang/kembali” kepada diri yang kadang berada dalam persimpangan jalan. Spiritualitas Medior selalu berkaitan dengan perkembangan hidup pribadi/rohani, perkembangan kedewasaan diri, kedewasaan rohani termasuk penghayatan kaul-kaul. Menjaga dan memelihara semangat keheningan merupakan fondasi dasar hidup religius dan secara khusus sebagai medior. Keheningan adalah keberanian untuk tetap tinggal dalam situasi padang gurun ketidakpastian. Dalam keheningan kita menemukan diri bersama dengan Allah. Hening itu berani berkurban, membiarkan pribadi lain berada dalam hening, pemberian diri, rela menanggung derita, mengendalikan diri dari keinginan yang buta, bebas dari ambisi dan kuasa, menyirnakan kehausan akan pujian dan pengakuan. Keheningan tidak dibatasi ruang dan waktu, tempat dan jarak, terang dan gelap, baik dan buruk, segala situasi dapat mengantar hati untuk masuk dalam keheningan. Di sana kita melihat kebebasan, keindahan, dan sukacita setiap pribadi dan ciptaan. Keheningan mengajarkan bahwa ketakutan yang tak dikenali, kecemasan yang tak tergali, kemarahan yang tak terungkapkan telah mendorong kita membangun tembok kebenaran diri. Ketika hening bercahaya, ketakutan diterima, kecemasan dirangkul, kemarahan disambut dengan lembut dan kebenaran diri hanyalah sia-sia belaka. Keheningan membimbing kita untuk melihat untaian cinta sebagai panggilan dan tawaran untuk mengubah hati dan pikiran, semakin murni, sederhana, dan penuh sukacita. Melalui keheningan kita belajar melihat keterbatasan dan kelemahan orang lain. Pada saat yang sama pun kita dihadapkan pada realitas keterbatasan dan kelemahan kita.
Yesus dan Gereja dalam perjalanannya mengupayakan waktu hening. Yesus sendiri menyempatkan diri untuk mencari waktu hening. “Pagi-pagi benar Ia pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa di sana…” Nasihat Pastoral untuk Rasul Tuhan, “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kol 3,3). Gereja pun dalam ajarannya menekankan dimesi keheningan dengan sangat mendasar (PC No. 6). Seruan Apostolik Avangeli Gaudium Paus Fransiskus No 3, 7, 8, 119. Ini semua menjadi dasar dan spirit keheningan.
Spiritualitas Medior juga membahas pergumulan wanita dan pria. Hal ini pun dialami oleh kaum religius karena pada usia medior, mereka berada pada usia tengah baya. Fakta usia tengah baya mulai mengalami penglihatan yang mulai kabur, yang sering mengakibatkan kecelakaan, jatuh di gang atau di kamar mandi. Merasa cepat lelah. Daya ingatan mulai menurun. Lebih rentan terhadap penyakit karena daya tahan tubuh mulai menurun. Fingsi organ tubuh mulai menurun. Pendengaran mulai berkurang, sehingga sering terjadi salah dengar, salah pengertian, atau salah menangkap makna pembicaraan. Cara mengatasi pergumulan ini, antara lain: menerima kenyataan, berpikir realistis, rajin olah raga, cukup beristirahat, mengenal kapasitas dan kemampuan diri, merawat diri dan memerhatikan penampilan, menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan, mengikuti senam aerobik.
Diberikan beberapa pertanyaan refleksi untuk menjadi bahan diskusi komunitas kecil. Pengalaman apa yang menarik akhir-akhir ini, yang membuat kami bersemangat untuk tetap bertekun dan setia dalam menjalani panggilan sebagai Imam, Bruder, maupun Suster? Hal-hal mana yang bagi kami cukup menggelisahkan, yang kadang bahkan memancing emosi, merasa lelah, terasa beban yang menimpa kami? Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang paling dirasakan saat ini, manakah solusi-solusi yang telah kami usahakan dan akan kami usahakan? Apakah yang paling membahagiakan bagi kami sebagai seorang religius/imam umur tengah baya ini?
Jumat, 7 Oktober 2016
Selain hari Rabu, hari Jumat pagi juga ada olah raga. Kali ini saya mengikuti Yoga yang dipandu oleh Sr. Yovani Ismail, PI. Tidak banyak peserta yang ikut, hanya 8 peserta dengan saya. Sudah lama saya ingin tahu seperti apa sih olah raga Yoga itu. Ternyata agak mirip dengan senam, tetapi semua gerakan dilakukan dengan lamban dan disertai dengan pernafasan. Ada buku panduannya. Saya pun memesan buku ini, siapa tahu dapat saya gunakan setelah saya kembali ke biara. Untuk olah raga selanjutnya, saya akan bertekun mengikuti Yoga.
Dalam Materi Spiritualitas Medior hari ini, diputarkan film singkat dengan judul “Menjaga Ayah”. Cukup mengharukan isi film ini, di mana sang istri ingin meninggalkan suaminya yang lumpuh, yang hanya duduk di kursi roda. Ingatannya melayang, gara-gara menyelamatkan dirinya, suaminya tertabrak mobil, sehingga mengakibatkan kelumpuhan. Akhirnya, dia berbalik pulang untuk berkumpul kembali dengan suami dan putri semata wayangnya.
Malam hari pada waktu rekreasi, saya sempat sharing dengan seorang Romo OCD yang berasal dari Menado. Dia banyak berbicara tentang perkembangan biaranya, khususnya tentang biara-biara OCD. Dia pernah mengunjungi tempat tinggal St. Teresa dari Yesus. Romo ini dididik di Itali, tetapi ditahbiskan di Indonesis. Dia ditahbiskan tahun 2014. Masih baru menjadi imam OCD. Sebulan sebelum kursus selesai, dia terpaksa pulang lebih dahulu, karena dipanggil oleh pimpinannya untuk mengurus surat-surat. Dia masih akan melanjutkan studi lagi di Roma.
Sabtu, 08 Oktober 2016
Setiap hari Sabtu menjadi hari hening. Kami tidak berbicara (silentium) mulai dari makan pagi sampai dengan doa pembukaan makan siang. Makan siang sudah boleh berbicara. Sepanjang hari ini saya membaca dan mendalami “Buku Harian Sarana Penemuan Diri”. Merenungkan pengalaman-pengalaman hidup saya hingga saat ini sebagai Religius/Imam Medior. Sesudah makan siang ada kesempatan untuk: jalan-jalan, olah raga: badminton atau pingpong, bisa juga renang. Untuk hari Sabtu Perayaan Ekaristi dimulai pk 18.00 dengan liturgi hari Minggu.
Kami semua, masing-masing peserta kursus memiliki seorang pembimbing, yang sudah diatur oleh staf. Saya dibimbing oleh Sr. Yovani Ismail, PI. Malam ini sesudah makan, pkl. 19.40 saya bimbingan/wawancara dengan beliau. Hari pertama, masih berisi tentang perkenalan diri saya.
Minggu, 09 Oktober 2016
Setiap hari Minggu adalah hari libur. Hari ini sebagian besar peserta kursus, termasuk saya, pergi ke Gua Kerep di Ambarawa. Beberapa hari sebelumnya, kami sudah merencanakan. Kami menggunakan dua angkot dengan jumlah 25 peserta. Ada juga beberapa peserta yang berangkat sendiri, tidak bergabung dengan kami. Kami berangkat setelah makan pagi. Jarak antara Rumah Khalwat Roncalli dengan Gua Kerep tidak begitu jauh, sekitar 20 menit dengan angkot. Begitu tiba di sana, kami langsung menuju ke patung Bunda Maria yang cukup terkenal tingginya itu. Kami turun dan menikmati keindahan lukisan-lukisan di bagian bawah patung Bunda Maria, kami berjalan mengitarinya. Tak lupa kami pun foto bersama di sini, juga foto satu per satu. Setelah itu kami baru menuju ke Gua Maria untuk meletakkan bunga mawar yang baru kami beli dan menyalakan lilin. Di sini kami berdoa sejenak. Ada beberapa peserta yang ingin mengikuti misa. Kebetulan saat itu Minggu kedua, jadi ada misa Novena. Sebagian yang tidak ikut misa, termasuk saya, berjalan-jalan ke area sekitarnya. Lelah berjalan-jalan kami duduk-duduk sambil bercerita macam-macam, tentu saja disertai canda tawa. Suasana yang sangat menyenangkan dan menggembirakan. Kami makan siang di sini, ada banyak aneka makan yang dijual di sekitar Gua Kerep ini. Semakin siang, semakin banyak pengunjung, sehingga jalan yang sempit itu langsung tampak macet. Kami terpaksa harus berjalan menuju ke jalan besar karena angkot yang mengantar kami tidak dapat masuk ke jalan yang menuju ke Gua Kerep. Waktu itu hujan mulai turun, meskipun tidak deras, tetapi bila tidak berpayung pasti akan basah juga. Untunglah sebagian besar dari kami membawa payung. Kami berjalan di sela-sela mobil yang macet. Akhirnya sampailah kami ke tempat angkot yang sudah menunggu kami. Kami kembali ke Roncalli dengan disertai hujan deras sepanjang perjalanan. Terima kasih Tuhan atas rekreasi bersama yang boleh saya nikmati hari ini.
Hari Minggu malam, waktu rekreasi diputarkan film “Letter for God” berkisah seorang anak bernama Tylor yang terserang kanker otak. Dia mengungkapkan semua perasaannya kepada Tuhan lewat surat. Surat itu dikirimkan ke pak pos, yang tentu saja menjadi kebingungan, harus mengirim ke mana. Ternyata surat-surat yang ditulisnya mengubah beberapa orang dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Jujur saja, saya belum pernah menulis surat kepada Tuhan, namun saya biasa mengungkapkan semua perasaan saya kepada-Nya, sebagai yang pertama sebelum bercerita kepada sesama.
Senin, 10 – 12 Oktober 2016
Setiap Senin, mulai hari ini ada Kelompok Doa Komunitas. Kami secara kelompok kecil mendoakan Ibadat Pagi bersama, di tempat yang berbeda-beda, ada yang di kapel, di ruang doa, di ruang sakristi, atau juga di alam terbuka pada pkl. 05.30. Bersama kelompok saya berdoa di ruang samadi, di depan ruang makan.
Mulai hari ini selama dua hari kami mendapat materi Spiritualitas Doa dan hari ketiga dengan materi Aksi dan Kontemplasi. Materi ini diberikan oleh Sr. Yovani Ismail, PI. Yang dimaksud dengan Spiritualitas Doa adalah cara memaknai doa sebagai upaya menjernihkan, menyucikan, menyuburkan, dan mewujudkan harapan di pendoa. Dalam arti itu, maka berdoa menjadi jalan mengutuhkan kemanusiaan kita, menjadikan kita makhluk rohani, jernih, transparan, menyatu dengan roh semesta, Roh Allah. Perspektif ini mengingatkan kita pada ucapan DR. lauren Artress (Uskup dan Piorir Labirin), “Kita bukan manusia yang sedang menempuh jalan spiritual, melainkan makhluk spiritual yang sedang menempuh jalan manusia.”
Ada lima biah tradisi doa, antara lain: Tradisi Padang Gurun. Padang gurun adalah tempat yang berharga bagi Allah, meskipun tempat yang keras bagi manusia. Dalam keheningan padang gurun, tumbuh bentuk hidup kontemplatif, dengan ciri khasnya yaitu askesis dan belajar hidup dalam Roh dengan melatih ketrampilan pembedaan Roh. Padang gurun dianggap sebagai tempat pemurnian, pengenalan, dan penguasaan diri, perjuanagan dan kemenangan. Perjuangan di padang gurun melahirkan manusia rohani yang dewasa, artinya mampu membedakan roh. Doa yang dilatih di padang gurun ialah doa sederhana, singkat, dan menjaga keheningan jiwa. Dalam tradisi ini, doa dikutip dari Kitab Suci dan diulang-ulang sepanjanga hari. Dengan mengucapkan Sabda itu, kita menjaga keheningan dan membiarkan diri dimurnikan oleh Sabda Allah. Tradisi Gereja “Timur”. Tradisi ini merupakan kelanjutan dari tradisi padang gurun, dengan ciri khasnya yang menekankan bahwa Allah sungguh tak terselami. Pengetahuan tentang Allah harus diperoleh melalui proses ketidaktahuan. Dengan mengakui bahwa tidak tahu akan Allah, manusia akan mendapatkan rahmat pengetahuan tentang Allah. “Doa Yesus” merupakan tema sentral da;am spiritualitas Gereja Timur dan sarana untuk kontemplasi. Awalnya doa ini merupakan doa hati yang berpusat pada inkarnasi Yesus dengan mengucapkan nama-Nya. Selanjutnya doa ini berkembang dengan pengaturan nafas sebagi teknik doa. Tujuannya ialah mengalami proses pengilahian, ikut ambil bagian dalam hidup mulia Allah. “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus. Tradisi Monastik. Tradisi ini berkembang dalam Gereja Barat merupakan perkembangan dari tradisi padang gurun. St. Benediktus sebagai perintis tradisi ini menekankan “opus Dei” = memuji Allah. Ofisi (doa ibadat harian) merupakan pusat kegiatan doa sebagai pujian kepada Allah Pencipta. Dalam Tradisi Monastik, berdoa dilakukan menurut siklus waktu dan jam-jam tertentu secara bersama. Dari tradisi ini lahirlah doa Ibadat Harian seperti yang dimiliki Gereja saat ini. Bahan doanya terutama menyanyikan Mazmur dan membaca Kitab Suci. Kontemplasi dalam tradisi ini bertarti membaca dan mendengarkan Sabda Allah, kemudian mengulangi sabda-sabda sepanjang hari. Dari tradisi doa ini muncullah cara berdoa terkenal yang disebut Lectio Divina. Inilah cara berdoa dengan mengunyah Sabda Allah terus-menerus, berulang-ulang, agar meresap dan menjadi bagian hidup manusia. Liturgi harian dan misa kudus merupakan saat kontemplasi untuk memuji Allah sebagai Pencipta dan sumber hidup. Tradisi Abad XVI. Dalam abad ini muncul dua tradisi besar dalam hidup rohani, yaitu Tradisi Yesuit (Ignatius Loyola) dan Tradisi Karmelit Teresa dari Yesus dan Yohanes dari Salib. Dari tradisi Ignatian muncul suatu pedagogi doa, yang terkenal sebagai Latihan Rohani. Dengan memelajari Latihan Rohani kita diajak untuk membebaskan diri dari segala kelekatan tak teratur, peka akan gerak Roh Allah, sehingga mampu menemukan Allah dalam segala sesuatu. Bagi St. Ignatius, kontemplasi lebih merupakan doa untuk menghayati cinta dalam perbuatan. Tradisi Karmel bergerak dalam pembaharuan hidup kontemplatif demi kerasulan, sedangkan tradisi Yesuit bergerak langsung pada hidup kerasulan. Kedua aliran ini mempunyai pandangan yang sama yakni bahwa kesempurnaan hidup hanya dialami dalam konfirmasi kehendak manusia dan kehendak Allah. Dalam tradisi St. Teresa dari Yesus dan St. Yohanes dari Salib, ditekankan pula kesatuan doa dan tindakan. Dalam tradisi ini dikenal suatu jalan untuk perkembangan hidup rohani, yaitu jalan menuju kepenuhan cinta yang ditempuh melalui malam jiwa. Malam jiwa merupakan simbol perjalanan manusia menuju kepada Allah. Doa kontemplatif bagi St. Yohanes dari Salib ialah doa dalam kesatuan penuh penyerahan kepada Allah. Doa kontemplatif merupakan doa yang sudah dicapai oleh orang yang telah mengalami preses malam jiwa. Yang terakhir, Tradisi Karismatik. Gerakan ini sudah ada sejak zaman para rasul dan sepanjang sejarah Gereja. Pada pokoknya gerakan ini membangun suatu hidup persekutuan, sebagai buah dari kegiatan Roh Kudus. Roh Kudus merupakan motivator doa mereka yang terungkap dalam seluruh doa mereka berupa doa syukur dan pujian. Mereka memohon, agar kehadiran Roh Kudus menjadi nyata dalam hidup, yakni hidup persekutuan. Inti dari tradisi ini adalah kepenuhan Roh, kepenuhan Injil yang akan membawa perubahan hidup bukan hanya dalam diri sendiri, tetapi juga dalam persekutuan. Tentu saja dalam setiap gerakan rohani selalu ada kemungkinan penyimpangan, demikian pula dalam tradisi ini. Sebagai dasar untuk menguji, apakah mereka tetap berada dalam semangat awal, ialah dengan melihat, apakah persekutuan dan cinta tumbuh dan berkembang dalam doa mereka.
Siang hari pada pertemuan kedua, ada acara Emaus. Saya ‘ber Emaus’ dengan Br. Lukas, OFMCap, yang duduknya sebangku dengan saya. Dia menceritakan betapa padat hari-harinya sebagai pendamping/pemberi retret. Sudah 16 tahun dia bertugas di rumah retret di Nagahuta, Sumatera Utara. Kesibukannya itu sering membuatnya tidak punya waktu pribadi untuk berdoa atau berdiam diri di hadapan Tuhan. Kerap dia kagum bila melihat para Suster dapat bertahan duduk diam dalam waktu lama ketika meditasi. Tahun ini dia mengambil Tahun Sabat, lalu dia mengikuti kursus medior ini.
Selasa, 11 Oktober 2016
Hari ini kami melakukan meditasi alam di depan garasi dari pkl. 05.30 – 06.30 yang dibimbing oleh Sr. Yovani Ismail, PI. Karena pesertanya banyak, maka kami dibagi menjadi dua kelompok. Sebelumnya saya berdoa Ibadat Bacaan dan Ibadat Pagi di kamar. Ketika mau keluar ke halaman, saya bingung, harus lewat dari mana. Lewat pintu depan masih dikunci, lewat garasi juga masih tertutup. Akhirnya saya lewat pintu di dekat dapur yang sudah terbuka. Jadi, saya harus berjalan lumayan jauh. Ternyata, saya salah menuju ke garasi yang masih tertutup, padahal di sebelahnya ada pintu garasi yang sudah terbuka, di dekat beberapa sepeda. Maklum, saya masih asing dengan tempat ini, yang begitu banyak pintunya.
Materi hari ini masih melanjutkan yang kemarin. Keutamaan yang diperlukan dalam hidup doa, antara lain: Sederhana yang dimaksud di sini: aku menyadari tujuan hidupku, identitasku, yaitu hanya mewujudkan diriku yang dikasihi Allah, mewujudkan imageku sebagai citra Allah. Lihatlah tumbuh-tumbuhan di alam, mereka terbuka, diam, membiarkan matahari menyinarinya dan mereka berkembang. Terjadi transdormasi. Sederhana juga berarti tidak memersoalkan tempat dan rumusan-rumusan indah doa tertentu. ‘Berhenti’ saja dengan tenang di mana kita sedang berada, masuk ke dalam batin menjumpai Allah. Katakan saja pada Tuhan dengan jujura, spontan, apa yang sedang dialami, dipikir, dan dirasakan, yang sedang menguasaiku. Rasa rindu seperti Zakheus yang mendengar tentang Yesus dan rindu untuk dapat melihat-Nya. Memanjat pohon ia lakukan untuk memenuhi kerinduannya. Yesus pun menjawab kerinduannya. Apakah sebenarnya yang aku rindukan selama ini? Jika tak ada rasa rindu pada Allah, apakah aku pernah memintanya? Seperti yang diajarkan oleh pemazmur, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu. Jika aku rindu kepada-Nya, dengan tenang ungkapkan sepenuh hati dan rasakan kerinduan itu sedalam-dalamnya, karena kerinduan itu sendiri adalah doa. Sebenarnya Tuhan sendirilah yang terus-menerus membangkitkan hasrat kita, kerinduan kita kepada-Nya. Tanda-tandanya antara lain melalui alam semesta dan sesama yang menarik perhatian kita, namun Tuhan memberi kebebasan bagi manusia untuk menjawab-Nya atau tidak. Membiarkan semua indra disentuh dan tersentuh. Doa efektif adalah doa afektif. Tuhan menganugerahkan indra kepada kita supaya dapat ‘menangkap’ Dia. Beranilah membiarkan diri disentuh,tersentuh, terutama dengan hal kecil, sederhana. Hal ini kurang dilatih di dunia kita ini yang mengagungkan segala yang hebat, wah, cepat, gemerlap. Tuhan Allah Yang Mahaagung telah inkarnasi menjadi bayi kecil, sederhana. Buka dan pakailah semua indra, penciuman, pendengaran, rasa di kulit/raba, pencecapan, penglihatan, intuisi. Doa yang efektif adalah doa afektif. Menyentuh dan melibatkan seluruh diri: hati, rasa perasaan, batin, budi yang membuat hati kita terangkat ringan pada-Nya penuh syukur. “Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, budi, dan kehendak.” Rasakan semilir angin yang menyentuh kulit, sejuknya air ketika Anda mandi, halusnya kelopak bunga. Dengarkan kicau burung, suara jangkrik, gesekan daun, suara rintik hujan. Lihatlah, nikmatilah pemandangan alam, ikan berwarna-warni, bunga dan pohon dengan macam-macam bentuk dan warna. Tuhan dengan sengaja menyapa, menyentuh hati kita dengan segala macam hal itu. Ia ingin kita berkomunikasi lebih dalam dengan-Nya melalui hal-hal yang menyentuh hati kita tadi. “Lihatlah kauh ke alam dan Anda akan mengerti segalanya dengan lebih baik” (Albert Einstein). Adanya Komitmen. Tujuan hidup kita adalah bersatu dengan Yesus yang memanggil kita. Mau bersatu karena saling mencintai. Persatuan dua pribadi membutuhkan proses, kesetiaan, dan komitmen. Kalau komitmen tidak ada, relasi tidak dipelihara, seperti tanaman, maka akan kering dan mati. Mencintai adalah komitmen. Begitu juga dengan doa, mau tidak mau harus ada komitmen untuk mau berjumpa dengan Dia, menyapa, hadir menikmati Dia setiap hari. Bukan kuantitas, tetapi lebih kualitas. Yang terpenting adalah sharing, timbal balik. Jika tidak ada komitmen, maka hidup tidak terarah. Hening. Keheningan biasanya dikaitkan dengan diam, namun keheningan tidak selalu sama dengan diam. Orang yang diam belum tentu bisa hening. Keheningan adalah situasi yang dicapai seseorang yang memungkinkan dia semakin sadar akan dirinya. Keheningan adalah situasi batin dan merupakan syarat untuk dapat berkomunikasi dengan baik. Yesus sendiri sebelum memulai karya-Nya tinggal di padang gurun. Selama waktu itu Ia banyak berdoa dan berpuasa supaya Ia jernih, hening menemukan kehendak Bapa-Nya. Keheningan yang dialami Yesus ketika berdoa tidak hanya berhenti dalam doa, tetapi juga berlanjut ketika Yesus berkarya. Keheningan yang mengungkapkan kesatuan-Nya dengan Allah Bapa menjadi dasar bagi Yesus untuk menjalankan karya-Nya. Dengan begitu keheningan selalu melingkupi Yesus, sehingga setiap kali Ia dapat berkomunikasi, berdoa spontan kepada Bapa-Nya dalam situasi apa pun, misalnya dalam penggandaan roti, ketika akan dijebak “Bolehkah membayar pajak pada kaisar?”, bahkan di tengah keramaian ketika orang banyak marah dan merajam perempuan berzinah, Yesus tetap hening, Ia ‘sms” Bapa-Nya dengan menulis di tanah. Buah keheningan adalah kecerdasan, seperti yang kita lihat dari jawaban-jawaban Yesus yang cerdas dan alternatif dari contoh perikop di atas, karena Ia dikuasai Roh Kudus. Keheningan da[at dilatih antara lain melalui: saat-saat teduh yang kita ciptakan, mendengarkan alam, membaca kisah inspiratif, mendengarkan lagu/musik bermutu, bacaan rohani, menggambar/mewarnai mandala, yoga. “Dalam cinta sering kebungkaman dan keheningan lebih berlaku daripada percakapan” (Blaise Pascal).
Doa sebagai jalan untuk mengalami dan memancarkan dimensi Ilahi kita. Dimensi Ilahi dalam diri manusia. Menurut Erbe Sentanu dalam bukunya Quantum Ikhlas, kita bukan makhluk fana yang sedang berupaya menjadi makhluk spiritual, melainkan kita -secara hakiki- membawa unsur Ilahi di dalam setiap sel terkecil kita. Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya. Thomas Keating mengatakan, “Masing-masing kita sebagai seorang Kristiani adalah “Sabda yang Menjelma”, dipanggil untuk menunjukkan Yesus Kristus kepada zaman kita, bagi para sahabat dan keluarga kita, dan orang-orang yang bekerja dengan kita.” Jadi, hakikat kita adalah Ilahi. Kita bukan sekedar tubuh. Unsur yang membentuk kita adalah jasad dan roh. Dengan berdoa kita menyadari dan mengalami kembali keilahian kita. Kalau itu menjadi aktivitas rutin, maka caha roh, cahaya Ilahi memancar dalam kehadiran kita, dalam aktivitas duniawi kita. Doa dapat mengaktifkan gen-gen yang bermanfaat. Prof. Kazuo Murakami mengatakan, apa yang kita pikirkan memengaruhi cara kerja gen kita dan hal ini dapat membawa penyakit atau kesehatan. Beliau mengadakan penelitian tentang gen-gen dalam tubuh manusia, dan penelitian ini enghadilkan suatu rasa kagum akan keajaiban Yang Mahakuasa. Ia menemukan bahwa gen kitalah yang mengatur sistem dalam tubuh kita, sehingga kita tetap hidup. Gen-gen dapat dinyalakan dan dipadamkan. Ia menemukan bahwa kebahagiaan, keceriaan, inspirasi, rasa syukur dan doa dapat mengaktifkan gen-gen yang bermanfaat. Hidup akan berjalan lancar bila kita memertahankan sikap positif yang penuh antusiasme dan vitalitas. Keadaan mental seperti ini akan mengaktifkan gen-gen baik dan menonaktifkan gen-gen buruk. Saat kita berdoa, ketika kita mengucapkan pujian syukur, mendaraskan Mazmur, membaca Kitab Suci, memvisualisasikan cinta Allah, menatap hidup dengan kaca mata Ilahi, mengalami keheningan dan rasa utuh, gen-gen positif menyala dalam tubuh kita. Dalam kenyataan kita semua pernah mengalami masa-masa sulit, lelah, dan depresi, energi terkuras karena hubungan dengan sesama yang tidak menyenangkan, pekerjaan menumpuk yang sangat membebani, dll. Pada saat-saat seperti itu memang sukar untuk tidak merasa sedih atau depresi. Bagaimana caranya melepaskan diri dari perasaan depresi ketika hal-hal tidak menyenangkan itu terjadi? Yaitu dengan menyalakan gen-gen yang memberi tenaga. Salah satu caranya adalah dengan membiarkan diri Anda terinspirasi. Jika tak ada yang menginspirasi Anda saat itu, pikirkanlah saat-saat ketika Anda merasa begitu bersemangat. Inspirasi adalah kombinasi dari kegembiraan dan semangat yang menyennangkan. Ketika Anda berdoa, memuaskan perhatian Anda pada hadiah-hadiah Allah sekarang ini, hadir dan membuka hati, Anda menerima siraman cahaya roh, gen-gen positif di seluruh tubuh Anda dinyalakan. Mungkin Anda tidak secara langsung dapat merasakannya, tetapi pikiran Anda mengarahkan kerja gen-gen Anda. Maka doa yang khusuk, sampai merasa terinspirasi oleh nilai-nilai luhur dapat menyembuhkan tidak hanya luka hati, namun juga luka fisik.
Kesulitan dalam berdoa. Di tengah kesibukan dan tuntutan yang ada, sering doa menjadi tidak mudah bagi kita, bahkan terasa membosankan karena sudah sering berdoa namun terasa tak ada perubahan. Bisa jadi kita salah memahami, bahwa sebenarnya yang kita lakukan bukan berdoa, tetapi melaukan aktivitas doa. Hal-hal yang dapat menyebabkan kesulitan dalam berdoa: Kaku, rumusan formal/fanatik dengan salah satu bentuk doa. Menyangkut bahan dan bagaimana harus berdoa dengan baik. Tanpa sadar, konsep, ‘rumusan’ tertentu ini membelenggu kita, membuat kita takut kalau tak dapat berdoa dengan baik dan ketakutan ini membuat kita merasa makin sulit atau malas berdoa. Thomas Keating dalam bukunya “The Better Part” mengatakan, bahwa berdoa/berelasi dengan Allah tidak dapat disusun atau diatur. Ini merupakan sesuatu yang spontan. Itu mengikuti pola yang sama dengan yang kita gunakan dalam berkenalan, berelasi dengan orang lain. Kita harus ada bersama. Ketika masih berkenalan, percakapan kita terasa canggung, memerlukan rumusan-rumusan tertentu. Kita seperti berjalan di atas kulit telur, sangat hati-hati, takut menyinggung perasaan, takut berkata salah. Dengan mengambil Maria dari Betania sebagai model pendoa, kita dapat bertanya lagi, “Apa yang dilakukannya dekat kaki Yesus?” Dengan penuh cinta Maria duduk dekat kaki Yesus. Kita tidak tahu apa yang mereka percakapkan. Apakah ada ‘rumusan’ di sana? Sifatnya sangat pribadi. Secara bertahap, perkenalan, relasi itu berkembang menjadi akrab, bersahabat, yang menyenangkan. Keinginan tampil serba baik di hadapan Tuhan. “Hatiku gelisah dan tak pernah tenang sampai aku beristirahat dalam Dikau, ya Tuhan …, tetapi hatiku takut juga beristirahat dalam Dikau” (St. Agustinus). Dalam bukunya God and You, William A. Barry, SJ mengatakan, bahwa pandangan kita tentang Tuhan mulai berkembang sejak masa kanak-kanak dan sangat dipengaruhi oleh hubungan kita dengan orang tua serta para pengasuh kita. Dari mereka kita memiliki gambaran awal tentang Tuhan. “Kalau saya ramah, manis, taat, bersih dan sebagainya, maka Tuhan akan tersenyum kepadaku. Namun jika saya marah, cemberut, bernafsu, dan sebaginya, maka Tuhan akan marah padaku.” Gambaran keliru inilah yang memengaruhi relasi kita dengan Tuhan. Orang ingin tampil baik di hadapan Tuhan, seupaya Tuhan tersenyum. Kini tanpa sadar di hadapan Tuhan, orang tak mau mengakui dirinya marah, tertekan, iri, cemburu, jatuh cinta, birahi atau apa pun yang dianggap buruk di hadapan-Nya. Di sini kita tidak menyadari bahwa kita tidak dapat mengontrol perasaan-perasaan itu, karena perasaan itu timbul begitu saja. Semakin kita mengizinkan diri kita apa adanya di hadapan Tuhan, relasi kita dengan Tuhan semakin berkembang akrab. Semakin kita jujur di hadapan Tuhan, kita akan mengalami bahwa Tuhan memang mencintai ita, menerima kita apa adanya dan mampu menumbuhkan kita. Semakin kita intim dalam berelasi semakin kita berani transparan. Kita akan banyak belajar tentang diri sendiri dan sesama. Kita menjadi semakin peka dengan diri sendiri dan sesama, sehingga sering bagi mereka yang sudah dekat/intim, tidak banyak kata lagi yang dipakai dalam komunikasi. Hal ini sangat berarti pada hubungan kita dengan Tuhan, kita akan sehati, seperasaan, sekehendak dengan-Nya. Kurang memakai hati. St. Teresa dari Yesus mengatakan, “Tuhan semayam di hati”. Thomas Hidya, Sj dalam bukunya “Peziarahan Hati” mengatkan, bahwa “Doa yang kita panjatkan tampaknya seperti tidak dikabulkan karena kita berdoa kurang memakai hati”. Dunia modern sekarang ini ditandai dengan segala sesuatu yang berlangsung cepat, berorientasi hasil, dan persaingan ketat. Orang dituntut untuk cepat. Situasi ini membuat orang sulit untuk dapat hadir kini dan di sini, sulit menikmati setiap detik, karena harus serba cepat, maka hati menjadi tidak tersentuh dan hidup kurang mendalam. Semantara Tuhan bersemayam di kedalaman hati kita, kini dan di sini. Jika kita berjumpa dengan Allah di lubuk hati, Roh Allah akan memberi daya dan daya-Nya seperti air yang terus mengalir. Karena keberadaan Allah ada di lubuk hati, maka penting bagi kita untuk berkontak dengan hati, hidup dengan hati dan kesadaran.
Mengatasi kesulitan berdoa. Jika kita sungguh merasa ‘tak mampu berdoa’, sulit berdoa, bacalah kisah-kisah inspiratif, Mazmur, teks-teks Kitab Suci, biografi orang besar, menikmati alam, doa dengan menyanyi, doa dengan menari, atau wawancara dengan diam di hadapan Tuhan. Biarkan hati Anda tersentuh, Anda hanya perlu kreatif dan pasrah saat tak mampu apa-apa, biarkan Roh bekerja. Mengatasi pelanturan. Dalam buku The Power of Now, Ekhart Tolle mengatkan, bahwa kita hadir pada momen sekarang ini, menghayati pengalman ‘sekarang’. Jadi ketika Anda berdoa, tetapi pikiran Anda ke mana-mana, mungkin Anda harus membiarkan pikiran itu mengembara bagaikan awan bergerak di langit, tetapi fokus Anda tetap pada langit. Biarkan pikiran Anda berkelana seperti cerita di laya bioskop, tetapi fokus Anda tetap pada layar. Dapat juga Anda membawa/membicarakan pikiran yang mengembara itu kepada Tuhan. Empat tahap dalam proses berdoa: Aku berbicara Tuhan mendengar. Tuhan berbicara aku mendengar. Tuhan dan aku sama-sama tidak berbicara, tetapi sama-sama mendengarkan. Tuhan dan aku sama-sama tidak berbicara dan sama-sama tidak mendengarkan. Yang tinggal hanya silence alias hening. Ini adalah perkembangan karena komunikasi makin intim, disebut komunikasi kehadiran dalam kedamaian. Pengaruh utama doa batin terhadap doa-doa lainnya ialah memberikan arti baru dan kesatuan kepada doa-doa lain. Kita tidak lagi secara rutin, kewajiban mengucapkan doa-doa menurut acara yang ditentukan sebelumnya. Kita menjadikan doa benar-benar dan bukan hanya mengucapkan atau menyanyikannya di bibir saja.
Mengapa perlu berdoa? Dari media yang kita baca dan tonton, juga dari kenyataan hidup kita yang terdekat, situasi zaman sekarang ditandai dengan stress berat karena macam-macam alasan. Berbagai penyakit muncul, kekerasan dan bencana terjadi di mana-mana, juga antara suami-istri dan anak-anak, bahkan saling membunuh. Suasana atau situasi keras mencabut nurani. Diri kita, sesama, alam, dan dunia memang sedang sakit dan terluka. Hati dan budi menjadi keruh, kacau, sehingga kebijaksanaan dan keputusan yang diambil tidak menjernihkan dan menyegarkan hidup. Doa menjernihkan batin (seperti sudah diuraikan di atas); kita bertanggung jawab menjernihkan batin diri sendiri. Kekacauan batin diri sendiri akan berdampak pada kekacauan dunia. Jadi, jika kita mau menata dunia menjadi harmoni sejati ‘Jadilah di bumi seperti di dalam surga’, jernihkan dan harmonikan diri sendiri, tekun dalam berdoa dan tidak main-main. Kalau kita tidak tekun berdoa atau tidak mau memahami doa, yang kacau bukan hanya diri sendiri, melainkan dunia. Akhirnya, mengapa kita perlu berdoa? Karena Tuhan ada, demikian juga seperti yang direfleksikan Paus Fransiskus, keheningan dan doa membuahkan trnsformasi dalam hidup seseorang dan relasinya dengan sesama. Doa mengabulkan keinginan orang yang didoakan. Jadi, terasa atau tidak dampaknya, teruslah berdoa, karena doa akan membawa kita pada frekuensi Ilahi, yang akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidup kita dan dunia kita.
Malam hari ada kejutan pada waktu makan malam, ada pembagian es cream Hula-hula dari Sr. Susana, SPM karena hari ini Tarekatnya merayakan 90 tahun SPM berkarya di Indonesia. Selamat ya, semoga Tarekat SPM semakin berjaya!
Rabu, 12 Oktober 2016
Para peserta olah raga Yoga pagi ini lumayan banyak, sekitar 18 peserta, suster semua. Senang juga kalau kami melakukan dengan banyak teman, menambah semangat. Komentar Sr. Yovani, biasanya di awal-awal banyak yang ikut, tetapi makin lama makin berkurang. Semoga saya dapat tetap bertekun sampai hari terakhir dan memang saya tetap rajin mengikuti olah raga yoga ini sampai selesai kursus.
Materi hari ini tentang: Kontemplasi – Aksi. Pada masa sekarang kaum religius semakin disadarkan akan kesulitan menghayati hidup bakti. Kontemplasi – aksi menjadi tantangan. Entah dalam doa, entah dalam karya, tindakan, aku menghayati kesatuan dengan Allah. Kontemplasi Aksi bukan dua hal yang bertentangan. Itulah Reliogius-Rasul: menemukan Tuhan dalam segala dan segala dalam Tuhan. Melihat realitas hidup dengan mata Tuhan. Menjadi instrumen-Nya, intim, Dia hidup dalam hidupku. Kita perlu ingat kembali akan identitas kita sebagai religius. Seorang religius harus mengikatkan diri kepada Allah berulang-ulang. Tujuannya supaya akrab, intim bersatu dengan Allah. Penghayatan kontemplasi aksi membuat kita terus bersatu dengan Allah. Doa yang benar menggerakkan ke aksi yang benar. Aksiku yang benar menggerakkan aku untuk berjumpa lagi dengan Tuhan secara personal, bahkan memperdalam hidup doaku. Aksiku itu adalah perwujudan, buah relasiku dengan Tuhan. Doa/perjumpaan dengan Tuhan menghasilkan buah/aksi.
Doa adalah perjumpaan kasih dengan Tuhan. Tidak harus selalu formal, tidak terikat selalu pada tempat dan waktu tertentu, tidak terpisah dari kegiatan rasuli. Kita dapat berjumpa dengan Tuhan bersamaan dengan terlibat dalam tindakan kasih. Hidup doa (kontemplasi) sebenarnya tidak terpisah dari aktivitas (aksi) kita. Allah dapat ditemukan dalam segala. Allah “tinggal dalam ciptaan-Nya”. Karena Allah tinggal dalam seluruh ciptaan-Nya, maka Dia dapat dicari di sana. Menemukan Tuhan dalam segala mengandaikan: dapat berjumpa Tuhan secara amat pribadi. Tuhan kita bukan Tuhan yang jauh, tetapi Tuhan yang sangat dekat dan membuka diri-Nya kepada kita. Ia ada, bekerja dalam segala. Dia adalah Allah yang peduli. Dia adalah Allah yang terlibat secara mendalam, tidaka hanya dalam seluruh peristiwa di dunia, tetapi juga dalam seluruh hidup pribadi kita. Diperlukan kepekaan hati, sikap syukur, dan terima kasih terhadap anugerah yang kita terima setiap hari, dengan menyadari bahwa Allah senantiasa hadir di balik setiap anugerah. Dia adalah Allah yang selalu memberi, mengomunikasikan diri dan menarik kita kepada-Nya, secara proaktif dan sadar menemukan-Nya dalam relasi antarmanusia, terutama dalam mereka yang menderita. Belajar dari Yesus yang berkeliling di Galilea. Ia menyembuhkan orang sakit. Ia dikerumuni pengemis. Ia sering lelah karena didesak-desak orang banyak. Ia juga berdoa dalam keramaian. Sehati seperasaan dengan Bapa, “Yang melihat Aku, melihat Bapa”. Yesus meski pribadi yang aktif kontemplatif, tetap rendah hati, melatih diri, pergi ke tempat sunyi untuk beruda saja dengan Bapa-Nya, memersatukan diri dengan Bapa. Yesus sungguh-sungguh kontemplatif, bersatu erat dengan Bapa, melihat Allah dalam segala-galanya, melihat dunia dengan mata Allah. Buahnya: Ia menerima, mengampuni, membela mereka yang menderita, yang mengkhianatinya.
Belajar dari Maria. Gambar indah tentang watak Maria dapat kita lihat dalam pesta nikah di Kana. Mereka yang hadir tak ‘melihat’ kesulitan yang ada. Hanya Maria yang melihat secara keseluruhan, dapat mengerti dalam sekejap mata dan menyadari apa yang sedang terjadi. Inilah semangat kontemplatif Maria, kado pemberiannya sendiri, yakni kemampuan untuk memerhatikan yang detil-detil.
Bagaimana doa kontemplatif dapat dipraktikkan? Doa itu harus muncul dari lubuk hati keberadaan kita karena kesadaran akan Keilahian terpatri dalam setiap hati manusia. Namun kesadaran ini sering terkubur di balik tembok tebal keterserapan hati pada satu hal dan ketakutan, kesadaran itu ada di sana. Untuk memertahankan hidupnya kesadaran, memupuk kedekatan dengan Allah diperlukan ketertiban hidup dan waktu. Kita memerlukan waktu juga untuk kedekatan kita dengan Allah: waktu untuk berdiam, waktu untuk mendengarkan, waktu untuk merasakan cinta-Nya, waktu untuk menyadari kuasa cipta dan penyembuhnya. Kehidupan roh menuntut disiplin dan komitmen. Hidup roh bukanlah suatu hobi, melainkan merupakan pusat keprihatinan hidup kita. Ini harus mendapatkan prioritas dalam hidup berdisiplin. Doa harus senantiasa ditekuni. Bukan hanya doa formal seperti: rosario, novena, ofisi, misa yang sudah bergulir begitu saja. Dunia kita memerlukan orang-orang yang mengenal Allah bukan hanya dari katekismus dan buku pegangan, melainkan yang memiliki relasi pribadi dengan Allah, memiliki kesadaran pribadi, sehingga mampu mengalirkan damai Allah. Pemeriksaan Batin adalah salah satu cara berdoa yang sangat bermanfaat bagi orang-orang yang aktif di tengah dunia.doa seperti ini dapat membantu meningkatkan kesadaran batin kita untuk menangkap kehadiran Allah dalam hiruk-pikuk kesibukan kita. Doa semacam ini juga dapat membuat kita makin peka akan kehadiran dan sentuhan-Nya dan bagaimana kita menanggapi-Nya dari hari ke hari. Ada aneka cara Pemeriksaan Batin, antara lain: bersyukur atas segala rahmat/berkat; bercerita kepada Tuhan tentang pengalaman hari ini seperti seorang anak bercerita kepada ayahnya; menggunakan beberapa pertanyaan, seperti hal penting yang kubuat hari ini? Bagaimana aku telah menjadi alat kasih Tuhan kepada sesamaku? Siapa yang menjadi sarana perwujudan kasih Allah bagiku. Bagaimana aku memerlakukan sesamaku: sebagai alat saja atau sebagai seorang pribadi? Tanda-tanda relasi intim/akrab, antara lain: semacam ada ikatan batin, rindu, empati (tidak mau pisah dengan Dia). Makin mengalami, bahwa baginya Tuhan adalah satu-satunya teladan, pedoman hidup. Dia jalan, kebenaran, dan hidup. Tuhan sebagai’nilai’ tertinggi, mutlak. Buah-buahnya: Doa pribadi menjadi semacam kehausan batin. Semakin menjadi pribadi yang rendah hati, sederhana, berbelas kasih. Mengalami diri sebagai pribadi yang integral, mengalami kekuatan baru untuk kembali mengarungi, menggumuli hidup sehari-hari. Terlibat dalam keprihatinan yang ada. Ia menjadi inspirasi bagi orang lain, ia mampu menghargai siapa pun. Tidak menjadi pribadi yang kompetitif negatif, provokator, bertopeng, sulit mendengarkan, otoriter. Ia tetap sabar berkanjang meskipun ‘dijauhi/dibenci’, tanpa balik membenci mereka. Ia tahu ke mana harus pergi memberikan hatinya yang luka. Pada pertemuan kedua, ada kesempatan untuk sharing dengan kelompok. Saya mendapat kesempatan untuk bersharing tentang panggilan hidup saya sebagai Suster kontemplatif Karmel.
Hari ini adalah hari Ulang Tahun Ibu Lanny Hariyani yang bekerja di Sekretariat. Saya sempat memberi kartu sederhana atas nama peserta kursus medior.
Kamis, 13 – 14 Oktober 2016
Pagi ini diawali dengan meditasi alam dengan bimbingan Br. Anton Karyadi, FIC. Kami mendapat lembaran teks. Meditasi diawali dengan melagukan ‘mantra’ yang diulang-ulang. Isi Mantara: “Aku mengasihi dan menyembah-Mu, Tuhan. Oh Tuhan, pencipta langit dan bumi. Engkaulah sumber kehidupan dan cinta kasih. Nyalakanlah kehidupan dan cinta-Mu kepada kami.” Setelah itu dibacakan Kisah Penciptaan dari Kitab Kejadian. Kami diberi kesempatan untuk masuk dalam keheningan. Boleh tetap duduk di tempat atau berjalan-jalan sambil menikmati suasana alam sekitar. Saya berjalan-jalan menikmati aneka pohon dan tanaman yang tumbuh di sekitarnya.
Mulai hari ini kami mendapat materi tentang Keluarga Asal dan Inner Child yang diberikan oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Kepribadian kita dibentuk oleh keluarga asal kita. Sikap, pandangan, perilaku, dan tindakan kita sekarang sangat dipengaruhi oleh keluarga asal. Melihat kembali keluarga asal dengan tujuan dapat memahami dinamika yang ada dalam keluarga, agar makin memahami dinamika perkembangan pribadi kita menuju pribadi yang lebih utuh. Hal yang perlu diperhatikan ialah, kembali ke waktu kecil tanpa memersalahkan keluarga. Dengan menyadari kembali keluarga asal, kita tidak mau tinggal di sana terus-menerus. Kita mengingat kembali masa lampau bukan hanya untuk mengalami suasana itu, melainkan untuk memahaminya. Yang diperhatikan bukan hanya peristiwa-peristiwa saja, melainkan juga pola kehidupan yang muncul. Pengaruh Fungsi Keluaga Asal. Kita semua dipengaruhi oleh masa lalu, di lingkungan keluarga asal, tetapi kita tidak perlu menjadi kurban masa lalu. Orang yang dahulu menjadi kurban, cenderung membuat orang lain menjadi kurban juga. Hal yang dahulu dilakukan orang lain terhadap kita, kini kita lakukan terhadap diri kita sendiri dan terhadap orang lain. Keluarga yang berfungsi baik ditandai: Persoalah-persoalan disadari dan dipecahkan; Setiap anggota bebas untuk mengungkapkan apa yang ia lihat, dengar, rasakan, pikirkan; Semua anggota sama pentingnya; Komunikasi langsung, masuk akal dan konkrit; Peraturan dapat dipertanggungjawabkan; Suasana keluarga menyenangkan dan spontan; Melanggar nilai-nilai anggota lain, menimbulkan rasa bersalah; Kesalahan dimaafkan dan dianggap sarana untuk belajar; Orang tua menyadari rasa malu yang sehat. Keluarga yang tidak berfungsi dengan baik ditandai: Mengingkari adanya kesulitan dalam keluarga. Problem tidak pernah dapat diselesaikan; Anggota tidak bebas mengungkapkan apa yang mereka lihat, dengar, pikirkan; Tidak ada keakraban; Ada rasa malu yang belum diolah; Kebutuhan-kebutuhan pribadi tidak terpenuhi; Tidak ada komunikasi yang baik; Perbedaan-perbedaan pribadi dikurbankan demi kebutuhab keluarga; Peraturan kaku dan tidak berubah; Tidak ada batas-batas pribadi. Bila keluarga asal tidak berfungsi dengan baik dapat memengaruhi anak yang sering disebut luka batin. Misalnya, luka batin rasa malu, karena anak merasa ditolak, tidak dikehendaki; Anak dipermalukan di depan umum; Anak tidak diperhatikan, dianggap tidak ada; Anak dipersalahkan terus-menerus. Pribadi Menurut Urutan Kelahiran. Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian: Peran setiap anak dalam keluarga unik, permanen, dan terpisah satu dari yang lain; Setiap kedudukan orientasinya sudah sejak dilahirkan, dipengaruhi oleh interaksi dalam keluarga; Sesudah anak ke-4, pola kedudukan diulangi lagi, tetapi lebih kompleks; Jarak umur anak-anak berpengaruh pada sifat-sifat pola kedudukannya. Anak Sulung mengalami dirinya sebagai anak tunggal sebelum adiknya lahir. Ia mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Kehadiran adik membuat ia bersikap bersaing supaya tetap disayang oleh orang tua. Sebagai anak sulung ia diharapkan oleh orang tuanya untuk memberi teladan kepada adik-adiknya, menolong, mengurusi adik-adik, maka ia memiliki sikap dan sifat orang tua: pandai mengurusi, bertanggung jawab, memimpin. Pada umumnya ia bersifat serius, tidak terlalu senang bermain, kerja keras, sukar menerima kritik. Kelebihannya: Memiliki tingakt kepercayaan yang bagus, serius, sabar, teratur, memilik konsentrasi yang kuat, percaya diri untuk bermimpi dan merencanakan, merasa didukung dan merasa mereka akan dihormati karena apa yang mereka lakukan. Kekurangannya: Memiliki bawaan rasa takut, perfeksionis, ingin lebih sukses, merasa seolah-olah mereka tidak pernah cukup baik, cenderung egois dengan sikap dan perhatian. Anak Kedua tidak pernah mengalami memiliki orang tua untuk dirinya sendiri. Ia juga tidak mendapat perhatian sebanyak anak sulung. Keuntungan baginya: situasi lebih rrileks dan tenang karena orang tua sudah berpengalaman merawat anak. Bila anak kedua mendapat adik, ia merasa “disingkirkan” oleh adiknya itu. Karena ia ingin tetap menerima cinta kasih dari orang tuanya, maka ia terombang-ambing antara meniru kakaknya atau adiknya. Akibatnya ia tidak mempunyai identitas sendiri. Ia tidak pandai berinisiatif. Sering ia menjadi orang yang menjengkelkan orang lain hanya untuk menarik perhatian. Ia pandai menyesuaikan diri dan biasanya ramah. Kelebihannya: Pencinta damai, mediator, mampu menjaga rahasia, tidak manja, berani mengambil risiko, realistis, rukun dengan orang lain, membaca orang dengan baik, mandiri, setia kepada pendukung, kompetitif, dan imajinatif. Kekurangannya: Membenci konfrontasi, keras kepala, sinis, curiga, dan suka memberontak. Anak Ketiga, hal yang ada pada anak kedua, dapat juga dikatakan tentang anak ketiga kalau ia msih mendapat adik lagi. Ia mempunyai kebutuhan penting, yaitu kebutuhan akan keadaan, situasi yang stabil. Maka kebutuhan ini juga memengaruhi perannya dalam memertahankan keseimbangan dalam keluarga. Bila ada sesuatu yang dapat diartikan berbeda-beda, ia bersikap sangat toeran. Kelebihan dan kekurangannya hampir sama seperti anak kedua atau tengah. Anak Keempat, bila anak keempat ini bungsu, maka sifa-sifatnya tentu dari seorang anak bungsu, tetapi bila ia punya adik, sifat-sifatnya juga mirip anak kedua dan ketiga, karena ia bukan anak sulung atau bukan anak bungsu. Sebagai anak keempat, ia merasa bertanggung jawab atas ketenangan dalam keluarga. Ia menampung banyak, terutama persoalan-persoalan dalam keluarga. Kelebihan dan kekurangannya seperti anak tengah yang lain. Anak Bungsu, ia diperlakukan seperti yang istimewa, mendapat banyak perhatian. Biasanya kurang disiplin, sukar mengambil keputusan. Mereka suka mengharapkan orang lain menyelesaikan persoalan-persoalannya, atau justru kebalikannya: tidak mau ditolong. Mereka tidak terlalu berambisi dan tidak terlalu mengikuti tradisi keluarga. Mereka memberontak/melawan kalau digoda atau diperintah terlalu banyak. Cenderung melanggar aturan pergaulan, senang petualangan dan terbuka untuk hal-hal yang baru. Mereka lebih senang tidak menjadi pemimpin dan suka menyenangkan pemimpin yang disukainya. Kalau jadi pemimpin, biasanya disenangai bawahannya. Kelebihannya: ramah tamah, penyayang, peduli, kreatif, empatik, dan percaya diri. Kekurangannya: manja, manipulatif, tidak dewasa, egois, dan tak terduga. Anak Tunggal. Ia memiliki sifati-sifat anak sulung, tetapi bersifat kekanak-kanakan sampai dewasa. Mendapat sifat orang tua yang sejenis dengan dia dan dipengaruhi situasi orang tua itu dalam keluarga asalnya. Mereka krasan sendirian, mempunyai kepercayaan diri, suka mendapat pertolongan orang lain kalau membutuhkannya. Mereka mengharapkan banyak dari hidup. Biasanya pandai dan menjadi perfeksionis, dan sering berhasil dalam usahanya. Karena mereka tidak biasa dengan orang lain, maka sering tidak tahu bagaimana harus akrab. Kelebihannya: percaya pada pendapat mereka sendiri, cepat dan tepat, ambisius, giat, energik, pemecah masalah yang baik. Kekurangannya: berorientasi pada diri sendiri, takut mencoba hal baru, mengritik diri mereka sendiri dan orang lain, terlalu kuatir, merasa bahwa mereka selalu benar, tidak fleksibel, dan terlau sibuk untuk melihat gambaran besar. Anak Kembar. Bila tidak ada anak lain, mereka seperti kakak adik tanpa perbedaan umur. Semua anak kembar dekat satu dengan yang lain. Kalau jenisnya sama, mereka seperti satu orang. Kalau ada anak lain, mereka menempati kedudukannya menurut urutannya. Mereka saling memengaruhi, dan kurang bersedia belajar dari orang lain atau memerhatikan orang lain. Mereka hanya berdua saja. Kadang-kadang sulit bagi mereka untuk meninggalkan satu dengan yang lain. Hal ini tampak kalau mereka mau menikah. Kelebihannya: memiliki pendamping konstan, seseorang yang mengerti, memiliki hubungan dengan seseorang, percaya diri, multi-tugas, pemandu, ingin menonjol. Kekurangannya: krisis identitas, mungkin tidak merasa unik, bersembunyi di balik bayangan kembar, tidak banyak privasi, merasa diserang.
Jumat, 14 Oktober 2016
Mengawali hari dengan olah raga Yoga. Saya mulai sedikit hafal dan mulai lentur tubuh saya, yang sebelumnya masih terasa kaku dan sulit untuk mengikuti gerakan-gerakan yang memang belum pernah saya kenal, kecuali mereka yang sudah pernah ikut yoga. Saya makin menikmati gerakan-gerakan yoga yang sederhana ini.
Hari ini kami masih melanjutkan tentang Keluarga Asal. Kami disuruh membuat Genogram dasar. Saya mulai mengingat-ingat nama kakek nenek baik dari ayah maupun ibu. Setelah itu kami mensharingkan dalam kelompok kecil. Saya bersama ketiga peserta, dua Suster dan satu Bruder, yang ketiganya berasal dari Menado. Mereka masing-masing bercerita tentang situasi mereka dalam keluarga ketika mereka masih kecil. Saya pun menunjukkan Genogram yang saya buat dan menceritakan siapa saya dalam keluarga saya.
Faktor Pembeda. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan urutan proses kelahiran tidak bekerja pada beberapa hal, ini adalah normal. Faktor-faktor itu antara lain: Orang Tua. Status perkawinan orang tua. Hal ini sering menentukan apakah seorang anak itu menjadi seperti ibu atau ayahnya atau keduanya. Jika orang tua bercerai dan menjadi single parent, kemudian anak tersebut akan memiliki karakter yang paling terlihat dalam orang tua, terlepad dari urutan kelahiran. Gaya hidup orang tua. Hal ini memengaruhi bagaimana anak bereaksi dalam segala situasi. Cara pandang orang tua juga dapat memengaruhi sifat pada anak-anak. Jika orang tua terlalu kritis, seorang anak dapat memiliki kepercayaan diri rendah dan dia mungkin tidak merasa cukup baik. Hal ini dapat menyebabkan keretakan dalam proses urutan kelahiran. Jenis Kelamin. Ini tidak terjadi di setiap contoh, tetapi sering ketika ada perempuan atau laki-laki lahir terlebih dahulu, kemudian si anak sebelum dirinya adalah lawan jenis, maka urutan klelahiran bisa mengulang. Kesenjangan Kelahiran. Bila ada lebih dari lima tahun kesenjangan antara dua anak, sering merupakan “pribadi baru” terbentuk. Karena tingkat kematangan dari anak-anak begitu jauh, proses urutan kelahiran sering berulang. Adopsi atau Pernikahan Kembali. Jika adopsi terjadi, urutan kelahiran sedikit direnovasi karena kenyataan bahwa sekarang ada anak lain dalam keluarga. Hal yang sama berlaku untuk pernikahan kembali dan perubahan keluarga. Perbedaan tertentu terjadi bervariasi dalam kasus tertentu. Hal ini sangat tergantung pada umur pada saat adopsi/pernikkahan kembali dan di mana anak-anak lain bertemu dalam urutan kelahiran, jika ada anak-anak lain. Mental/Fisik/Kecakapan Emosional. Jika ada hambatan dalam satu atau lebih dari anak-anak, ini bisa mencegah proses urutan kelahiran dari yang diterapkan. Sering ketika ada ganggunan perkembangan fisik pada anak, maka anak-anak lain, baik tua atau muda, akhirnya perkembangannya lebih cepat dan merawat anak yang bersangkutan. Kematian Orang Tua / Saudara. Jika kematian saudara terjadi, anak-anak biasanya mengambil peran saudara mereka dalam upaya untuk membuat almarhum anak masih menjadi bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, sering anak-anak bergeser perannya, naik atau turun tergantung di mana posisi anak yang meninggal dalam proses urutan kelahiran.
Dalam diskusi kelompok, kami diajak untuk berefleksi untuk mengingat kembali keluarga asal kami. Membuat gambar rumah masa kecil kami di usia balita. Lalu kami juga berkumpul dengan teman-teman yang mempunyai urutan kelahiran yang sama untuk mensharingkan pengalaman dalam keluarga. Melihat kelebihan atau hal positif yang perlu dipertahankan dan dikembangkan serta kekurangan atau hal negatif yang perlu disingkirkan. Ada lima teman saya yang mempunyai urutan kelahiran yang sama dengan saya. Saya termasuk anak kelima dalam keluraga. Ternyata kami memiliki banyak kesamaan, setelah kami saling mesharingkan posisi kami dalam keluarga. Kami juga membuat Genogram dalam keluarga asal.
Misa sore ini diambil dari pesta St. Teresa dari Yesus, yang seharusnya diperingati besok, tgl. 15 Oktober. Berdua dengan Rm. Vence, OCD, kami berbagi buku saku dengan judul: “Kata-kata Bijak St. Teresa dari Yesus” Berhubung besok Sabtu, memakai liturgi hari Minggu, maka dirayakan hari ini. Saya diberi tugas untuk membawakan bacaan dalam Misa karena St. Teresa dari Yesus juga Suster Karmel Kontemplatif. Kami sepakat setiap hari Jumat malam ada Adorasi untuk menghantar hari hening pada keesokan harinya.
Sabtu, 15 Oktober 2016
Kami kembali masuk dalam keheningan setengah hari. Membuka dan membaca ulang Buku Harian yang sudah saya tulis selama lima hari yang lalu. Merenungkan kembali materi tentang Spiritualitas Doa dan Kontemplasi dan Aksi. Mohon supaya Tuhan menunjukkan kepada saya hal-hal penting yang perlu saya lakukan dalam hidup doa saya. Menemukan Tuhan dalam segala. Allah sebagai “Pemberi Kasih dan Kemuliaan. Mengingat kembali rahmat khusus atau hal-hal baik yang telah diberikan Tuhan akhir-akhir ini kepada saya. Semua ini saya bawa dalam suasana doa. Selain itu juga membaca bahan Keluarga Asal. Merenungkan relasi-relasi dominan dalam keluarga yang memengaruhi hidup saya sampai sekarang.
Minggu, 16 Oktober 2016
Hari libur kedua ini, teman-teman kursus merencanakan untuk berkunjung ke Pertapaan Trappistin (OCSO) di Gedono, Salatiga. Saya tidak berangkat bersama teman-teman kursus, karena mantan murid saya menjemput saya. Dia datang bersama suami dan putri keduanya. Kami berempat mengikuti misa di Gedono. Karena itu hari Minggu kedua, sangat banyak tamu yang datang untuk menghadiri misa di Biara ini, sehingga penuh sesak. Kami berempat tidak mendapat tempat duduk di kapel, tetapi di samping kiri kapel. Saya sempat berjumpa dengan beberapa teman kursus. Mereka hanya berkunjung, jadi tidak mengikuti misa, karena mereka masih akan menikmati keindahan kolam renang di Kopeng. Cukup lama mereka di sini. Setelah usai misa, kami sempat mampir ke toko dan membeli beberapa kue. Oleh mantan murid, saya diajak makan Ronde Jago yang cukup terkenal di Salatiga. Letaknya di dalam pasar. Ketika kami sampai di tempat ini, ternyata masih tutup. Kalau hari Minggu, buka pkl. 13.00. waktu kami datang sudah ada beberapa pembeli yang juga menunggu bukanya Warung Ronde Jago ini. Kami datang masih pkl. 12.45. Jadi menunggu 15 menit, yang bagi saya lumayan lama juga, belum lagi udara begitu panasnya. Jujur saja waktu itu saya ya merasa heran, koq siang-siang mengajak makan ronde. Padahal ronde itu paling enak dan nikmat dimakan kalau udara dingin. Ternyata memang enak Ronde Jago ini, pantas saja yang membeli sampai antri tempat duduk.
Senin, 17 Oktober 2016
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, saya bangun pkl. 04.00, lalu mandi. Setelah itu saya mendoakan Ibadat Bacaan dilanjutkan dengan dua bacaan. Pkl. 05.30 doa Ibadat Pagi bersama komunitas kecil saya di ruang samadi. Yang hadir hanya 4 teman, sedangkan 3 teman lain tidak hadir, meskipun demikian kami tetap doa bersama.
Materi hari ini masih melanjutkan tentang Keluarga Asal dan Inner Child. Hari ini secara khusus bicara tentang Inner Child. Seorang psikiater Swiss, Carl Gustav Jung, yang mengembangkan psikologi individual, mengatakan, bahwa di dalam diri kita ada anak kecil, bagian dari diri kita yang tidak pernah menjadi besar. Kita perlu memerhatikan di Kecil ini, karena keberadaan si Kecil dapat memengaruhi relasi-relasi dan kematangan mental atau kepribadian kita. Si Kecil adalah bagian dalam diri kita yang belum berkembang menjadi dewasa, kehadirannya terasa bila kita mengalami perasaan-perasaan tertentu. Kehadiran si Kecil di dalam diri kita kadang-kadang tampak dalam: salah ucap atau lupa; lewat perilaku yang menolak merefleksikan diri; keinginan untuk mempunyai bayi lewat kelahiran atau adopsi; beberapa orang suka memelihara binatang peliharaan sebagai ungkapan si Kecilnya. Binatang peliharaan itu menjadi pengganti si Kecil di dalam diri orang itu; muncul dalam mimpi. Yung mengatakan si Kecil perlu dilahirkan dalam masa kanak-kanak baru. Orang dewasa sering membungkan suara anak kecil; perasaan tidak boleh diungkapkan. Membentak membunuh sel otak anak. Akibatnya sifat-sifat si Kecil yang hidup itu, yakni sifat ingin tahu, spontanitas, kemampuan merasa, semuanya disembunyikan. Dalam proses mendidik anak, orang tua sering membuat anak menjadi seperti dirinya, sebagai orang tua. Sifat si Kecil yang indah dan bagus dirusakkan. Si Kecil merasa tidak aman, maka ia bersembunyi di bawah. Menekan apa yang diinginkan dan dirasakan. Perkembangan anak dihentikan bila perasaannya ditekan, terutama perasaan kemarahan dan sakit hati. Maka ia menjadi besar dengan seorang anak kecil di dalamnya yang merasa marah dan sakit hati.sikap si Kecil di dalamnya itu memengaruhi seluruh sikapnya. Si Kecil terus-menerus berusaha mendapat perhatian kita, tetapi banyak di antara kita lupa bagaimana mendengarkannya. Bila kita tidak memerhatikan perasaan-perasaan kita, itu berarti kita tidak mendengarkan anak kecil yang ada dalam diri kita. Bila anak kecil dalam diri kita tidak dapat keluar, kita kehilangan spontanitas dan semangat hidup. Akibatnya, kita menjadi lesu atau mengidap suatu penyakit. Bila si Kecil tersembunyi, kita juga memisahkan diri dari orang lain karena orang lain tidak pernah melihat perasaan kita yang sebenarnya atau keinginan kita yang sesungguhnya.
Supaya kita dapat menjadi manusia utuh. Si Kecil perlu dipeluk dan dibiarkan mengungkapkan diri. Biasanya orang yang diperlakukan kejam di masa kecilnya, cenderung memerlakukan orang lain dengan kejam pula. Pola ini terulang. Kebanyakan sikap semacam itu berakar dari masa kecil, tetapi dapat juga sikap-sikap kurang baik merupakan salah didik. Bila seseorang dimanjakan waktu kecil, ia cenderung merasa dirinya lebih hebat daripada orang lain. Ia merasa berhak untuk diperlakukan secara istimewa oleh semua orang dan menuntut itu. Mereka tidak pernah merasa salah, tidak bertanggung jawab dan selalu memersalahkan orang lain. Sering si Kecil berteriak minta tolong lewat penyakit. Pada saat itu si Kecil paling membutuhkan cinta kasih dan belas kasih. Pada saat-saat kita menderita penyakit kronis atau merasa tidak puas, saat-saat itulah si Kecil memerlukan pertolongan. Tanda-tanda lain ialah: kecemasan, ketakutan yang berlebihan, suka marah-marah, kritis, cenderung kecelakaan, merasa bosan berkepanjangan atau depresi. Semua ini tanda-tanda bahwa si Kecil dilukai.
Untuk mendekati si Kecil, kita perlu memerhatikan beberapa hal: Membangun kepercayaan. Dunia orang dewasa tidak aman bagi si Kecil, karena orang dewasa dapat kejam atau bersikap acuh terhadap anak kecil. Bila di masa lampau kita bersikap tidak baik terhadap si Kecil dalam diri kita, mungkin si Kecil tidak mau langsung percaya pada niat baik kita. Mungkin ia pada permulaan tidak mau dipeluk atau didekati. Mungkin juga ia menunjukkan sikap ragu-ragu dan takut. Bila demikian, kita harus sabar membangun kepercayaan dalam dirinya. Menunjukkan sikap hormat, menerima, terbuka, dan cinta kasih. Bila kita menunjukkan sikap-sikap tersebut, maka ini akan memupuk rasa kepercayaannya. Yang kita jumpai itu anak. Jadi biarkan dia merasa dan bicara seperti anak. Biarkan dia menulis dan menggambar seperti anak. Kalau si Kecil tidak merasa aman, ia akan masuk kembali dan bersembunyi. Menghormati si Kecil berarti membiarkan dia seadanya. Kalau ia mengatakan bahwa ia tidak bernama, terimalah dia. Mungkin namanya berubah-ubah, mungkin kali ini ia datang sebagai yang berumur 3 tahun, lain kali berumur 10 tahun. Terimalah dia seadanya.
Di dalam diri kita ada juga orang tua. Orang tua dalam diri kita ini belajar dari orang tua kita sendiri. Bila orang tua kita baik, maka orang tua dalam diri kita itu juga baik. Tetapi apabila orang tua kita kurang memadai waktu kita kecil, maka kita sulit mengerti apa itu hubungan sehat antara orang tua dan anak. Sebab itu orang yang dibesarkan dalam keluarga yang berfungsi kurang baik, sulit menanggapi kebutuhan si Kecil. Maka si Kecil dari orang dewasa seperti itu, sering marah atau sedih. Dalam diri kita ada 3 macam orang tua. Orang tua yang suka memelihara. Orang tua ini menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada si Kecil. Orang tua yang melindungi. Orang tua ini muncul bila kita harus menghadapi dunia luar untuk memenuhi kebutuhan si Kecil. Ia suka menentukan batas-batas, menuntut hak si Kecil. Orang tua yang suka menegur atau memersalahkan. Ia merupakan bagian diri kita yang mau sempurna, bagaikan seorang majikan yang dengan kejam menuntut supaya kita ini sempurna. Ia suka membuat kita malu, mengecilkan kita dan menghilangkan kepercayaan diri kita.
Dalam diri kita ada juga si Kecil yang suka bermain. Ia memiliki kemampuan untuk bergembira, sennang hidup. Ia menyukai hal-hal yang sederhana, seperti berlari-larian, main di pantai. Si Kecil yang kreatif ini menolong kita menjadi orang dewasa yang berhasil dalam usaha. Memang, kita perlu bekerja keras dan tekun. Dalam diri kita tinggal si Kecil yang rohani. Bayi kudus, bayi tercinta, bayi yang tak bersalah dan hidup dalam cinta kasih. Ia menolong kita menyerah kepada Allah yang hidup dalam diri kita karena ia melihat dengan hatinya. Si Kecil yang rohani itu bicara dalam keheningan batin kita. Ia bicara dengan kata-kata yang sederhana, dengan jelas dan kebijaksanaan tanpa batas. Bila kita menyembuhkan si Kecil, kita menemukan si Kecil yang rohani ini menunggu dalam hati kita. Si Kecil yang rohani mengetahui kebenaran, bahwa ia ada karena sumber cinta Ilahi yang tidak terbatas. Si Kecil yang rohani ini muncul dalam macam-macam cara. Ia ditemukan dlam renungan, dalam doa, dalam kontemplasi. Kita merasa kehadirannya bila kita sedang menikmati malam yang berbintang, atau pemandangan yang indah dari puncak gunung. Si Kecil yang rohani ini membuat kita kagum akan keagungan langit dan kedalaman samudra.
Kami disuruh menggambar anak kecil dalam diri kami dengan tangan kiri, lalu melakukan dialog dengan si Kecil dalam diri kami. Saya dewasa menulis dengan tangn kanan, sedangkan si Kecil menulis dengan tangn kiri. Selain itu kami juga disuruh mengungkapkan hal yang menyedihkan atau luka batin yang dialami waktu kecil. Setelah itu menulis surat kepada si Kecil. Ada beberapa teman yang mensharingkan masa kecilnya, yang cukup menyedihkan juga. Kami merasa terharu mendengarkan sharing pengalaman mereka. Ada beberapa yang masih berjuang untuk mengatasi luka batin/pengalaman pahit di masa kecilnya. Kami menjadi semakin terbuka satu dengan yang lain, sehingga kami semakin merasa dapat mengenali teman-teman yang lain.
Selasa, 18 Oktober 2016
Pagi ini diawali dengan Meditasi terpimpin pkl. 05.30 di ruang samadi dibimbing oleh Sr. Melanie Rostina, FCh. Bahan meditasi diambil dari 1 Kor. 13, 4 – 7 tentang kasih. Lalu kami disuruh menulis kembali ayat-ayat ini dengan mengganti kata kasih dengan nama kami masing-masing. Saya mensharingkan ayat-ayat ini berdasarkan pengalaman saya. Betapa inginnya saya juga mempunyai sikap kasih ini, yaitu sabar, murah hati, tidak pemarah, ……. Tolonglah saya, ya Tuhan, agar saya Kaumampukan untuk mengungkapkan buah-buah kasih kepada sesama yang saya jumpai.
Selama tiga hari, mulai hari ini materi yang diberikan ialah Hidup Komunitas oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Saya mensyukuri anugerah Allah melalui hidup berkomunitas. Dalam kenyataannya, ada anggota komunitas yang sulit bersyukur atas apa yang dialaminya, suka mengeluh dan tidak puas, suka protes. Namun ada orang yang mudah bersyukur, meskipun hal kecil yang dialaminya. Baginya semua adalah anugerah bebas dari orang lain untuknya. Orang lain sebagai hadiah. Pada dasarnya kebebasan pribadi menjadi salah satu ciri utama manusia, bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya. Terlepas dari motivasi terdalamnya, apa yang dilakukan oleh teman sekomunitas itu sungguh merupakan pemberian diri secara gratis, suatu anugerah, suatu bentuk dari cinta. Maka sudah sepantasnya kita mensyukurinya. Bila kita dapat mensyukuri apapun yang dilakukan oleh teman-teman skomunitas, kita akan lebih bahagia, lebih gembira dalam hidup bersama. Merasakan bahwa teman kita adalah anugerah Tuhan sendiri. Kita dapat membangun hidup bersama secara lebih baik, akrab, dan saling membantu. Hasilnya Komunitas Indah dan Damai. Membangun Komunitas Religius. Komunitas religius merupakan bentuk hidup bersama orang yang mempunyai iman yang sama, spiritualitas yang sama, tetapi terdiri dari pribadi-pribadi yang mempunyai latar belakang kepribadian yang berbeda-beda. Dalam membangun komunitas diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu dari pribadi anggota maupun dari pimpinan.
Pada pertemuan kedua, kami masuk dalam kelompok komunitas kecil untuk berdiskusi tentang hal-hal yang mendukung dan membangun komunitas
Kemampuan Pribadi Anggota. Dalam hidup bersama, membangun komunitas murid-murid-Nya di Palestina, Yesus memiliki kemampuan-kemampuan manusiawi yang juga kita miliki. Sesuai dengan teladan dan semangat Yesus, seorang religius hendaknya antara lain mempunyai kemampuan pribadi untuk membangun komunitas. Mendengarkan. Yesus mampu mendengarkan dengan baik, terutama mereka yang menjerit, mohon bantuan-Nya. Bakat mendengarkan dengan baik, umumnya dimiliki oleh seorang yang sungguh menyadari keterbatasannya dan kerapuhannya. Semakin kita menyadari kekurangan diri sendiri, semakin kita menyadari kebutuhan kita untuk menerima sesuatu dari yang lain. Pendengar sejati juga mendengarkan dengan budinya, maka ia terbuka dan tak cepat akan mengadili. Ia mendengarkan dengan hati, maka ia peka terhadap kebutuhan sendiri, maupun orang lain. Ia ‘mendengar’ dengan matanya, memahami hal mana yang harus diperhatikan dan hal mana yang dapat diabaikan. Berbicara. Yesus berbicara dengan jelas dan menawan. Ia pandai bercerita dan berani mengutuk orang-orang Farisi yang munafik. Ia dapat menikmati percakapan intim dengan sahabat-sahabat-Nya. Ia berani embil risiko dengan mengungkapkan keyakinan-Nya dan karena itu Ia dihukum mati. Komunitas yang sehat membutuhkan orang yang bersedia dan mampu berbicara dengan baik, mengemukakan pandangannya dengan baik. Yang diungkapkan mungkin benar, mungkin tidak benar. Kemampuan omunikasi menghasilkan kepercayaan. Mampu berkomunikasi membantu kita semakin memahami pikiran dan perasaan kita sendiri. Hendaknya komunitas memelajari ketrampilan berkomunikasi. Peka. Yesus amat peka. Ketika perempuan yang sakit pendarahan menyentuh mantol-Nya, Ia merasakannya. Ia memerhatikan janda yang memasukkan seluruh kekayaannya, yaitu dua peser ke dalam peti uang. Rasa peka itu penting, karena menghasilkan keutamaan-keutamaan lain, seperti: rasa hormat, sopan santun, simpati, pengertian, kesabaran, dan belas kasihan. Sebaliknya, jika tidak ada rasa peka, orang mudah bersikap kasar, egois, prasangka, curiga, dan bahkan kekerasan. Kepekaan diungkapkan dengan perhatian yang kecil-kecil, dengan kata-kata lembut, pandangan mata, kunjungan singkat, dan sentuhan-sentuhan. Menikmati Hal-hal Sederhana. Yesus menikmati kesenangan-kesenangan hidup sederhana: roti yang dipanggang, burung-burung yang terbang di udara, rasa anggur yang baru, anak-anak yang tertawa. Rahasia kebahagiaan sejati adalah hal-hal seperti: kemampuan untuk menikmati hal yang kecil dan sederhana, memerhatikan hijaunya rumput setelah hujan deras, mencium harumnya kopi yang baru dibuat, mandi dengan air hangat. Orang yang membiasakan dirinya untuk memerhatikan dan menghargai hal-hal kecil, mempunyai bakat yang amat berharga untuk memetik sukacita dari hal-hal yang biasa dan sederhana. Hal ini menjadi berkat bagi komunitasnya karena mereka mudah dipuaskan. Tekun. Yesus bekerja keras. Ia tak pernah jemu mengulang-ulang pesan-Nya “Cintailah satu dengan yang lain.” Ia bertekun hingga akhir, bahkan hingga disalibkan dan wafat. Orang yang tekun tak takut untuk bekerja keras dan bertahan terus untuk menyelesaikan tugas yang disanggupinya sampai tuntas. Merasa Dicintai. Yesus menyadari kasih Bapa. Ia sungguh-sungguh menyadari bahwa Ia dikasihi Bapa-Nya. Ia akhirnya bersedia menyerahkan diri kepada kehendak-Nya. Anggota komunitas yang menyadari harga dirinya dan merasa dirinya dicintai, adalah anggota yang paling disukai oleh yang lain. Mereka tidak terdorong untuk membuktikan harga dirinya dengan bersaing, membela dirinya, atau bekerja berlebihan. Keyakinan bahwa kita dicintai membuat kita bersikap santai dan memudahkan pergaulan kita dengan orang lain. Rasa percaya diri harus kita pupuk lewat relasi dengan sesama dan Tuhan dalam doa. Menerima Diri. Orang mampu mengenal pribadinya sendiri. Hendaknya seorang pribadi mampu menyadari, mengerti gejolak perasaan-perasaannya, dan menerima apa adanya. Akhirnya orang mampu menerima kekurangan, kelebihan, dan keunikan pribadinya. Pribadi yang demikian biasanya tenang, damai. Pribadi yang damai dengan diri sendiri dapat membawa orang lain damai pula. Kita perlu menyesuaikan diri dengan keunikan orang lain, tetapi kritus selektif, yang saling mengembangkan. Keunikan para anggota memerkaya dan menyatukan komunitas kita. Rasa Humor. Orang yang memiliki rasa humor umumnya bekerja lebih baik. Mereka lebih kreatif, lebih luwes, cenderung memakai metode-metode baru dan memiliki pandangan-pandangan yang baru. Mampu tertawa meringankan tekanan hidup sehari-hari. Masalah-masalah dalam komunitas terasa kurang menyakitkan. Bahkan kita dapat menertawakan diri sendiri. Kita dapat menemukan banyak kesempatan untuk tertawa. Empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan-perasaan orang lain. Kemampuan untuk mengerti perasaan orang lain menjadi kunci keberhasilan dalam kehidupan bersama orang lain, baik di dalam komunitas maupun dalam masyarakat pada umumnya. Memelihara Hubungan. Kemampuan untuk memelihara hubungan-hubungan dengan orang lain. Kemampuan ini pada umumnya membutuhkan ketrampilan dasar dalam menghadapi, menangani, dan menyelesaikan persoalan-persoalan emosional dengan orang lain, misalnya rasa tersinggung, marah, konflik, dll.
Kemampuan Pimpinan Dalam Membangun Komunitas. Setiap orang menjalankan suatu kepemimpinan. Paling tidak memimpin diri sendiri. Kepemimpinan, pertama-tama berkaitan dengan masalah mengarahkan, membuat pilihan, dan mengambil keputusan. Seseorang hanya dapat memimpin orang lain dengan baik bilamana suda dapat memimpin dirinya sendiri. Untuk menjadi pemimpin komunitas yang baik, orang harus memiliki kemampuan-kemampuan berikut: Rendah Hati. Sederhana dan menganggap diri pelayan dari semua. Biarlah yang terbesar di antara kamu menjadi pelayan dari semuanya (Mat. 23, 11). “Saya datang bukan untuk dilayani, tetapi melayani, jadilah kamu contoh bahwa kamu juga akan melakukan seperti saya telah melakukannya kepadamu (Mat. 20, 27 – 28). St. Vincentius a paulo mengatakan, “Seorang pemimpin harus tidak menunjukkan dia sebagai Pemimpin. Adalah salah mengatakan ini supaya dapat memerintah dengan baik dan memertahankan kekuasaannya. Orang harus membiarkan diri dikenal bahwa dia adalah pemimpin. Yesus, dengan kata-kata-Nya dan contoh-contoh-Nya telah mengajar kita.” Teladan Baik. Pemimpin harus memandang dirinya sendiri sebagai lampu yang tidak diletakkan di bawah gantang, untuk dilihat bagi semua orang. Sebagai model yang mana orang lain harus mengatur diri mereka sendiri. Maka seorang pemimpin: hendaknya berkelakukan baik; tidak dijiwai oleh semangat duniawi dan penuh egoisme; dijiwai semangat religius yang benar; dalam segala sesuatu hanya mencari kehormatan Allah dan keselamatan anggotanya. Cinta Terhadap Anggota. Rasul Paulus berkata, “Di atas semuanya itu, kenakanlah cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan. Tak ada yang lebih perlu untuk memimpin komunitas daripada cinta kasih. Cinta yang biasa tidak cukup sebagai pemimpin, di samping cinta seorang bapak, ia masih harus mempunyai cinta seorang ibu. Cinta kasih harus menjadi penggerak segala tindakan pemimpin. Cinta kasih juga terwujud dalam mendengarkan penuh perhatian, menghargai setiap orang, tidak membeda-bedakan orang, memerhatikan mereka yang lemah. Saleh/Suci. Seorang pemimpin harus merupakan api yang menerangi dan memanaskan. Harus memersatukan para anggota dengan Tuhan. Maka kata-katanya, karyanya, dan segala tingkah lakunya harus bersifat Ilahi. Maka seorang pemimpin harus rajin berdoa, renungan, meditasi, pemeriksaan batin, dan kunjungan kepada Sakramen Mahakudus, atau berdoa rosario. Maka Allah yang mahabaik akan memberkati segala usahanya. Sikap Hati-hati. Pemimpin selalu berjalan di jalan yang benar, dengan memegang Konstitusi. Dalam berkata, bersikap, dan bertindak pemimpin harus berdasarkan pertimbangan hati yang bijaksana. Perbuatan pemimpin yang dilakukan dengan kurang pertimbangan dapat menimbulkan kekacauan. Pemimpin harus insaf bahwa kata-kata, perbuatan, dan tindakannya sedang diuji dan dinilai oleh anggota. Sesuatu dalam orang lain (anggota) dinilai sebagai biasa saja, akan tetapi sungguh diperhatikan pada seorang pemimpin. Pemimpin harus berhati-hati, misalnya: tidak menyalahgunakan kepercayaan para anggota; berhati-hati dalam membimbing anggota muda; mendampingi anggota yang bertabiat sangat sukar; mendampingi mereka yang tua, lemah, dan sakit. Janganlah pernah menyatakan bahwa keadaan mereka merupakan gangguan atau menimbulkan kesukaran baginya; memberi tugas setiap orang sesuai dengan kemampuan masing-masing; tidak membuka rahasia pribadi atau apa yang dipercayakan kepada pemimpin. Kelembutan Hati. Pemimpin harus berhati tentram, tenang, sabar, agar segala tingkah lakukan diwarnai dengan kelembutan hati. Jika memerintah baiklah dengan kata permohonan. Pemimpin yang lembut hati akan menguatkan bagi anggota yang sedang kacau. Lembut dalam kata, sikap, dan perbuatan. “Suatu kata yang bernada keras, menimbulkan kemarahan.” (Mzm 15, 1). St. Yohana Fransiska pernah menulis, “Cara yang terbaik untuk memeimpin dengan hasil baik ialah dengan lembut dan rendah hati serta dengan kesabaran.” Hendaklah lemah lembut terhadap diri sendiri, optimis, selalu riang gembira. Keteguhan. St. Vincentius a paulo mengatakan, “Tak ada yang lebih merugikan suatu komunitas daripada seorang pemimpin yang terlalu lemah, yang suka menyenangkan orang lain dan mencari-cari cinta para anggota komunitas itu.” Seorang pemimpin sebagai wakil Yesus Kristus harus dijiwai kebaikan dan keteguhan hat. Ketakutan dan kegelisahan tidak patut terdapat dalam orang yang sungguh beriman. Pemimpin hendaknya melengkapi diri dengan perisai iman. Janganlah mundur sedikit pun jika bertekad memertahankan kehormatan Allau atau keselamatan jiwa-jiwa. Kebijaksanaan dan Ilmu Pengetahuan. Rasul Paulus menulis kepada Timotius, “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian, engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau. Para pemimpin telah diangkat Allah untuk mengajar, membimbing, memeringatkan, dan menegur para anggota untuk menjadi orang yang hidup menurut keinginan Hati Yesus Yang Mahakudus. Mereka harus mempunyai kepintaran, kebijaksanaan, dan pengetahuan, pengalaman, berwawasan luas, bisa mengikuti perkembangan zaman. Giat dan Tabah. Pemimpin tidak pernah takut akan kesukaran, pekerjaan berat atau pengurbanan. Pemimpin harus giat, bersemangat dalam bekerja dan memelihara Konstitusi serta segala aturan yang sudah disepakati bersama, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam hidup para anggota. Pedomannya ialah Kehendak Allah yang suci dan keselamatan jiwa-jiwa. Pemimpin siap menjadi tempat sampah anggota. Kepada dialah setiap orang datang dan setiap orang berhak dihibur, ditolong, diperkuat, dan diajar. Pemimpin tidak boleh gelisah, risau, tidak percaya diri dalam menghadapi masalah. Ia tabah dalam menghadapi segala masalah dan tantangan. Kepercayaan. Seorang pemimpin harus menaruh kepercayaan yang mantap kepada Tuhan, betapa pun sulitnya perkara-perkara yang harus dihadapinya. Hendaknya Ia mempuyai keyakinan teguh bahwa ia selalu akan mendapat pertolongan dari Tuhan, tak ada sesuatu pun yang tak mungkin bagi Tuhan. Percaya kepada kedewasaan anggotanya. Ia berani memberikan kepercayaan, yaitu ruang gerak dan kebebasan anggota, sehingga dapat berkembang menurut citra Allah ia memungkinakan setiap orang dapat berkembang sesuai dengan dirinya, panggilannya, dan perutusannya. Hubungan Anggota dan Pimpinan: hubungan yang baik antara anggota dan pimpinan komunitas antara lain: saling mencintai, saling menghormati, saling percaya, saling menaati, dan saling berdedikasi.
Tantangan Komunitas Religius Dewasa Ini: Kesaksian Kontemplatif. Komunitas religius pertama-tama BERSAKSI akan pencarian Allah yang terus-menerus dalam doa dan aksi (kontemplasi dalam aksi). Dengan demikian komunitas kita dapat menjadi semacam “oase” bagi orang-orang yang haus akan Allah. Inkulturasi. Inkulturasi artinya meresapkan nilai-nilai Injil dalam kebudayaan lokal,dan pada saat yang sama mengambil unsur-unsur yang baik yang terdapat dalam kebudayaan tersebut dan memperbarui unsur-unsur itu dari dalam. Dialog. Dialog bertujuan untuk memperdalam relasi yang sudah ada dan menciptakan relasi yang belum ada atau menyambung relasi yang terputus. Dalam konteks masyarakat kita yang pluralistis, kebiasaan berdialog hendaknya dipromosikan dalam komunitas. Prasyarat terjadinya suatu dialog adalah kesamaan dan cinta yang mendalam antar semua pihak. Mustahil ada dialog dalam situasi dominasi. Option fot the Poor. Pilihan yang memihak mereka yang miskin, lemah, dan membutuhkan kesaksian komunitas dalam hal hidup sederhana, berlaku adil, berada di tengah-tengah orang miskin dan berbagi apa yang kita punya. Kesetiaan Kreatif. Kesetiaan kreatif pada karisma pendiri dalam konteks evangelisasi baru dan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik. Kita perlu menemukan cara-cara baru untuk menularkan karisma kita kepada semua orang dengan “bahasa” yang dapat ditangkap oleh mereka. Pembedaan Roh. Dalam hidup komunitas, dalam karya, inkulturasi kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan, maka dibutuhkan kemampuan membeda-bedakan roh, agar kita memeroleh pilihan yang tepat. Pembinaan Terus-menerus. Pembinaan ini merupakan syarat intrinsik pentakdisan religius. Tidak ada seorang religius pun yang dapat mengklaim dirinya telah sempurna. Pembinaan meliputi: pembinaan kepribadian dan kerohanian, misalnya dalam pengenalan diri, kecakapan berkomunikasi, sosial budaya, pendalaman spiritualitas dan karisma pendiri.
Rabu, 19 – 20 Oktober 2016
Dalam olah raga pagi ini saya tidak mengikuti yoga, karena saya ingin sesekali ikut bermain bulutangkis. Ternyata masih baru bermain sebentar tubuh saya sudah basah kuyup berkeringat. Saya hanya bermain sebentar karena ada beberapa teman yang juga ingin bermain bulutangkis. Setelah itu saya bersepeda sebentar, terasa sejuk sekali di tubuh bersepeda di pagi hari. Sudah sekian puluh tahun saya tidak pernah lagi bersepeda. Mulanya terasa kaku memegang stang sepeda, tetapi cuma sebentar, setelah itu saya bisa santai bersepeda. Setelah beberapa putaran, saya berhenti bersepeda. Selain saya ada beberapa Romo yang juga bersepeda di pagi hari ini.
Sore ini kami diminta untuk mementaskan drama singkat dalam hidup berkomunitas. Kelompok saya mementaskan drama dengan judul “Biaraku malang, biaraku sayang”, intinya bercerita tentang sesama suster yang menggosipkan teman sekomunitasnya dengan seorang Romo yang menjadi rekan kerja pastoral suster tersebut. Saya diminta untuk memerankan sebagai piko (pimpinan komunitas). Kelompok kami mendapat beberapa pujian dari teman-teman karena cerita yang kami angkat memang sering terjadi dalam komunitas-komunitas.
Jumat, 21 Oktober 2016
Sebenarnya saya hari ini ingin bolos untuk olah raga karena tangan kanan saya terasa sakit sekali, akibat bermain bulutangkis hari Rabunya. Namun, saya juga ragu-ragu untuk membolos, pasti teman-teman nanti bertanya, mengapa saya tidak hadir. Akhirnya, saya kembali mengikuti olah raga yoga, dan untuk selanjutnya saya tidak beralih ke olah raga lain sampai hari terakhir.
Hari ini kami mendapat materi tentang Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan oleh Tim dari R.S. Elisabeth, Semarang. Pertemuan pertama diberikan oleh dr. Inge, yang membawakan materinya dengan kocak dan lucu, sehingga kami semua bersemangat mengikutinya. Banyak pertanyaan yang kami lontarkan terhadap dr. Inge. Dibahas tentang kesehatan tengah umur, yang memang menjadi usia kami saat ini. Pertemuan kedua dilanjutkan oleh Pak Titus, spesialis gizi. Berbeda sekali cara penyampaiannya dengan dr. Inge. Orangnya terlalu kalm dan tenang, sehingga kurang begitu menarik. Apalagi setelah santap siang masih dilanjutkan lagi sampai pkl. 15.00. Sebagian besar peserta kursus mengantuk, termasuk saya, sehingga tak dapat lagi mengikuti materi yang diberikan oleh Pak Titus. Dalam evaluasi, saya mengatakan tidak tepat memberikan materi pada waktu setelah makan siang karena kami sudah sejak pagi duduk di kelas, tentu sangat melelahkan, sehingga terasa sia-sia saja karena kami tak mampu lagi mengikuti materi ini dengan baik karena sulit untuk konsentrasi.
Malam hari setelah mengerjakan Buku Harian, dilanjutkan dengan Adorasi dengan Pentakhtaan Sakramen Mahakudus. Seperti biasa sesudah makan malam kami mendapat lembaran Hari Tenang dan Evaluasi I Perjalanan Kursus Medior Gelombang 2016.
Sabtu, 22 Oktober 2016
Kembali saya masuk dalam keheningan setengah hari. Selain itu juga mengerjakan evaluasi I. Hasil evaluasi ini harus kami kumpulkan kembali nanti malam sesudah makan. Memang ada beberapa usulan dari teman-teman tentang beberapa hal. Hasil evaluasi ini dibahas bersama dan diberi tanggapan langsung oleh Br. Anton Karyadi, FIC selaku pimpinan di Rumah Khalwat Roncalli. Dalam rangka Hari Ulang Tahun Paroki “Paulus Miki” yang ke- diadakan pentas “Wayang Wahyu” semalam suntuk dengan dalang Romo MSF. Kami yang berminat, boleh menonton Wayang Wahyu. Berhubung sebelumnya hujan turun dengan deras, tidak banyak yang berminat. Itu pun karena sebagian besar peserta kursus berasal dari luar Jawa, sehingga mereka tidak mengerti Bahasa Jawa. Bersama dengan keempat teman, saya ikut nonton wayang ini. Kami berangkat pk 21.00 berjalan kaki karena tempatnya tidak begitu jauh, meskipun juga tidak terlalu dekat. Kami hanya menikmatinya satu jam, setelah itu kami kembali ke Roncalli diantar dengan mobil oleh seorang Bapak yang memang menyediakan diri untuk mengantar suster-suster lain yang ikut hadir. Lumayan banyak biarawati yang menikmati Wayang Wahyu ini.
Minggu, 23 Oktober 2016
Hari ini Br. Redemptus, FIC mengajak para peserta kursus yang berminat untuk ke hutan karet untuk kartasis. Kami berangkat sekitar pkl 05.00. masing-masing peserta disarankan untuk membawa tongkat dari ranting-ranting pohon yang sudah tersedia, karena jalan menuju ke hutan karet menanjak. Selain itu juga untuk berjalan menuju ke tempat yang lebih tinggi, tentu sangat membantu bila membawa tongkat. Meskipun Br. Redemtus hampir berusia 77 tahun, tetapi masih mampu berjalan dengan tegap dan cepat. Kami yang jauh lebih muda sudah tertinggal lumayan jauh. Setelah sampai di hutan karet, kami disuruh berpencar dan dipersilakan untuk berteriak-teriak sebagai wujud kartasis, terutama bagi mereka yang sedang mempunyai beban atau masalah berat dalam hidupnya. Sebagian besar dari kami berteriak-teriak, namun ada juga yang tidak berteriak, termasuk saya karena memang saya tidak terbiasa berteriak. Setelah kami berkumpul semua di atas, maka kami diajak menuju ke tanah lapang yang begitu luasnya, sehingga dari ketinggian ini kami dapat melihat Rawa Pening. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Di sini kami banyak berfoto ria. Sekitar pkl 07.15 kami sudah tiba kembali di Roncalli. Ada yang langsung sarapan, ada yang mandi dulu karena dalam perjalanan tadi sepatu kami berlumpur. Bagi saya terasa tidak nyaman makan dengan tubuh yang tidak bersih karena berkeringat dan berdebu. Usai mandi, barulah saya menikmati nasi goreng yang sudah dingin. Tinggal beberapa teman yang masih tinggal di ruang makan.
Hari ini saya diajak oleh Sr. Susana, SPM untuk mengunjungi ayah, ibu, adik perempuan, dan keponakannya yang tinggal di Ungaran. Selain saya yang ikut, ada dua Bruder dan satu Suster lain. Pukul 09.00 kami berlima dengan angkot menuju ke rumah keluarga Sr. Susana. Kami disambut dengan begitu ramah oleh kedua orang tuanya. Karena hari belum terlalu siang, oleh Br. Lukas, OFMCap kami diajak ke Semarang untuk menghadiri upacara pemakaman ayah angkatnya, yang tentu saja sudah dimulai. Ketika kami berlima sampai ke pemakaman, upacara belum selesai. Kami sempat berdoa dan juga menaburkan bunga. Tidak lama kami di sinia, saat itu disertai hujan yang tidak begitu deras. Setelah itu kami kembali ke rumah orang tua Sr. Susana.
Di tengah jalan kami melewati hutan karet, yang membuat kami ingin mengambil gambar di sini. Maka meskipun hujan, kami semua turun sambil membawa payung. Hujan bukan alasan bagi kami untuk memuaskan keinginan berfoto dengan latar belakang hutan karet. Selain itu, ketika kami menjumpai patung gajah yang amat besar dengan pose berdiri, maka kami pun tertarik untuk berfoto di sini. Kami benar-benar menikmati perjalanan ini dengan hati yang bergembira. Sesampai di rumah, sudah disiapkan santap siang bagi kami. Dengan suasana penuh kekeluargaan kami makan siang bersama dengan mereka sambil dengan ‘gayeng ngobrol ngalor ngidul’. Menjelang sore hari kami berpamitan untuk kembali ke Roncalli. Sebelumnya kami foto bersama keluarga ini. Liburan yang menyenangkan dan penuh keakraban. Kami semua bergembira.
Senin, 24 – 27 Oktober 2016
Selama empat hari materi yang kami terima, yaitu tentang Transformasi Diri yang diberikan oleh Rm. Martin Mariosa Kleruk, MSF. Beliau berasal dari Kupang. Sebelumnya Beliau termasuk tim staf di Roncalli. Sekarang bertugas sebagai Magister. Cukup menarik cara Rm. Martin menyampaikannya, sehingga kami pun mendengarkan pengajarannya tanpa merasa lelah. Ada beberapa cerita humor yang diselipkannya, selain juga sharing pengalamannya ketika masih kecil, yang menunjukkan adanya tranformasi diri. Misalnya dulu tidak pernah berani menyanyi karena merasa tidak percaya diri, meskipun suaranya bagus. Melalui latihan lama-lama menjadi berani untuk tampil menyanyi. Banyak bahasa gaul yang digunakannya. Rasanya pas kalau Rm. Martin mendapat tugas mendampingi para novis.
Kamis, 27 Oktober 2016
Pagi ini acara harian diawali dengan meditasi terpimpin oleh Br. Anton Sumardi, FIC di ruang doa atas, tempatnya bersebelahan dengan ruang kelas. Sebelumnya kami diajak melakukan senam ringan sekitar 15 menit. Setelah itu kami mengambil sikap duduk dengan rileks. Hening dengan mendengarkan musik. Beberapa saat kemudian dibacakan Injil Matius 11, 28: “Datanglah kepada-Ku kamu semua yang berbeban berat Kami diminta untuk mengimajinasikan ayat Injil ini. Bagi saya ini merupakan ayat emas. Saya suka sekali dengan ajakan Yesus yang bukan basa-basi untuk datang kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup, saya selalu berusaha untuk datang kepada-Nya dalam situasi apa pun, karena saya percaya hanya Dialah yang dapat membuat hati saya tenang. Tiap saat saya datang kepada Yesus. Saya tak ingin berjauhan dari-Nya dan saya juga ingin kehadirna-Nya selalu dapat saya rasakan.
Jumat, 28 Oktober 2016
Rasanya sudah lama saya tidak melakukan ibadat bersama. Saya merindukan untuk bisa ibadat bersama. Untuk pertama kalinya pagi ini saya mengikuti Ibadat Pagi di Novisiat MSF yang diadakan pada pkl. 05.00 lalu dilanjutkan dengan Misa. Tanpa terasa sudah hampir sebulan saya berada di tempat ini. Dalam pekan ini saya mulai tidak ikut makan pagi juga makan malam. Di biara saya sudah lama tidak makan pagi, cuma makan buah. Memulai lagi makan pagi membuat tubuh saya kurang nyaman. Begitu pula mulai bulan Mei tahun 2016, pada malam hari saya membiasakan makan buah saja. Hanya sesekali saya makan seperti Suster yang lain. Sebenarnya Suster Priorin sudah berpesan kepada saya supaya ikut makan pagi. Namun, saya tak bisa memenuhi pesannya. Saya sudah menyadari sejak awal, bahwa berkumpul dengan banyak religius dari Tarekat aktif, pastilah akan berbeda suasananya dengan kebiasaan saya di biara, yang sehari-hari suasananya tenang dan hening. Lagi-lagi saya merindukan suasana hening tersebut. Maka saya pikir, saya perlu menarik diri dari kebisingan dan hiruk pikuk dari suara derai tawa dan terus berbicara dari para peserta kursus lainnya. Terasa benar kalau saya tak bisa selalu berada dalam suasana yang ramai. Hati saya merindukan suasana yang hening dan tenang, maka salah satu upaya saya tidak ikut makan malam dan tidak sering hadir dalam acara rekreasi malam hari. Biasanya saya hanya tinggal di kamar untuk melakukan sesuatu, entah berdoa pribadi, membaca, atau mengerjakan tugas-tugas lain.
Materi hari ini tentang Healing yang diberikan oleh Br. Anton Sumardi, FIC. Ada beberapa sharing menyedihkan yang diungkapkan oleh teman-teman kursus, yang bercerita tentang kematian ayahnya dan sebagian besar dari mereka tidak sempat menyaksikan sendiri. Namun ada juga yang dikabulkan doanya, sehingga masih sempat bertemu sebelum ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya. Doalah yang memberi mereka kekuatan. Begitu luar biasa kekuatan sebuah doa.
Minggu, 30 Oktober 2016
Komunitas kecil saya hari ini merencanakan untuk mengunjungi Pertapaan Rawaseneng di Temanggung. Dalam kelompok saya ini ada Romo Matius Juang, SMM dari Flores. Romo ini sudah 16 tahun bertugas sebagai misionaris di Papuanugini. Dia datang ke Indonesia hanya untuk mengikuti kursus Medior ini. Kami diantara oleh dua keluarga, keluarga Flores yang masih keluarga dengan Romo dan keluarga Kalimantan, yang baru dikenalnya. Kami, bersembilan dengan tujuh awam berangkat sekitar pkl 07.30 dari Roncalli. Sepanjang jalan kami bernyanyi-nyanyi, begitu pula dalam perjalanan pulang. Perjalanan yang lumayan jauh tidak terasa melelahkan karena suasana gembira yang kami rasakan. Menjelang petang sekitar pkl. 18.00 kami kembali ke Roncalli. Terima kasih Tuhan atas perjalanan hari ini. Terima kasih atas kebaikan dan kemurahan hari dua keluarga yang sudah menghantar kami hari ini.
Senin, 31 Oktober 2016
Pagi ini saya tidak melakukan ibadat pagi bersama kelompok, teman-teman masih merasa lelah karena kemarin pergi seharian. Hari ini materinya masih tentang Healing. Setiap manusia merindukan dan memerlukan healing. Sebagai religius medior, sering mengalami dan menyimpan luka atau cidera. Sedih karena kehilangan orang dekat, tersinggung amat dalam, mengalami tekanan batin, merasa minder atau ditolak, hidup dalam ketegangan dan ketakutan, cemas, was-was, tanpa harga diri, ada marah dan eendam tersimpan, ada kesalahan yang belum diampuni, ada luka yang tak mau sembuh, ada air mata yang belum pernah tercucur. Semua ‘rasa sakit’ ini memerlukan penyembuhan.
Karena rasa penasaran, malam ini saya mengikuti meditasi penyembuhan. Siang tadi dalam makan bersama, beberapa teman semeja bercerita tentang meditasi penyembuhan yang dibimbing oleh Rm. Aloysius Rinata Hadiwardaya, MSF. Mereka merasakan adanya perubahan dalam dirinya setelah mengikuti meditasi ini. Lalu ada beberapa sikap yang mereka lakukan selama meditasi, tetapi tanpa dapat mereka kendalikan. Syarat dari meditasi ini adalah penyerahan dan kepasrahan yang sepenuhnya. Biarlah Roh Kudus yang bekerja.
Selasa, 1 November 2016
Hari ini adalah Hari Raya semua orang kudus. Pikiran saya melayang ke Biara saya di Batu yang merayakan hari ini dengan Ibadat Harian dan misa secara meriah. Khusus untuk hari ini, di Biara saya santap siang dan malam diperbolehkan berbicara, karena biasanya kami makan sambil mendengarkan bacaan. Di sini, saya hanya berdoa sendiri. Di tempat kursus ini, kami selalu ngobrol sambil makan. Memang terasa sekali bedanya, tetapi saya belajar menikmati apa saja yang saya alami selama di tempat kursus ini. Saya mensyukuri saja semua yang boleh saya alami di sini.
Rabu, 2 November 2016
Pagi ini saya membolos olah raga karena saya mengikuti Ibadat Pagi dan Misa di Novisiat MSF. Hari ini banyak umat yang hadir. Sebelum misa dimulai, banyak umat yang meletakkan bunga tabur di depan meja altar, di tempat yang sudah disediakan. Sesudah misa ada pemberkatan bunga tabur milik umat. Sebelum pulang saya doa Ibadat Bacaan. Ternyata seorang Ibu sedang menunggu saya di depan kapel. Beliau bercerita kalau semalam ditelpon oleh anak temannya, Pak Tarsisius Suwahyo, yang saat ini sedang sakit. Anak ini bertanya, apakah ibu mempunyai kenalan Suster Karmel. Maka Ibu ini agak kaget ketika pagi ini melihat saya dalam misa. Dengan jubah khas Karmel, tentu saja kehadiran saya akan mudah dikenali. Tuhan selalu punya cara untuk menjawab kebutuhan umatnya. Pertemuan tak terduga, namun memberikan harapan bagi yang memerlukannya.
Kamis, 3 – 4 November 2016
Selama dua hari mulai hari ini dibahas tentang Mimpi yang diberikan oleh Br. Anton Sumardi, FIC. Mimpi adalah salah satu sarana untuk melihat dinamika kehidupan bawah sadar. Memahami mimpi dapat membantu kita mengenal diri sendiri maupun orang lain. Ada pandangan bahwa dunia sadar sama riilnya seperti dunia luar yang disadarinya. Meskipun sulit dipahami seutuhnya, seluruh mimpi dapat menjadi sumber energi dan pengenalan diri, asalkan diberi perhatian. Menurut Johari Window dalam diri seseorang ada bidan Terbuka atau ruang terbuka, yakni segala apa saja dari diri kita yang mudah atau mau kita komunikasikan kepada orang lain, dan yang boleh diketahui orang lain. Makin dekat orangnya, mungkin makin rela kita membuka ruang ini. Bidang Tersembunyi atau ruang tertutup, atau rahasia, yaitu segala apa saja dari diri kita yang karena salah satu alasan, kita cenderung rahasiakan atau sembunyikan saja. Segala hal dalam diri kita yang tak layak atau yang sulit dan enggan kita katakan atau yang sebaiknya jangan diketahui orang lain. Ruang Buta yaitu segala hal dari diri kita yang kita sendiri tidak ketahui, tidak lihat atau sadari. Namun dengan jelas dilihat atau diketahui orang lain, karena biasanya cukup mencolok, mengganggu atau menggelikan. Semua melihat atau mengetahuinya, khususnya bagi mereka yang biasa bergaul dengan kita, tetapi kita sendiri tidak menyadarinya. Bidang Gelap yaitu segala sesuatu pada diri kita yang berada di dalam “kegelapan”, di alam bawah sadar atau kita tak menyadarinya. Segala sesuatu yang tidak kita sadari atau ketahui karena telah terpendam di bawah sadar, entah disengaja atau tidak disengaja atau karena memang termasuk “dunia tak sadar” itu. Hal ini tidak jelas bagi orang lain maupun diri sendiri.
Sabtu, 5 November 2016
Hari ini menjadi hari piknik bersama. Kelompok saya mendapat tugas di dapaur pagi hari pkl. 04.00. Secara gotong royong, kami menyiapkan nasi kotak untuk bekal makan siang dan kue-kue di perjalanan. Semuanya dimasak sendiri oleh karyawan dan Sr. Lucia Sihdiyanti, SRM yang bagian konsumsi. Karena ada banyak yang membantu, sebelum pkl 05.00 sudah selesai semuanya. Apa saja yang akan kami bawa sudah disiapkan di kamar tamu, dekat pintu luar. Kami misa pkl 05.45 lalu makan pagi. Pada pkl 07.00 kami diharap sudah siap. Kami boleh langsung masuk ke bis besar yang sudah datang sejak pkl. 06.00 tadi. Peserta kursus sejumlah 47 ikut semua disertai dengan 7 staf. Salah seorang staf, Ibu Lanny Hariyani mengajak cucunya. Kami awali perjalanan ini dengan doa dan berkat dari Romo, mohon perlindungan Tuhan selama dalam perjalanan ini.
Tujuan pertama adalah Candi Borobudur. Saya pribadi sudah beberapa kali ke tempat ini, tetapi sebagian besar peserta yang berasal dari luar Jawa, belum pernah ke sini. Kami hanya diberi waktu 1 jam di sini. Meskipun bukan hari libur, begitu banyaknya pengunjung yang datang. Setelah itu kami menuju ke pusat perbelanjaan di Malioboro. Di tempat ini kami diberi waktu 1,5 jam. Saya mengantar seorang Suster untuk mencari keperluan pribadi dan akhirnya dia mendapatkan yang dicarinya. Karena sudah waktunya makan siang, maka dibagikan bekal makan siang. Piknik terakhir menuju ke Parang Tritis. Bersama dengan Sr. Susana, SPM, saya naik dokar menuju ke pantai karang, di mana banyak karang dengan bentuknya yang unik-unik dan banyak teman yang berpose di sini. Ada Romo dan Bruder yang naik kuda. Selain itu mereka juga naik ‘moge’, sepeda motor besar yang rendah dengan empat roda kecil yang gemuk. Mengesankan sekali ketika ada seorang Suster dengan percaya dirinya ikut mengendarai ‘moge’ ini, karena keinginannya untuk naik kuda tidak terwujud. Dia pun menyadari kalau dirinya memang ‘tomboi’. Tentu saja kami banyak berfoto ria di banyak tempat. Menjelang sore hari kami meninggalkan pantai ini. Sebelumya kami menikmati dulu es kelapa muda yang isinya langsung dituangkan di plastik dan diberi sedotan, sehingga dapat kami bawa untuk dinikmati di bis. Menjelang pkl 21.00 kami sampai di Roncalli dan langsung disambut oleh bakso panas di ruang makan. Kami makan bersama sebelum kembali ke kamar kami masing-masing. Perjalanan yang melelahkan, namun sangat menggembirakan. Terima kasih Tuhan atas hari indah yang boleh kami nikmati bersama hari ini.
Minggu, 6 November 2016
Sebagai gantinya hari tenang kemarin, maka hari ini menjadi hari tenang setengah hari. Pagi ini misa pkl. 06.00. Hari ini saya bimbingan untuk kedua kalinya dengan Sr. Yovani, PI pada pkl. 08.00. saya mendapat tugas untuk menulis ‘inner child’ dengan tangan kiri. Sore hari, pkl. 16.00 bersama beberapa teman saya ikut ke kolam renang Muncul, diantar oleh Br. Anton Karyadi, FIC yang juga ikut renang. Di kolam renang ini pengunjung bebas berenang dengan pakaian apa pun, bahkan ada yang tetap memakai jilbabnya. Ada begitu banyak orang yang berenang. Para Suster sudah melepas kerudungnya sejak dari Roncalli, mereka memakai pakaian bebas. Ada Romo dan Bruder yang juga ikut bersama kami. Saya dan satu Suster yang hanya menonton mereka berenang. Airnya sangat dingin.
Senin, 7 – 8 November 2016
Mulai hari ini materi tentang Seksualitas yang diberikan oleh Br. Anton Sumardi, FIC. Materi ini diberikan kepada kami dengan beberapa alasan, antara lain: akhir-akhir ini kaum imam dan religius sedang diguncang kasus “sexual abuse”. Di Eropa hampir tidak ada lagi calon untuk hidup religius karena kehidupan yang makin berorientasi pada kenikmatan duniawi. Banyak religius “terpaksa” mengundurkan diri karena kesulitan dalam penghayatan kaul selibat. Permasalahan di sekitar seksualitas: pemahaman yang kurang tepat mengenai seksualitas kaum religius. Pengembangan seksualitas yang kurang sehat dan dampak negatifnya. Kurang terintegrasikannya seksualitas dan spiritualitas. Kurang terintegrasikannya seksualitas dalam doa, karya, hubungan dengan sesama. Seksualitas dan spiritualitas itu seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Satau dengan yang lain saling memengaruhi dan saling bergantung. Jika keduanya terintegrasi: energi hidup yang luar biasa. Tidak ada seksualitas yang sehat tanpa spiritualitas yang sehat dan sebaliknya. Hidup religius dapat berkembang subur dan sangat membahagiakan jika kita dapat mewujudkan seksualitas kita dengan benar, dengan membangun relasi yang sehat, hangat, mesra dan akrab, tanpa mengarah pada hubungan seksual, yang merupakan wilayah pernikahan. Dalam kelompok komunitas kecil, kami membahas tentang persahabatan dalam hidup selibat. Pada sore hari diputarkan film tentang seorang istri yang berselingkuh selama 16 tahun, yang akhirnya bertobat.
Rabu, 9 November 2016
Pagi ini tidak ada olah raga, tetapi diganti dengan meditasi terpimpin. Kali ini dipimpin oleh Br. Redemptus, FIC. Karena ada pemilihan Pak Lurah dan Bu Lurah baru, maka kami berkumpul pkl. 07.40. Terpilihlah dengan suara terbanyak Br. Willy, MSC sebagai Pak Lurah dan Sr. Yohana, DSY sebagai Bu Lurah. Materi hari ini dan besok adalah Kemurnian yang diberikan oleh Br. Redemptus, FIC yang berusia hampir 77 tahun. Sesungguhnya saya sempat berpikir, pastilah akan banyak teman yang mengantuk bila Beliau nanti mengajar kami. Ternyata salah sama sekali perkiraan saya ini. Sejak awal pelajaran, kami selalu dibuat tertawa karena sikapnya yang begitu lucu. Ada saja yang Beliau perlihatkan dalam mimik wajahnya dan gesture tubuhnya. Tak ada seorang pun yang mengantuk. Suasana begitu hidup dan ramai dengan senyum dan tawa. Bruder ini tampil dengan amat sederhananya, padahal Beliau mantan Provinsial FIC. Beginilah pribadi yang sudah matang dalam hidup rohaninya, bagaikan padi berisi yang semakin merunduk. Pantas untuk menjadi teladan bagi kami yang masih muda.
Kamis, 10 November 2016
Misa harian yang biasanya pada sore hari, khusus untuk hari ini diadakan pada pagi hari pkl 06.00 karena sore hari nanti akan dibagi kelompok kecil, sekitar 3 orang untuk sharing tentang Kemurnian. Teman sharing saya adalah Sr. Lusiah Kayoh, FSIC dan Sr. Zita Simarmata, FCJM. Kami bertiga merasa saling cocok. Ada hal sangat pribadi yang diceritakan oleh salah seorang teman saya ini. Masalah ini tidak pernah diceritakan dalam komunitasnya. Dia banyak bercerita tentang masalah keluarganya. Dari penampilannya yang selau ceria dan bersemangat, saya tidak percaya kalau ternyata dia menyimpan masalah yang lumayan berat baginya. Memang penampilan luar dipakai untuk menutupi masalah yang sebenarnya. Kami saling menguatkan dalam doa. Berulang-ulang dia mohon bantuan doa dari kami berdua.
Jumat, 11 November 2016
Hari hening setengah hari yang biasanya pada hari Sabtu, kali ini pada hari Jumat karena mulai nanti sore kami sudah libur. Kami mendapat libur panjang (long weekend) sampai hari Minggu. Saya bersama dengan sembilan teman menuju ke Yogyakarta dengan travel. Ada yang ke komuitasa mereka yang berada di sekitar Yogyakarta atau ke tempat Saudaranya. Saya berlibur ke tempat kakak sepupu yang tinggal di Yogyakarta, yang rumahnya berdekatan dengan kampus III Sanatha Dharma. Saya diturunkan di Mall Casa Grande, lalu dijemput oleh kakak sepupu saya. Begitu saya tiba di rumahnya, saya agak terkejut dengan lantainya yang tidak umum, yang biasanya lantai keramik, tetapi di sini dilapisi kayu. Di kamar tamu dan kamar tidur, lantainya dari kayu. Jadi, terasa lebih nyaman dan sejuk duduk di bawah daripada di kursi tamu. Letak rumahnya di ujung, dengan beberapa pohonan yang rimbun daunnya dan banyak pot aneka tanaman/bunga yang menampakkan keasriannya. Kami berbicara macam-macam karena sudah cukup lama tidak pernah berjumpa. Saya menolak ketika malam itu diajak untuk makan di luar. Saya minta makan di rumah saja sambil ngobrol. Bebrapa hari sebelumnya, saya ditanya apakah mau bila diajak untuk nonton konser, karena anak dan suaminya akan ikut tampil memainkan alat musik. Tentu saja saya menyatakan senang sekali mendapat kesempatan nonton konser.
Sabtu, 12 November 2016
Hari masih pagi, tetapi dari kamar saya mendengar dentingan piano dan bunyi saksofon. Ternyata kakak saya menemani suaminya berlatih saksofon dengan memainkan piano. Pagi ini akan ada tamu, Ibu Aike Agus dan suaminya (bule) dari Amerika. Ibu Aike Agus adalah pianis terkenal. Mereka akan berlatih bersama. Nanti malam mereka akan mengadakan konser bersama Club Rotary di Fakultas Kedokteran UGM untuk mencari dana bagi mereka yang memerlukan operasi katarak.
Hari ini saya boleh menggunakan mobil dengan supirnya untuk mengunjungi mantan murid, Nani, di Kaliurang. Keluarga Nani ikut merasakan dampak dari meletusnya Gunung Merapi. Nani mempunyai home industri, handmade, aneka patung kudus dan asesori macam-macam. Saya dibawa ke gudang, tempat penyimpanan aneka jualannya. Semuanya dibuat berdasarkan idenya. Diam-diam saya merasa kagum, begitu kreatifnya dia. Berhubung rumahnya sangat berdekatan dengan Biara Romo-romo OCD, maka saya minta diantar ke biara ini. Kami berjalan kaki cuma lima menit dari rumahnya. Di sini saya disambut oleh beberapa Romo dan Rm. Oris, OCD (pimpinan biara) serta beberapa frater yang baru selesai cuci piring bersama. Tampaknya mereka baru selesai makan siang. Sekitar satu jam kami berada di sini. Nani mengajak Rm. Oris untuk ikut menemani makan siang di luar, karena sebelumnya dia sudah bilang akan mengajak saya makan siang. Akhirnya, kami menuju ke Rumah Makan Ruminten, yang pelayannya menggunakan pakaian khas Yogyakarta. Semua pengunjungnya duduk lesehan dengan kursi menjalin tanpa kaki. Sayang, pelayanannya tidak begitu cepat.
Menjelang sore saya baru kembali ke rumah kakak sepupu saya. Mereka sudah menanti saya, karena pkl. 18.00 kami akan berangkat untuk melihat konser. Akhirnya, kami berangkat menuju ke kampus Fakultas Kedokteran, UGM. Bagus juga gedungnya, semua lantainya dilapisi kayu yang indah dengan posisi duduk agak setengah melingkar dengan beberapa trap/undakan. Karena suami kakak sepupu saya dan keponakan saya akan tampil, maka kami mendapat tempat duduk paling depan. Ada dua MC yang membawakan acara konser ini, salah satunya dokter mata yang datang sedikit terlambat karena baru mengoperasi mata. Cukup kocak dokter ini, sehingga suasana tampak menggembirakan disertai derai tawa dari penonton. Ibu Aike Agus mempunyai beberapa murid yang belajar piano dan biola. Mereka masing-masing ditampilkan, sebagian masih kecil, masih SD. Ada beberapa yang sudah SMU dan kuliah. Keponakan saya, Melati Arumsari, memainkan fluite. Dengan gayanya yang lemah gemulai bermain fluite bersama iringan piano dari Ibu Aike. Kalau melihat dari penampilannya, orang tak akan percaya kalau pekerjaannya sebagai pilot perempuan di Garuda. Acara puncaknya adalah permainan Saksofon dari suami kakak sepupu saya. Dia memainkan dua lagu. Tampaknya sudah banyak dikenal, ketika saksofon mulai ditiup, terdengarlah tepuk tangan yang meriah dari para penonton. Saya pun baru pertama kali ini mendengarkan permainannya. Memang bagus, dimainkan dengan penuh perasaan, sehingga menghanyutkan mereka yang mendengarkannya.
Minggu, 13 November 2016
Hari ini saya mengikuti misa pkl. 08.00 di Gereja St, Antonius Padua, Kotabaru. Saya diantar oleh supir dan ditunggu sampai selesai misa. Sudah lama saya merasa penasaran dengan gereja ini yang cukup dikenal dengan banyaknya perubahan yang dilakukan dalam Misa, sehingga menarik umat dari paroki lain. Ternyata benar, saya melihat ada dua kelompok anak muda di tempat yang berbeda, di pintu masuk menuju Gereja menyanyi dengan diiringi gitar. Ada beberapa di antara mereka yang membawa kotak untuk minta sumbangan dari umat yang datang. Begitu di dalam gereja, tampak penuh dan sebagian besar mereka adalah anak-anak muda. Ada beberapa hal yang berbeda dalam teks Misa mereka. Umat dilibatkan. Saya sempat menghitung ada 16 prodiakon yang membagikan komuni di beberapa tempat. Begitu banyaknya!
Sesudah misa saya sempat mengunjungi Rm. G.P. Sindhunata, S.J. yang tinggal di Kolsani, bersebelahan dengan Gereja. Beliau berasal dari Batu, rumahnya berdekatan dengan Biara saya. Sebelum pulang ke rumah kakak sepupu, saya berkunjung ke Biara DSY, bertemu dengan Sr. Yohana, DSY, teman kursus. Ternyata di sini juga sudah menunggu Br. Petrus, MSC. Ketika saya berangkat ke Yogyakarta, kami bertiga bersama. Kini saya diajak bersama mereka untuk kembali ke Roncalli. Akhirnya menjelang petang, kami bertiga sampailah ke Roncalli. Liburan panjang yang membawa banyak kenangan dan cerita.
Senin, 14 November 2016
Materi baru hari ini, yaitu tentang Kemiskinan yang diberikan oleh Sr. Melanie Rotina, FCh. Ada begitu banyak contoh yang Beliau sampaikan kepada kami tentang kemiskinan ini, apalagi dengan pengalamannya sebagai Sr. Provinsial FCh selama 10 tahun. Beberapa teman juga menyampaikan sharing pengalaman mereka yang sehubungan dengan penggunaan fasilitas dalam komunitas, yang merupakan milik bersama/umum. Saya semakin merasa diperkaya dengan banyaknya yang saya dengarkan selama kursus ini. Syukurlah di biara saya, tidak begitu banyak masalah tentang kemiskinan karena banyak hal yang sehubungan dengan barang-barang pada umumnya kami menerima sama rata melalui pembagian dari Sr. Priorin. Tentu saja ada perkecualian, khususnya bagi mereka yang dengan alasan kesehatan memerlukan barang khusus sesuai kebutuhannya. Dalam Konstitusi kami hal ini sudah dibicarakan. Berdasarkan usia, mereka boleh menggunakan barang tertentu.
Hari ini Ordo Karmel merayakan Pesta Semua orang Kudus Karmel. Rm. Vence, OCD menyatakan kepada saya, kalau saja bisa membagikan skapulir Karmel kepada teman-teman kursus. Maka saya minta kepada Sr. Priorin supaya mengirimkan skapulir Karmel dengan doanya, biasanya kami mempunyai persediaan, untuk dibagikan kepada teman-teman. Mereka senang sekali menerima skapulir Karmel ini. Pada saat makan malam, saya duduk berdekatan dengan Sr. Melanie, FCh. Seperti biasa kami saling sharing. Waktu itu saya bercerita tentang ‘rasa’ kemiskinan di biara saya. Eh, tiba-tiba Sr. Melanie mengatakan, dia punya sesuatu yang ingin diberikan kepada saya. Selesai makan malam, saya diajak ke kamarnya, diambilnya ulos dan dibeberkannya di hadapan saya. Lalu diberikan kepada saya ulos yang indah dan lebar itu. Beliau berkata, ulos ini selalu dibawanya ke mana pun dia berada. Beliau mohon kepada Tuhan, supaya ditunjukkan, kepada siapa ulos ini akan diberikan dan diberikan kepada orang yang tepat, dan baginya orang yang tepat itu adalah saya, tepatnya untuk komunitas saya. Jadi, sayalah yang sangat beruntung mendapatkan ulos yang begitu indahnya. Terima kasih, Suster atas hadiah yang luar biasa ini. Sesampainya di biara, saya serahkan ulos ini kepada Sr. Priorin.
Selasa, 15 November 2016
Hari ini dan besok masih membahas tentang trikaul, yaitu kemiskinan dan ketaatan. Ketiga kaul ini menjadi dasar bagi semua kaum religius. Ketiga kaul ini menjadi bagian dari hidup kami dan tidak dapat ditiadakan. Penghayatan kemiskinan yang dewasa: Penyerahan Kebutuhan Manusiawi. Kebutuhan manusiawi dapat dibagi dalam tiga taraf: Pertama berhubungan dengan kebutuhan materi atau kebendaan. Kedua, kebutuhan berhubungan dengan sesama manusia. Ketiga, kebutuhan nilai yang luhur, nilai cinta kepada Allah. Hidup dengan penuh kesadaran, mau menggantungkan diri secara penuh kepada Allah. Penyerahan Kehendak. Kita perlu menjaga kesehatan dan hidup kita dengan rela memersembahkan kehendak kita kepada Allah. Untuk Allah kita rela dan siap sedia mengubah diri, mengubah kepribadian kita, bila kepribadian kita menghalangi karya Allah. Kita rela menerima tugas dan tempat yang diberikan kepada kita oleh pemimpin, meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Penyerahan Segenap Waktu. Kita perlu menggunakan waktu sebaik-baiknya dan seefektif mungkin. Maka kita perlu mengatur dan mengisi waktu dengan penuh tanggung jawab. Penyerahan Seluruh Bakat dan Kemampuan. Menyerahkan diri secara total kepada Penyelenggaraan Ilahi, mempunyai konsekuensi menyerahkan seluruh bakat dan kemampuan yang ada, demi pelayanan penuh cinta kepada Kristus dan sesama. Penyerahan Nama Diri, Kedudukan, Gengsi, dan Kuasa. Bila kita memusatkan diri kepada Allah, maka nama, kedudukan, gengsi, dan kuasa menjadi tidak penting. Kristus menunjukkan jalan ini dalam hidup-Nya, “Aku tidak memerlukan hormat dari manusia”. Orang yang mempunyai kedalaman iman, kedalaman batin tidak membutuhkan semuanya yang tidak langgeng. Kemiskinan yang nyata mengandalkan kerendahan hati, menerima segala keterbatasan diri. Berpusat pada Allah. Kemiskinan membawa kita untuk menghayati dan memusatkan perhatian kita kepada Allah, di atas segala-galanya. Kemiskinan memerdekakan, menyembuhkan, membebaskan, dan memerkaya hidup kita. Kemiskinan menjadi sarana bersikap lepas bebas terhadap “dunia”, nafsu-nafsu, hasrat dan cinta diri. Penghayatan kemiskinan yang benar membuat kita terarah dan rasa terpikat, terkuasai oleh cinta Allah.
Ciri-ciri ketaatan religius yang dewasa, antara lain: Tanggung Jawab. Para religius mempunyai kebebasan dan tanggung jawab atas keputusan dan tindakan hidupnya dalam pengikraran ketaatan. Tiap-tiap anggota harus ambil bagian secara aktif dan tanggung jawab dalam proses membangun Kerajaan Allah berdasarkan kharisma masing-masing. Peka terhadap Sabda Allah. Religius adalah pribadi yang mengarahan hidup dan seluruh kemampuannya untuk memahami, mengerti, dan menghayati rencana-rencana Ilahi, peka terhadap Sabda Allah. Menimbang kehendak Allah yang tersirat dalam Konstitusi, menimbang semuanya dalam Roh Kudus dan bukan demi mewartakan diri sendiri. Mampu Membedakan Roh. Setiap saat religius mampu membedakan gerakan Roh. Dalam penegasan Roh harus menyertakan seluruh informasi yang ditimba dengan mendengarkan dambaan, gagasan, dan sarana-sarana jujur dari tiap-tiap pribadi yang terlibat dalam aneka macam tugas hidup dan kerasulan. Mampu Mendengarkan. Para religius perlu saling mendengarkan dan saling memahami antara pimpinan dan anggota. Bila menghadapi seorang anggota, janganlah mengadili dahulu sebelum mendengarkannya. Tak seorang pun memonopoli kebenaran. Mampu Terbuka dan Berdialog. Setiap religius, entah pemimpin atau anggota harus berusaha menyelami isi hati yang lain. Berdialog perlu disertai ketulusan hati, keterbukaan, dan kejujuran tanpa syak wasangka dan kekakuan. Jangan memiliki kebiasaan menentang atau berapriori jelek. Ciri berdialog yang dewasa: menggunakan seluruh daya dan kemampuan untuk mencapai kejelasan masalah, ramah tamah, damai, sabar, jujur, rendah hati, tidak menentang, saling memercayai; bijaksana memahami rasa perasaan yang lain dan bijaksana dalam mengutarakan pendapat. Mampu Menghargai Setiap Pribadi. Sadar akan kerapuhan dan keterbatasan, kita perlu menghargai satu dengan yang lain sebagai pribadi. Menerima dan mengakui perbedaan yang lain akan saling memerkaya. Terbuka terhadap macam-macam kemungkinan pemecahan persoalan yang lebih dalam serta terbuka terhadap pandangan yang berbeda. Saling Melengkapi dan Memerkaya. Apabila tiap-tiap anggota dapat menerima dan bergembira oleh karena berbagai macam kekayaan yang dianugerahkan oleh Roh Kudus kepada tiap-tiap pribadi, maka akan terbangunlah semangat saling memerkaya dan saling melengkapi yang kemudian mendorong usaha untuk saling membantu danmerintis hubungan persaudaraan yang aktif. Mampu Menghayati Semangat Injil. Religius berusaha untuk terus-menerus membuat cita-cita hidup pribadi sesuai dan selaras dengan nilai-nilai Kristus, nilai-nilai yang diwartakan Gereja, nilai-nilai yang diwartakan Kongregasi atau komunitas secara konsisten. Sikap siap selalu menghayati semangat Injil walaupun tak ada seorang pun yang memuji, bahkan mengetahuinya pun tidak. Rela menyerahkan hidup, melupakan diri seperti lilin yang terbakar habis demi keselamatan jiwa-jiwa. Pribadi Matang secara Psikologis. Kedewasaan psikologis di sini berarti kemampuan untuk memadukan ketiga taraf (fisik-sosial-spiritual rasional) dalam proporsi yang benar. Kedewasaan ini adalah buah dari keseimbangan antara dorongan-dorongan naluri dan kebutuhan sosial yang kadang-kadang muncul dalam perasaan-perasaan spontan (secara sadar atau tidak sadar).
Kamis, 17 – 18 November 2016
Hari ini diawali dengan meditasi terpimpin oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Bahannya dari Mat 11, 28 – 30, “Datanglah kamu semua yang berbeban berat, maka Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” Saya diminta untuk mengajak Tuhan melihat hidup saya. Meneliti dan memerhatikan semua bayangan gelap yang menghantui hidup saya. Memerhatikan semua salib yang ditebarkan di jalan hidup saya. Melihat semua orang yang telah membuat saya sedih, yang telah memersulit dan memerberat hidup saya. Menelusuri semua kejadian yang telah meremukkan hati saya, secara terinci, setiap detailnya. Mengalami kembali setiap kejadian yang pernah begitu mencemaskan, menyakiti, menusuk, menakuti dan merisaukan hati saya. Bertemu kembali dengan masing-masing orang tersebut. Mengalami lagi derita dan kesengsaraan dari semua itu. Namun saya tidak melakukannya sendirian, karena saya pasti tidak kuat. Saya membiarkan Tuhan sendir yang menuntun saya. Saya mengungkapkan semua perasaan dan emosi saya kepada-Nya. Berbicara kepada-Nya, seakan-akan Dia belum tahu apa-apa mengenai segala derita yang telah saya alami dalam hidup ini. Sesungguhnya ayat ini adalah ayat emas bagi hidup saya. Pagi ini hati saya sungguh tersentuh oleh perhatian Tuhan yang begitu besar kepadaku. Kepada-Nya selalu saya datang menceritakan semua yang saya alami, baik suka maupun duka saya.
Karena ada seorang Suster yang berulang tahun, maka saya menelepon ke Biara saya di Batu. Saya sempat juga berbicara dengan Sr. Priorin dan menanyakan tentang berita heboh yang kemarin disiarkan di TV Metro tentang teror bom di Gereja “Gembala Baik”, Batu yang letakkan persis berhadapan dengan biara saya.
Hari ini kami mendapat materi baru, yaitu tentang Pembedaan Roh yang diberikan oleh Sr. Yovani, PI. Semua materi ini berdasarkan Latihan Rohani St. Ignatius. Pembedaan Roh adalah cara untuk mendengarkan suara hati/batin sendiri untuk mengenali (membedakan) gerakan-gerakan yang datang dari Roh Kudus (diri sejati) dan yang bukan dari Roh Kudus. Pembedaan Roh adalah alat untuk dapat hidup semakin dekat dengan Tuhan. Gerak batin meliputi: Psikologis: senang, sedih (emosi); Moral: baik, buruk? Apakah sudah melaksanakan hukum?; spiritual/Rohani: relasiku dengan Tuhan, di mana Tuhan dalam hidupku? Ada tiga langkah dasar untuk melakukan pembedaan Roh: Aware/Reseptif: sadar, merasakan gerak batin; Understand/ Reflektif: mengerti/mengenal gerak batin; Take action/Responsif: bertindak. Menolak (reject) jika tidak benar, menerima (accept) bila dari Roh Kudus. Kami mendapat tugas untuk berbicara dalam kelompok dengan membahas sebuah kasus.
Minggu, 20 November 2016
Hari libur ini, saya dijemput oleh teman yang tinggal di Salatiga. Dia adalah dosen senior di Universitas Satya Wacana, Salatiga. Namun karena tugasnya sebagai tim di Departemen Pendidikan, maka waktunya lebih banyak dihabiskan di Jakarta. Kami sudah amat lama tidak pernah berjumpa. Sekitar pkl 09.00 dia menjemput saya di Roncalli untuk diajak mengikuti Misa di Pertapaan Trappistin di Gedono. Ini merupakan kali kedua saya misa di sini selama kursus. Namun kali ini saya dan teman mendapat tempat di kapel. Umat tidak sebanyak ketika saya datang ke sini pertama kalinya. Hari ini adalah penutupan Tahun Liturgi, Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam. Para Suster Trappistin menyanyi dengan begitu bagusnya. Mereka mempunyai beberapa yang khas milik mereka. Begitu Misa berakhir, seorang Suster keluar dan berdiri di pintu keluar untuk menyalami semua umat yang mengikuti Misa di pagi hari itu. Seorang Suster lain langsung menuju ke toko dan dibantu oleh sepasang suami istri untuk menemui para pembeli. Di depan toko dijual beberapa hasil kebun ala kadarnya dan makanan sederhana, seperti nasi bungkus, aneka gorengan, kacang rebus, dll milik seorang penduduk di sekitar biara ini.
Sepulang dari Gedono, saya diajak menemani teman saya ke Semarang, sebelumnya dia mengajak saya makan bakso, karena sejak pagi kami belum sarapan. Dia menuju ke rumah kakaknya, karena ada urusan soal tiket untuk ke Jakarta. Lalu ditemani oleh keponakannya, dia mengajak saya ke Mall terbesar di Semarang untu mencari HP baru karena miliknya yang lama sering error. Lumayan lama kami berada di sini. Untunglah saya ditemani ngobrol dengan keponakannya, ketika teman saya lagi sibuk tawar-menawar dan banyak bertanya kepada penjualnya. Rumah makan di Semarang di Minggu malam ini luar biasa, penuh di mana-mana. Ada dua tempat yang kami kunjungi, tetapi kami batalkan karena harus antri, sehingga kami diberi nomor untuk antri pesan makanan. Apa boleh buat, kami akhirnya mencari tempat makan yang benar-benar sepi, karena pengunjungnya hanya kami bertiga. Makanannya pun cuma tinggal sedikit dan sudah dingin. Lumayan malam saya diantar kembali ke Roncalli. Tak apalah, tidak semua perjalanan harus selalu menyenangkan.
Senin, 21 November 2016
Materi hari ini masih melanjutkan tentang Pembedaan Roh. Saya semakin memahami bagaimana gerak hati ini dapat dikenali, khususnya ketika sedang menghadapi sesuatu hal untuk mengambil sebuah keputusan. Memang perlu dilatih supaya semakin terasah dan dengan cepat dapat merasakan, apakah ini pengaruh roh baik atau roh jahat. Dengan mengikuti pedomannya, saya dapat segera merasakan hal ini. Setiap hari selalu ada saja yang harus diputuskan, misalnya melakukan atau tidak melakukan. Apa alasannya? Juga mengatakan atau tidak mengatakan. Apa pula alasannya. Dalam hal ini, sangat diperlukan kejujuran dalam hati sendiri.
Tanpa terasa hari ini, tepat 28 tahun yang lalu saya masuk menjadi anggota di Biara “Flos Carmeli” Batu. Saya mohon intensi dalam Misa, bersyukur atas rahmat panggilan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada saya. Semoga saya tetap dapat setia dalam jalan panggilan ini sampai akhir hayat saya.
Selasa, 22 November 2016
Meditasi terpimpin pagi hari ini agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Sr. Yovani, PI mengajak kami untuk bermeditasi yang diungkapkan dalam bentuk tarian. Kami melakukan meditasi ini di ruang rekreasi, karena memerlukan ruang yang luas. Caranya sederhana sekali: kedua telapak tangan dikatupkan di depan dada, lalu tubuh sedikit membungkuk dengan kepala tertunduk melangkah ke depan empat kali. Setelah itu tubuh jongkok dengan tangan seakan-akan mengambil ‘rahmat’ lalu diangkat ke atas (simbol bangkit), lalu tangan diturunkan dalam posisi telapak tangan terbuka dan ‘rahmat’ dibagikan kepada sesama dengan tubuh berputar delapan kali, hitungan ke delapan bergandengan tangan dengan bergoyang pelan ke kanan dan ke kiri. Kami melakukan gerakan tarian ini beberapa kali. Ketika tubuh sedikit membungkuk dan kepala tertunduk, kami membayangkan sebagai orang yang berdosa.
Materi hari ini tentang Tantangan Hidup Religius Dewasa ini. Harapan terhadap religius Medior: “Menjadi penerus yang tangguh, yang handal, menjadi tulang punggung kongregasi, menjadi tumpuan, peran utama dalam kongregasi, yang bertanggung jawab untuk maju mundurnya kongregasi. Wujud/gambaran kongregasi terletak pada religius Medior.” Kesan terhadap religius Medior: “Take it easy” atau “Santai saja”. Merasa paling benar, paling baik, merasa tidak perlu belajar dari yang lain. Merasa dapat menyelesaikan masalah sendiri, kurang berani bekerja sama dan terus terang. Membiarkan segala perkara/persoalan menumpuk tidak diselesaikan, yang penting enjoy. Melekat pada materi (hadiah, warisan religius yang telah meninggal dunia). Mencari yang disenangi: kerja keras, banyak urusan, sibuk, pelarian yang tidak kentara atau kelihatan. Pandangan terhadap religius Medior: “Mudah berelasi, gembira, supel dalam bergaul, peka terhadap kebutuhan sesama, siap sedia dalam pelayanan, berani membuka hal-hal yang baru, kreatif. Pandangan positif (positive thinking), segala sesuatu mungkin dan dapat terjadi. Luas orientasinya (tidak picik dan dangkal). Sanggup mencoba yang belum pernah terjadi. Lebih-lebih dengan karya baru, berani menjadi pembaharu dan menjadi andalan bagi Yunior maupun Senior. Tahan uji, tekun, sabar, memahami orang lain, penuh perhatian dan pengertian.” Saran terhadap religius Medior: “Pengaruh zaman sekarang dengan teknologi canggih. Hal ini tidak dapat dibendung dan sudah masuk dalam kehidupan membiara. Terimalah segala hal yang canggih-canggih sebagai realita hidup yang perlu untuk dimanfaatkan. Namun perlu secara cermat dalam penggunaannya. Bahwa alat-alat itu tetap alat, jangan sampai menguasai hidup kita dan bahkan mendikte dan membuat kita bodoh karena alat-alat itu.”
Kesempatan ini diisi oleh sharing dari religius senior. Didatangkanlah Sr. Theresia, CB dari Yogyakarta. Beliau dulu juga pernah menjadi staf di Roncalli. Meskipun sudah berusia tua, namun masih tetap bersemangat dalam membagikan pengalaman hidupnya sebagai Suster senior. Suaranya masih lantang dan gerakannya masih tampak energik. Contoh-contohnya sangat konkrit dan memang demikianlah adanya. Sesekali kami tersenyum mendengarkan humor-humor yang dilontarkannya.
Rabu, 23 November 2016
Masih melanjutkan materi kemarin, tetapi hari ini kami mendengarkan sharing dari religius muda, yaitu dari seorang Bruder FIC dan Suster PI. Keduanya masih merupakan religius yang belum berkaul kekal. Mereka tampak kikuk ketika akan memulai sharingnya di hadapan kami, tetapi akhirnya lancar juga.
Kamis, 24 November 2016
Hari ini kami mendengarkan sharing dari awam, yaitu dari Bapak Isidorus. Beliau adalah mantan Bruder FIC yang akhirnya meninggalkan kongregasinya pada usia 38 tahun. Usia Medior. Waktu itu Beliau lagi naik daun, ada aneka jabatan yang dipercayakan kepadanya. Justru dengan banyaknya tugas yang diembannya, yang membuatnya merasakan krisis panggilan. Beliau tidak dapat lagi menyeimbangkan antara tugas sebagai biarawan dengan tugas yang dipercayakan oleh kongregasinya. Setelah melewati retret dan hidup setahun di luar biara, akhirnya keputusan untuk meninggalkan biara yang dipilihnya.
Pada pertemuan sore hari kami mendengarkan sharing dari Ibu Florentina, seorang guru Bimbingan Konseling di SMP yang dikelola oleh para Bruder FIC. Beliau mengungkapkan, bahwa sejak kecil sudah terbiasa berelasi dengan religius, khususnya para Bruder FIC, karena bersekolah di sekolah milik Bruder ini. Beliau memberikan kesan-kesannya terhadap kami, para religius medior. Apa yang diungkapkan oleh Ibu Florentina memang kenyataannya demikian.
Jumat, 25 November 2016
Materi hari ini tentang Kepemimpinan Komunitas Hidup Bakti yang diberikan oleh Br. Anton Karyadi, FIC. Kepemimpinan dalam arti yang paling mendasar adalah masalah dan tugas setiap orang. Setiap orang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar harus menjalankan suatu kepemimpinan. Paling tidak, kepemimpinan atas diri sendiri. Setiap saat setiap orang harus menentukan suatu pilihan. Seseorang hanya dapat memimpin oran glain dengan baik, bilamana sudah dapat memimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan, pertama-tama berkaitan dengan masalah mengarahkan, membuat pilihan, dan mengambil keputusan.
Untuk menjadi pemimpin komunitas hidup bakti yang baik menurut Br. Bernardus Hoecken, orang perlu memiliki keutamaan-keutamaan berikut: Rendah Hati. Sederhana dan menganggap doro pelayan dari semua. Biarlah yang terbesar di antara kamu menjadi pelayan dari semuanya. St. Vincentius a Paulo mengatkan, “Seorang pemimpin harus tidak menunjukkan dia sebagai Pemimpin. Adalah salah mengatkan itu supaya dapat memerintah dengan baik dan memertahankan kekuasaannya. Orang harus membiarkan diri dikenal bahwa dia adalah pemimpin. Yesus, dengan kata-kata-Nya dan contoh-contoh-Ny telah mengajar kita.” Teladan Baik. Pemimpin harus memandang dirinya sendiri sebagai lampu yang tidak diletakkan di bawah gantang, untuk dilihat semua orang. Maka seorang pemimpin: hendaknya berkelakuan baik; tidak dijiwai semangat duniawi dan penuh egoisme; dijiwai semangat religius yang benar; dalam segala sesuatu hanya mencari kehormatan Allah dan keselamatan anggotanya. Cinta terhadap Anggotanya. Tak ada yang lebih perlu untuk memimpin komunitas daripada cinta kasih. Cinta kasih harus menjadi penggerak segala tindakan pemimpin. Cinta kasih juga terwujud dalam mendengarkan penuh perhatian, menghargai setiap orang, tidak membeda-bedakan orang, memerhatikan mereka yang lemah. Saleh/Suci. Seorang pemimpin harus merupakan api yang menerangi dan memanaskan. Harus memersatukan para anggota dengan Tuhan. Maka kata-katanya, karyanya, dan segala tingkah lakunya harus bersifat Ilahi. Maka seorang pemimpin harus rajin berdoa, renungan, meditasi, pemeriksaan batin, dan kunjungan kepada Sakramen mahakudus, atau berdoa rosario. Maka Allah yang Mahabaik akan memberkati segala usahanya. Sikap Hati-hati. Salah satu sifat yang paling cocok dan yang paling perlu bagi seorang pemimpin, yakni sikap hati-hati atau penuh pertimbangan. Pemimpin selalu berjalan di jalan yang benar dengan memegang Konstitusi. Dalam berkata, bersikap, bertindak pemimpin harus berdasarkan pertimbangan hati yang bijaksana. Tidak menyalahgunakan kepercayaan dari anggota. Kelembutan Hati. Pemimpin harus memiliki hati yang tenang, sabar, tentram agar segala tingkah lakunya diwarnai dengan kelembutan hati. Jika memerintah, baiklah dengan kata permohonan. Pemimpin yang lembut hati akan menguatkan bagi anggota yang sedang kacau. Lembut dalam kata, sikap, dan perbuatan. St. Yohana Fransiska pernah menulis, “Cara yang terbaik untuk memimpin dengan hasil yang baik ialah dengan lembut, rendah hati, dan kesabaran.” Keteguhan. St. Vincentius a Paulo mengatakan, “Tak ada yang lebih merugikan suatu komunitas, daripada seorang pemimpin yang terlalu lemah, yang suka menyenangkan orang lain dan mencari-cari cinta para anggota komunitas itu. Seorang pemimpin sebagai wakil Yesus Kristus, harus dijiwai kebaikan dan keteguhan hati. Kebijaknsanaan dan Ilmu Pengetahuan. Para pemimpin telah diangkat Allah untukk mengajar, membimbing, memeringatkan, dan menegur para anggota untuk menjadi orang yang hidup menurut keinginan hati Yesus Yang Mahakudus. Mereka harus mempunyai kepintaran, kebijaksanaan, dan pengetahuan, pengalaman, berwawasan luas, dapat mengikuti perkembangan zaman. Giat dan Tabah. Pemimpin tidak pernah takut akan kesukaran, pekerjaan berat, atau pengurbanan. Seorang pemimpin harus giat, bersemangat dalam bekerja dan memelihata Konstitusi serta segala aturan yang sudah disepakati bersama, baik dalam hidupnya sendiri maupun dalam hidup para anggota. Pedomannya ialah Kehendak Allah yang suci dan keselamatan jiwa-jiwa. Demi keselamatan mereka itulah, ia rela menderita dan sabar. Pemimpin tidak boleh gelisah, risai, tak percaya diri dalam menghadapi masalah. Kepercayaan. Seorang pemimpin harus menaruh kepercayaan yang mantap kepada Tuhan, betapa pun sulitnya perkara-perkara yang harus dihadapinya. Jika ia melakukan apa yang dianggapnya terbaik bagi kehormatan dan kemuliaan Allah, hendaklah ia menaruh seluruh kepercayaan kepada Tuhan. Percaya kepada kedewasaan anggotanya. Ia berani memberikankepercayaan, yaitu ruang gerak dan kebebasan anggota, sehingga dapat berkembang menurut citra Allah. Ia memungkinkan setiap orang dapat berkembang sesuai dengan dirinya, panggilan, dan perutusannya. Buah dari kepemimpinan ini adalah komunitas yang indah dan damai.
Minggu, 27 November 2016
Hari ini saya menghadiri misa pkl 06.00 di Paroki “St. Paulus Miki”. Sengaja saya pergi sendiri karena saya ingin mencari sesuatu di pusat pertokoan di Salatiga ini. Ternyata pagi ini, ada beberapa teman yang juga menghadiri misa. Dari kelompok bimbingan, kami ingin memberikan rompi kepada Sr. Yovani, PI , sebagai ucapan syukur dan terima kasih karena selama ini Beliau secara rutin telah membimbing kami. Teman sekelompok setuju kalau saya yang membelikan rompi ini karena hari ini beberapa teman pergi ke Pertapaan Rawaseneng. Ketika misa selesai dan saya masih berdoa, tiba-tiba saya merasakan ada seseorang yang berdiri persis di depan saya. Dia adalah seorang ibu yang saya kenal ketika saya mengikuti misa di Pertapaan Gedono pada hari Minggu yang lalu. Akhirnya, Tuhan memberikan teman jalan bagi saya. Dia menemani saya untuk masuk keluar toko mencari rompi yang sesuai untuk Suster pembimbing kami. Setelah beberapa toko kami masuki, kami menemukan rompi yang menurut saya cocok untuk Beliau. Saya diajak ke rumahnya. Kami langsung merasa cocok. Banyak hal yang kami perbincangkan. Menjelang sore, saya baru diantar pulang oleh suaminya.
Senin, 28 November 2016
Hari ini materinya masih tentang Kepemimpinan, tetapi diwujudkan dalam permainan atau dengan istilah yang lebih terkenal yaitu Outbond. Dengan tiga angkot kami dibawa ke rumah retret “Syalom” milik FIC, di mana tempat ini khusus dipakai untuk outbond. Yang memimpin acara ini adalah Br. Valent, FIC.
Kami dikumpulkan di sebuah ruangan, lalu duduk dalam sebuah lingkaran besar. Dijelaskan apa tujuan dari outbond, yang bukan hanya sekedar permaianan, tetapi di dalam outbond ini juga dapat dilihat karakter dari masing-masing peserta. Di dalam ruangan ini sudah dimulai permaianan kecil yang memerlukan kejelian, yang salah diberi hukuman. Setelah itu kami dibagi menjadi tiga kelompok yang dibentuk juga melalui sebuah permainan. Ada kelompok Singkong, Bebek goreng, dan Cemplon. Saya termasuk dalam kelompok Bebek goreng dengan anggota lebih banyak dari dua kelompok yang lain.
Untuk memerkenalkan nama kelompok, maka kami harus menunjukkan dalam gerak dan lagu. Semua peserta tampak ikut terlibat dan bergembira. Kami dibawa ke tanah lapang yang luas. Di sini diadakan berbagai macam permainan yang diarahkan dari hal-hal yang amat sederhana, misalnya berbaris menurut: nama sesuai abjad, tanggal kelahiran, tinggi badan, ukuran sepatu, hidung yang mancung. Yang tercepat itulah yang menjadi pemenangnya, tetapi dicek dulu apakah sudah benar. Nah, kelompok saya sering yang terakhir karena jumlahnya yang lebih banyak. Tiba-tiba di tengah-tengah permainan hujan deras. Akhirnya kami masuk ke ruang. Di sini diberikan permainan tali. Kedua tangan peserta diikat dengan tali, lalu disilangkan dengan peserta lain. Bagaimana melepaskan dua tali pada tangan dua peserta tanpa membuka talinya. Dalam permaianan ini, kelompok saya menang. Setelah hujan reda, kami kembali ke lapangan lagi. Permainan memindahkan 6 gelas palstik yang sudah tersusun ke tempat yang sudah ditentukan dalam posisi tersusun juga, dengan karet yang dipegang oleh 5 peserta. Dalam permaianan ini pun kelompok kami dapat menyelesaikan lebih dulu. Lagi-lagi hujan turun, sehingga kami berlarian lagi ke dalam ruang.
Karena sudah menunjukkan waktu makan siang, maka acara selanjutnya makan siang. Makanan sudah disediakan di meja panjang di lorong luar. Seandainya tidak turun hujan tentu menyenangkan sekali makan di luar sambil menikmati pemandangan yang indah. Akhirnya, kami menuju ke ruang makan di sebelahnya. Kami menikmati ikan goreng, tumis kangkung tak ketinggalan sambalnya yang sudah disediakan dan es buah. Usai makan, hujan sudah reda kembali. Kami kembali ke lapangan. Kali ini permainannya membawa telur yang diletakkan di ujung pipa panjang. Pipa ini diberi tali rafia sejumlah semua peserta dalam kelompok. Supaya pipa itu dapat berdiri lurus, maka tali harus dipegang dengan seimbang. Setelah sampai di tempat yang dituju telur digulingkan ke dalam ember berisi air. Kelompok saya dapat melakukan tugas ini dengan baik. Namun ketika membawa telur yang kedua, telur jatuh di sisi luar ember.
Permainan berikutnya adalah menutupi lubang-lubang dalam sebuah pipa paralon dengan diameter 10 cm. Pipa paralon ini diisi dengan bola plastik. Kami diminta untuk mengeluarkan bola ini dengan cara mengisi air ke dalam paralon ini. Siapa yang cepat mengeluarkan bola plastik ini yang menang. Tentu saja kami yang menutupi lubang-lubang ini menjadi basah kuyup ketika air dituangkan dengan cepat-cepat ke dalam lubang paralon ini, tak terkecuali saya, wajah dan tubuh saya pun basah kuyup terguyur air. Tampak semua peserta menikmati semua permainan yang diberikan oleh panitia.
Permainan terakhir adalah menyeberangi kolam dengan 2 cara. Yang pertama dengan keseimbangan tubuh, berjalan di tali yang sudah dibentangkan dengan memegang beberapa karet yang sudah diatur jaraknya. Yang kedua, ada dua tali besar yang diletakkan berdekatan, lalu satu tali dipegang dan tali yang satu untuk tumpuan kaki. Lalu bergeser ke samping dengan cara merangkak. Permainan yang termasuk uji nyali. Hampir semua peserta mengikuti acara ini. Yang sungguh-sungguh meragukan dilarang untuk mengikuti permainan ini. Hanya ada satu peserta yang terpelanting ketika berjalan di tali. Namun cukup banyak peserta suster yang tak mampu menyelesaikan merangkak di dua tali. Mereka jatuh atau diminta untuk menjatuhkan diri ke kolam dengan dibantu seorang Bruder yang sudah siap di dalam kolam. Ada juga yang pingsan, yang kram kaki atau tangannya, yang gemetaran di tengah jalan. Saya bisa menyelesaikan merangkak sampai di seberang, meskipun tangan saya sempat merasa panas dan perih. Demikianlah satu hari dengan begitu banyaknya permainan yang sungguh-sungguh membuat kami bersemangat sampai pulang kembali ke Roncalli.
Rabu, 30 November 2016
Hari ini Misa pada pkl. 06.00 karena nanti sesudah makan malam adalah Malam Ekspresi. Sudah beberapa hari ini kami, masing-masing kelompok mengadakan latihan untuk dipentaskan nanti malam. Kelompok saya membuat gerak dan lagu. Kami semua diminta untuk mempresentasikan semua kegiatan kami selama sekitar 60 hari di Roncalli ini.
Semua materi kursus selama ini sudah selesai diberikan kepada kepada kami. Pagi ini kami dijelaskan tentang persiapan untuk memasuki retret. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam retret, antara lain: Memasuki retret dengan jiwa besar, rileks, gembira karena keinginan untuk maju dan berjumpa dengan Allah yang sangat merindukan dan mencintai kita. Apa yang kami harapkan dalam retret ini. Bagaimana kami akan menjaga keheningan selama retret. Rela berkurban antara lain dengan silentium, menjaga keheningan batin. Mematikan Hp. Tidak berbicara dengan siapa pun jika tidak perlu. Kalau ada sesuatu, supaya menyampaikan kepada Pembimbing, latihan rendah hati. Malam sebelum tidur, memohon rahmat dan membaca bahan yang akan direnungkan pagi hari dan menentukan tempat meditasi. Sebelum mulai meditasi, menentukan waktunya. Melakukan pemeriksaan batin, sebaiknya dua kali sehari, siang dan malam. Apa yang terjadi, apa yang berkesan dalam doa-doa saya dan dalam hidup saya hari ini. Tujuannya untuk melihat dan menemukan Tuhan dalam keseharian itu juga, membatinkan pesan Tuhan secara ke dalam hati. Mencecap pesan Tuhan secara mendalam, sehingga api Roh Kudus semakin membakar. Saling mendoakan. Apakah ada harapan tertentu selama retret.
Wawancara/bimbingan antara 45 – 60 menit. Saya mendapat pembimbing retret yang sama, yaitu Sr. Yovani, PI. Apa yang hidup di dalam batin saya selama doa dan sepanjang hari ini. Suasana batin yang saya rasakan. Meditasi sehari 4 x. semua meditasi dilakukan sebelum makan malam. Memberi jeda waktu yang cukup antara meditasi satu dan lainnya. Susunan jadwal doa diberikan pada wawancara hari pertama. Bahan rertet akan diberikan setiap hari. Setiap pertemuan diawali doa oleh peserta dan ditutup oleh pembimbing. Pengakuan dosa akan ditetapkan waktunya.
Tepat pkl 20.00 kami semua berkumpul di ruang rekreasi. Seorang Bruder dan Suster dipilih sebagai MC. Sebelumnya diawali oleh kata pengantar dari Br. Anton Karyadi, FIC yang menjelaskan apa tujuan dari malam ekspresi ini. Setelah itu mulailah masing-masing kelompok mementaskan dan menunjukkan kebolehannya. Kelompok saya tampil dalam urutan keenam. Ada kelompok yang tampil begitu membosankan karena di mata kami cuma begitu-begitu saja. Namun ada juga kelompok yang begitu pandainya berpantun. Hampir semua materi yang kami terima diungkapkan dengan pantun yang begitu indah. Kami semua dengan gembira menikmati acara demi acara.
Kelompok saya menampilkan enam lagu yang diiringi gitar oleh salah seorang kelompok kami, Rm. Mateus Juang, SMM. Diawali dengan masing-masing dari kami muncul di panggung sambil membawa koper atau tas sambil bernyanyi: Hallo..hallo..hallo semua. Kita bertemu di sini. Dalam acara kursus Medior. Hallo..hallo.. hallo semua. Setelah itu kami saling memerkenalkan diri dengan menyebutkan asal Kongregasi kami. Setelah itu disambung dengan lagu: Marilah di sini hei-hei-hei-hei kawan. Akulah di sini jei-hei-hei-hei kawan. Marilah bersharing dan bergembira bersama-sama dan berbagi. Boleh dua-duaan…boleh tiga-tigaan… boleh empat-empatan… boleh komunitas. Setelah itu puisi tentang Persaudaraan. Disambung lagi dengan lagu: Aku orang Medior, sehat dan kuat karena Dia memberi Vitamin cinta kasih, sehat kuat dan rajin berdoa. A=Aku orang Medior. B=Berbagi berkat. C=Cinta akan sesama. D=Di sini semua oke… Aku orang Medior. Dilanjutkan dengan puisi tentang kaul….Menyanyi lagi: Satu-satu kaul kemurnian, dua-dua kaul kemiskinan, tiga-tiga kaul ketaatan. Satu dua tiga semua untuk Tuhan. Setelah itu tiba giliran saya untuk membawakan puisi, yang saya buat sendiri, sehingga mudah bagi saya untuk menghafal dan membawakannya tanpa membawa kertas ‘kerpekan’. Inilah puisi yang kubuat: “Wahai para Medior, marilah kita menyadari, betapa pentingnya hidup seimbang antara aksi dan kontemplasi. Jangan habiskan tenaga dan pikiran untuk tugas pelayanan. Sediakan waktu untuk selalu menjalin relasi intin dengan Tuhan. Sebab tanpa Dia, sia-sialah semua keberhasilan karya. Marilah saudara saudariku, para Medior. Marilah kita berubah. Jadilah pribadi yang matang dan dewasa. Jasikanlah Doa sebagai pijakan dan landasan kuat. Libatkan selalu Tuhan dalam seluruh karya pengabdian. Temukan Dia di dalam segalanya. Bergandengan tangan dengan-Nya pasti amanlah panggilan kita.” Setelah itu kelompok kami menyanyikan lagu Tuhanlah Gembalaku.
Malam Ekspresi berakhir tepat pkl 22.30 seperti yang sudah direncanakan semula. Kami semua istirahat malam dengan hati penuh kegembiraan dan sukacita karena telah saling menghibur di antara kami. Terima kasih, Tuhan.
Kamis, 01 Desember 2016
Pagi ini kami libur setengah hari untuk memersiapkan diri untuk memasuki retret. Sore hari semua peserta bertemu dengan pembimbingnya masing-masing. Setelah santap malam, pkl. 19.30 Misa Pembuka Retret. Usai misa, Monstran Sakramen Mahakudus diusung dan ditakhtakan di Ruang Samadi, di depan kamar makan. Semua peserta ikut mengiringi sampai ke ruang Samadi. Setelah itu kami semua hening. Saya tuguran selama satu jam di sini, sebagai awal dari retret yang harus dalam suasana hening. Bagi saya suasana retret di sini mirip seperti suasana sehari-hari di biara “Flos Carmeli” tempat saya tinggal. Rertet adalah saat-saat atau hari-hari ‘berbulan madu’ dengan Tuhan karena pada saat itu ada begitu banyak waktu yang saya pakai untuk terus-menerus berkomunikasi dengan Tuhan. Tak ada sedikit pun kesibukan yang saya lakukan kecuali hanya sibuk berdua dengan Tuhan, yang telah memanggil saya.
Acara retret delapan hari penuh dari tgl 2 – 9 Desember 2016. Kami semua dengan sungguh-sungguh menjalani retret ini. Hal ini pun diakui oleh Br. Anton, yang mengatakan bahwa suasana retret benar-benar terlaksana dengan baik. Tak ada seorang peserta pun yang tampak berbicara satu dengan yang lain. Kami berusaha menghindar bila akan berpapasan dengan yang lain. Hari Jumat, 9 Desember, Misa penutupan retret. Di dalam Misa ada Pembaharuan Kaul Bersama. Usai Misa, kami saling mengucapkan Selamat dengan sesama peserta. Acara sungguh mengharukan karena kami semua saling menahan diri untuk tidak saling berbicara, bahkan juga tidak untuk saling bertemu pandang, supaya dapat menghindari percakapan. Malam hari kami mendapat tugas untuk membuat refleksi pribadi yang dapat diungkapkan dalam bentuk gambar, simbol, lagu atau apa pun.
Sabtu, 10 Desember 2016
Hari terakhir, pagi ini diisi dengan sharing rahmat retret dalam kominutas kecil. Kami saling membagikan pengalaman yang kami terima selama retret. Masing-masing mempunyai pengalaman yang mengesankan dan sangat tepat untuk masing-masin pribadi. Tuhan sendiri yang telah memertemukan kami dengan Pembimbing yang telah dipilihkan-Nya. Setelah minum, ada Sharing Pleno di Ruang rekreasi. Ada beberapa teman yang mengungkapkan sharingnya dengan begitu mengesankan, bahkan ada yang dalam simbol yang amat sederhana, misalnya kuali, tetapi mengandung makna yang sungguh mendalam.
Sore hari, pkl 17.30 Misa Penutup Kursus dilanjutkan dengan makan malam. Setelah itu pada pkl 20.00 adalah Malam Perpisahan. Ada beberapa atraksi yang ditampilkan berdasarkan kelompok Kongregasi atau kelompok daerah, seperti tarian khas Kalimantan, Sumatra, Flores, dan Jawa. Acara akhir adalah tarian khas Flores yang diikuti oleh banyak peserta. Mereka menari dengan penuh semangat dan gembira. Akhirnya, tibalah saat bagi kami untuk berpisah. Kami akan kembali melakukan tugas rutin kami, ke tempat tugas yang telah ditinggalkan selama 70 hari ini. Setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Itu sudah merupakan hukum alam.
Minggu, 11 Desember 2016
Pagi ini para peserta kursus sudah mulai meninggalkan Rumah Khalwat Roncalli, ada yang menuju ke Yogyakarta, Semarang, atau Solo. Sebagian besar dari mereka akan kembali ke luar Jawa, ke Kalimantan, Flores, Sumatera, Manado, Papua dll. Ada yang masih menambah liburan di Jawa. Tepat pkl 21.00 saya bersama dengan Suster Pasionis dari Malang dijemput oleh Travel Dieng. Terima kasih, Tuhan untuk perjalanan dan pengalaman luar biasa yang telah Kauberikan kepada saya selama 70 hari di luar Biara “Flos Carmeli”. Sayonara Roncalli!
***
Oleh: Sr. M. Laura Inacentia, O.Carm
hi Suster Laura,
Catatan harian yg sungguh indah.
Saya Lucy dan seorang awam biasa.
apakah bias ikut retret pribadi di Wisma Retret Ronkali dg suster Yovani Ismail PI.
Saya sangat tertarik, untuk penyegaran Iman yg sudah melemah.
kalau suster Laura sempat, apakah saya boleh minta email suster Yovani Ismail PI
Terima kasih ya