Jl. Ridwan 07 Kota Batu 65311 floscarmelibatu@gmail.com 0341-591913

Merayakan Kesetiaan Tuhan

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya di awal bulan Februari tahun 2017, genap 25 tahun yang lalu saya mengikrarkan kaul pertama di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli”, Batu, Jawa Timur. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat, sehingga sudah seperempat abad yang lalu saya mengucapkan dan menjanjikan trikaul saya kepada Tuhan. Saya masih dapat mengingat dengan jelas ketika untuk pertama kalinya kaki saya menginjak dan memasuki pintu klausura, lalu saya dihantar menuju ke kamar, tempat saya berlindung, beristirahat, berdoa, bersemuka / berwawan kata dengan Tuhan, bekerja, membaca, merenung, mengungkapkan suka duka saya kepada Tuhan dan Bunda Maria, dan bahkan kamar ini juga menjadi saksi bisu bagi pergumulan dan perjuangan saya dalam jatuh bangun menjalani dan menghayati hidup bersama dalam komunitas ini.

Kala itu cita-cita saya hanya satu, yaitu bertahan hidup dalam biara ini sampai akhir hidup saya. Namun, saya tidak yakin apakah saya mampu hidup selamanya di sini, mengingat beberapa teman saya yang meragukan kemampuan saya sebagai Suster Karmelites. Untuk itulah, setiap pagi sebelum saya meninggalkan koor (kapel Suster) saya memohon dengan sepenuh hati agar diberi kesetiaan dalam menghayati kehidupan di sini. Hal ini saya lakukan bertahun-tahun. Ternyata Tuhan telah menunjukkan kesetiaannya kepada saya, bukan karena saya yang telah setia. Tanpa rahmat-Nya, tak mungkin saya mampu bertahan berada di sini sampai sekarang, karena saya sadar akan keterbatasan dan kelemahan saya. Bagi saya, saat ini lebih tepat saya mengatakan ‘merayakan kesetiaan Tuhan’ selama ini kepada saya.

Di biara kami, bila ada Suster yang merayakan 25 tahun profesi, itu kami rayakan dan pestakan secara intern, hanya di antara kami sendiri, tanpa mengundang siapa pun. Saat-saat mendekati hari tersebut, saya sungguh-sungguh menahan diri untuk tidak bercerita kepada teman-teman dekat maupun kenalan biara ini. Saya ingin dipestakan oleh komunitas ini tanpa adanya ‘campur tangan’ dari pihak lain. Bila teman atau kenalan mendengar ada Suster yang mau merayakan ini, biasanya mereka dengan senang hati menawarkan untuk menyumbang kue atau masakan untuk kami. Saya tahu, mereka ingin turut berpesta dengan menggembira-kan para Suster. Nah, inilah yang saya maksudkan dengan ‘campur tangan’ dari luar. Selama ini saya ‘dihidupi, dibesarkan, dan ditumbuhkembangkan’ secara jasmani dan rohani oleh Biara Karmelites, maka saya ingin pesta ini ‘murni’ hanya dari para Suster. Syukur kepada Tuhan, pesta hari itu semua merupakan hasil kerja dan ungkapan cinta kasih para Suster sendiri. Dengan diam-diam, saya memerhatikan dan mengamati menu makan siang, yang berupa tumpeng nasi kuning dengan rebusan aneka sayuran yang dimakan dengan sambal trasi dan tomat ditambah lauk 2 ekor ayam engkung. Semua ini adalah hasil olahan para Suster sendiri. Saya merasakan benar, kesederhanaan pesta para Suster Karmelites. Ini menimbulkan kekaguman tersendiri dalam hati saya. Salah satu alasan saya tertarik dengan biara ini, adalah kesederhanaannya yang masih tetap dapat saya rasakan sampai hari ini. Makan malamnya berupa rangkaian bakso, murah namun meriah, karena dimakan bersama di ruang rekreasi sambil ngobrol ngalor ngidul. Dalam keseharian, kami biasa makan dalam keheningan disertai bacaan rohani, baik itu waktu santap siang maupun malam. Hanya peristiwa semacam ini, kami bisa dan boleh makan sambil berbicara. Tidak menjadi soal menu yang kami makan, tetapi bagaimana kami menikmati makan bersama sebagai sebuah keluarga. Makan bersama menjadi salah satu tanda persaudaraan yang kuat.

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengungkapkan kisah perjalanan panggilan hidup saya sebagai Suster Karmelites. Tuhan telah ‘menuntun, menghantar, dan memilihkan’ biara ini kepada saya, dan saya pun mau dituntun, dihantar, dan dipilihkan oleh Tuhan menuju ke biara ini. Semuanya terjadi seturut rencana-Nya.

Karmel = Apel

Saya ingin berbagi pengalaman saya mengenal biara Karmel(ites) dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” di Batu. Dulu, ketika saya masih kecil, sesekali pernah mendengar kata Karmel, tetapi selalu disertai dengan ungkapan, apel Karmel. Begitu pula bila berbicara tentang apel, selalu dikaitkan dengan Karmel. Dalam ketidaktahuan dan ketidakmengertian saya, saya sampai berpikir, oh, Karmel itu adalah tempat pengusaha apel. Memang saya akui apel Karmel itu sangat terkenal di Surabaya. Saya pun menyukai aroma apel Karmel yang khas, sangat berbeda dengan apel-apel lain. Sebuah apel Karmel akan mampu membuat ruangan beraroma apel yang khas. Mungkin karena apel itu ditanam di kompleks biara, jadi tumbuh subur di dalam suasana doa dan tenang para penghuninya. Karena tidak atau belum tertarik dengan kata ‘Karmel’, maka saya tidak mencari tahu lebih lanjut. Yang saya ketahui Karmel itu identik dengan apel. Maafkan ketidaktahuan saya ini.

Saya tidak pernah mempunyai cita-cita untuk menjadi suster. Sejak kecil saya bercita-cita menjadi guru. Kalau main sekolah-sekolahan dengan saudara dan teman-teman, saya selalu menjadi gurunya, atau tepatnya ‘berpura-pura sebagai guru’. Cita-cita ini tetap saya pendam. Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah, dengan mantap saya masuk sekolah keguruan di luar kota. Salah satu alasan utama saya bersekolah di luar kota ialah saya ingin melepaskan banyaknya kegiatan yang sudah saya ikuti sejak kecil. Hal ini tidak menyenangkan ibu saya karena banyaknya waktu yang saya habiskan di Gereja dengan berbagai aktivitas. Hampir setiap hari selalu ada saja kegiatan yang saya ikuti. Dengan berat hati saya meninggalkan banyak teman yang rasanya sudah seperti saudara sendiri, karena selalu bersama sejak kecil. Saya pernah mempunyai keinginan untuk mengajar di tempat yang terpencil atau di pelosok. Saya ingin merasakan suasana hidup di desa. Namun hal ini tidak pernah terwujud.

Saya tidak pernah dekat atau mempunyai kenalan seorang suster. Saya mempunyai pemikiran kalau berdekatan dengan seorang suster, pembicaraannya pastilah hal-hal yang suci dan rohani, padahal saya tidak tahu untuk berbicara demikian. Saya takut nanti ‘ngomongnya nggak nyambung’. Saya merasa diri tidak pantas untuk berada dekat-dekat dengan suster. Kehidupan suster bagi saya saat itu terlalu jauh untuk saya pikirkan. Jadi, tidak pernah ada minat ke sana.

Titik Awal

Ketika saya melanjutkan sekolah di Malang, saya mengenal seorang frater Praja  yang  rumahnya  berdekatan dengan rumah saya di Surabaya. Sebagai seorang penghuni baru di kota itu, saya belum mempunyai teman yang seiman.  Jadi, sesekali  saya berkunjung  ke tempat frater itu. Anehnya, setiap kami bertemu, dia selalu menggoda saya dengan mengajukan pertanyaan yang sama, yaitu, ‘katanya mau jadi suster’, karena memang tidak punya niat menjadi suster, ya saya jawab, ‘siapa yang mau menjadi suster?’ ‘Ngapain jadi suster?’ Entah sudah berapa kali pertanyaan ini selalu ditujukan kepada saya.

Saya tidak tahu bagaimana terjadinya, saya mulai terpengaruh, saya mulai berpikir-pikir, boleh juga, ya menjadi suster, meskipun saya buta sama sekali soal ini. Saya ingin, hidup saya bermakna dan berguna bagi banyak orang. ‘Kan ada juga suster yang mengajar. Saya membayangkan, menyenangkan juga memakai jubah putih bersih dan mengajar di depan anak-anak. Putih adalah warna kesukaan saya. Saya selalu berusaha dan belajar untuk mempunyai hati yang putih bersih, meskipun itu bukanlah hal yang mudah dan saya masih belum mencapai ke sana, masih jauh. Masih terus berjuang. Ternyata sekarang sehari-hari saya mengenakan jubah coklat -yang tak pernah saya bayangkan- warna yang tak pernah saya sukai, tetapi kalau permen coklat, itu saya suka sekali. Kini saya berpikir, pastilah Tuhan memakai frater tersebut untuk menumbuhkan benih panggilan ini. Sayangnya, dia tidak pernah melihat saya sebagai suster karena setahun setelah dia menanggalkan jubahnya, Tuhan memanggilnya pulang ke rumah-Nya. Kalau saja dia masih hidup, mungkin dia merasa berhasil memengaruhi saya. Sejak itu saya mulai mencari Tarekat yang mempunyai sekolah, karena saya ingin menjadi guru.

Penasaran

Saya mempunyai teman kuliah beragama Katolik yang berasal dari Batu. Beberapa kali dia pernah bercerita kalau di Batu ada biara, yang susternya  tidak  boleh  ke luar  dan  berbicara. Saya mendengarkan sambil lalu saja, meskipun dalam hati saya merasa aneh dan heran, masak sih? Saya tidak  bertanya  lebih lanjut, karena waktu itu belum ada minat untuk menjadi suster.

Pada tanggal 12 – 15 Juni 1983 untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mengikuti retret panggilan di Wisma Shyanti, Lawang. Saya pikir, mungkin lewat retret ini saya dapat memeroleh banyak infomasi tentang kehidupan membiara. Memang benar, kami, peserta rertet dikenalkan dengan berbagai Tarekat dan dijelaskan kekhasan masing-masing Tarekat tersebut. Dari retret ini, saya mengetahui kalau pada tanggal 18 – 20 Juni 1983 ada reuni di SMP Kosayu (Kolose Santo Yusuf), di Malang, bagi para peserta retret panggilan untuk memeringati 10 tahun berdirinya K.P.K.M. (Komisi Panggilan Keuskupan Malang). Karena sedang liburan kuliah, maka saya mengikuti kembali acara ini.

Sambil menunggu acara dimulai, para peserta retret yang sudah beberapa kali mengikuti retret panggilan membuka-buka foto-foto yang dibawa oleh Romo Ketua K.P.K.M. Dari sinilah saya pertama kali melihat foto-foto Suster Karmelites. Melihat foto tersebut saya menjadi penasaran. Koq beda ya, dengan beberapa suster yang pernah saya jumpai. Belum pernah saya berjumpa dengan suster yang menggunakan jubah seperti romo, tertutup semuanya sampai bawah. Sekarang saya mengerti, tentu  saja  saya  tidak  pernah  bertemu karena mereka memang tidak berkarya di luar biara. Pada pertemuan ini dijelaskan tentang perbedaan antara biara aktif dan kontemplatif. Penjelasan ini begitu memengaruhi saya, sehingga saya bertanya-tanya dalam hati, seperti apa sih, biara kontemplatif itu. Selama beberapa hari, saya penasaran, ingin sekali mengetahui biara Karmelites. Saya  membayangkan  hal-hal  yang  angker  dan  menyeramkan.  Saya  tidak  tahu  mengapa  mempunyai  gambaran  semacam ini, mungkin karena dijelaskan kalau biara ini dikelilingi oleh dua lapisan tembok dan para susternya tidak pernah ke luar dan tidak berbicara.

Di akhir pertemuan, saya memberanikan diri untuk mengatakan kepada Romo, kalau saya ingin sekali mengetahui biara Karmelites. Dengan senang hati Romo tersebut bersedia menghantar saya. Saya diajak dulu ke Biara Karmel. Berhubung waktu itu masih siang, Beliau berkata, bahwa susternya masih istirahat. Selama menunggu saya ditemani oleh seorang frater. Maka pada hari Senin, tanggal 20 Juni 1983, pkl. 16.00 saya diantar ke biara Karmelites. Anehnya, saya benar-benar merasa takut dan bergetar hati saya, terlebih setelah Romo mengatakan, nanti pintunya membuka sendiri. Saya berpikir, terbuka secara otomatis, ternyata Romonya yang harus membuka sendiri. Ketika saya melihat Susternya tidak ke luar menyambut tamu, seperti pada umumnya, saya merasa aneh. Lalu saya diperkenalkan dan diantar ke kamar tamu. Setelah itu Romo meninggalkan saya seorang diri di kamar tamu. Kalau saja saya tidak merasa malu, pastilah saat itu saya ingin saja membatalkan kunjungan ini karena saya begitu ketakutan. Saya tidak mengira kalau akan dibiarkan bertemu sendirian dengan suster yang masih asing bagi saya. Hati saya merasa ‘mak deg’ melihat kamar tamu  yang ada teralisnya, koq seperti pesakitan (orang dalam penjara). Waktu itu saya belum mengerti kalau teralis itu hanyalah sekedar simbol pemisahan dengan dunia luar. Dengan jantung yang berdebar-debar dan dag-dig-dug saya menunggu suster itu kembali ke kamar tamu. Setelah berbicara beberapa saat mulailah kendur ketegangan saya, karena suster yang menemui saya begitu ramah. Tanpa terasa sudah satu jam saya berbicara  dan  Romo  sudah  datang  menjemput  saya. Saya tidak tertarik untuk masuk biara Karmelites saat itu, saya masih tetap ingin menjadi suster yang dapat mengajar di sekolah.

Seminggu kemudian saya datang kembali ke Biara Karmel untuk mengembalikan  tas  milik Romo karena saya dititipi oleh seorang suster. Mungkin suster itu mengira saya biasa ke Batu, padahal baru sekali itu saja. Ternyata saya tidak berjumpa dengan Romo. Frater yang pernah menemani saya bertanya, mau ke mana sekarang. Saya menjawab, mau pulang ke Malang. Lalu dia bertanya, apakah saya tidak ingin ke Karmelites. Dengan heran saya bertanya kembali, ke Karmelites? Saya bilang, saya tidak tahu jalan untuk ke sana. Lalu dia menawarkan untuk mengantar saya. Saya pikir, apa salahnya berkunjung kembali ke sana, meskipun saya tidak begitu berminat lagi. Ketika frater itu mau meninggalkan saya sendiri, saya mohon dia mau sebentar menemani saya. Saya masih sedikit trauma akan rasa takut seminggu yang lalu. Kembali saya bertemu dengan suster yang berbicara dengan saya seminggu yang lalu. Dalam pembicaraan disinggung kalau mau bermalam di sini, boleh. Ternyata saya langsung bertanya, kapan saya boleh bermalam di sini. Setelah ditanyakan kepada suster Priorin, saya dapat bermalam di biara Karmelites pada tanggal 18 – 20 Juli 1983. Saya hanya sebentar, lalu pamit.

Jatuh Cinta

Sesuai dengan rencana, maka pada tanggal tersebut saya bermalam di biara Karmelites. Saya sangat menikmati suasana hening, sunyi, dan tenang dalam biara ini. Seharian saya dibiarkan sendiri, hanya ditemui sebentar oleh seorang suster. Dalam suasana yang demikian, saya  semakin  menyadari  betapa  besarnya  cinta kasih Tuhan atas hidup saya. Lalu bagaimana tanggapan saya atas cinta-Nya. Sebagai balasan atas cinta-Nya, saya ingin memberikan hidup saya, yang saya tahu sebenarnya hidup ini memang bukan milik saya. Hidup saya adalah anugerah-Nya. Saya memantapkan hati untuk menjadi suster, tetapi  saya  tetap tidak  tertarik dan tidak berminat  untuk  masuk  biara Karmelites. Saya berpikir, nanti  setelah dari Karmelites, saya akan melanjutkan berkomunikasi dengan Tarekat yang sudah saya pilih.  Ketika saya berjalan meninggalkan halaman biara, saya berpaling sebentar seraya berkata dalam hati ‘Selamat tinggal’, saya tidak mengerti mengapa saya berbuat demikian. Mungkin karena saya yakin tidak akan datang lagi ke sini. Cukup sudah, saya tidak akan masuk biara semacam ini. Takut mungkin? Boleh jadi! Tak terbayangkan kalau saya akhirnya menjadi suster di biara ini.

Aneh bin ajaib, setelah beberapa hari pulang dari biara Karmelites, saya terus-menerus berpikir tentang biara ini. Suasana dan berbagai cerita tentang kehidupan para Suster Karmelites terus terbayang-bayang dalam benak ini. Semakin saya tidak mau berpikir, semakin terus mengganggu bayangan itu. Heran sekali, di mana-mana saya selalu memikirkan dan membayangkan kehidupan para suster di Karmelites. Begitu mata terbuka di pagi hari, pikiran saya ke sana. Waktu saya memasak di dapur, saya teringat biara Karmelites. Berada di kampus atau di perpustakaan, saya ‘nglamun’ tentang Karmelites. Menjelang tidur pun, pikiran melayang ke sana. Sampai-sampai beberapa kali saya bermimpi tentang Suster Karmelites. Wah, gawat ini! Saya tidak dapat lagi berkonsentrasi dalam belajar. Kalau begini terus-menerus, bisa-bisa saya nggak dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Mengapa jadi begini? Sadarlah saya, ternyata saya ‘jatuh cinta’ pada suasana biara Karmellites.  Kalau  ada  sebuah  lagu  dengan syair, di dadaku ada kamu, maka saya tidak hanya merasakan di dada, tetapi juga di pikiran, di hati, bahkan saya merasakan di seluruh waktu saya, saya terkenang akan kehidupan para suster di Karmelites. Ternyata perasaan jatuh cinta itu, tidak enak, menyengsarakan, mau melakukan apa  saja  merasa  tidak  enak  dan  tidak tenang.  Karena  saya tidak mungkin berkunjung ke Batu, maka saya curahkan segala yang saya rasakan dalam beberapa puisi. Biasa ‘kan untuk menyalurkan/menumpahkan perasaan. Ini sedikit dapat menawar rasa rindu akan suasana di biara Karmelites.

Mulailah saya tawar-menawar dengan Tuhan, kalau bahasa sekarangnya, ‘bernegosiasi’ dengan Tuhan. Saya berkata, Tuhan saya mau menjadi suster, tetapi ‘mbok jangan’ ke biara Karmelites. Engkau ‘kan tahu, Tuhan, kalau saya ini orangnya suka berorganisasi, suka berelasi dengan siapa saja, menyukai bertemu dengan orang lain. Engkau pasti tahu, kalau saya ini senang bercerita/berbicara, senang menjadi guru di sekolah, saya ini orangnya mudah merasa bosan dan menyukai variasi, dalam sehari dapat berada di beberapa tempat, masak saya harus masuk biara semacam itu,  yang  tidak  dapat (jarang) bertemu  dengan  orang  lain  dan  tidak  banyak  berbicara, serta tidak boleh ke mana-mana. Wow … mana tahan! Lagi pula untuk menyatakan kepada keluarga, ingin menjadi suster saja, saya memerlukan keberanian ekstra, apalagi menjadi suster Karmelites. Rasanya koq mustahil berhasil! Rasanya saya nggak cocok di biara Karmelites.

Beberapa bulan saya bergulat untuk menentukan masuk biara aktif atau kontemplatif. Selama saya belum mengambil sebuah keputusan, saya  sama  sekali  tidak merasakan ketenangan dalam hati ini. Saya waktu itu belum mempunyai seorang Romo yang dapat membantu saya untuk berbicara soal ini. Dengan sadar dan rasa manusiawi saya, saya mulai membanding-bandingkan kehidupan biara aktif dan kontemplatif. Manusiawi saya lebih memilih biara aktif, namun karena Tuhan itu Mahakuasa, dan saya tidak mampu untuk ‘meyakinkan’ Tuhan kalau  di  biara  kontemplatif  saya  tidak  cocok,  akhirnya saya menyerah kepada-Nya. Saya berpikir, dengan masuk biara kontemplatif, saya dapat menyerahkan hidup secara secara utuh dan total, tanpa disibukkan dengan aneka tugas kerasulan.

Dengan sedikit ragu, saya mengatakan, baiklah Tuhan saya mau menjadi suster Karmelites. ‘Plong’ rasa hati ini. Ada ketenangan luar biasa yang saya rasakan, setelah berbulan-bulan hati saya dilelahkan oleh berbagai perasaan yang mengganggu saya. Benarlah apa yang difirmankan Tuhan, bahwa rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Dari sini saya selalu belajar, apa yang Tuhan kehendaki atas hidup saya. Belajar  berpasrah  diri. Sejak  itu  saya  mulai  mencari  tahu,  apa  itu  kehidupan  membiara, khususnya sebagai  suster kontemplatif.  Saya  mulai belajar berdoa dengan brevir. Saya mendapat beberapa buku seri Karmelitana. Saya membeli buku seri Theresia Kanak-kanak Yesus. Buku-buku yang berbau Karmel mulai saya baca. Namun karena masih belum sungguh-sungguh mantap, saya masih mencoba berpaling ke biara aktif. Saya berdoa, Tuhan buatlah hati saya tertarik kepada biara aktif, tetapi Dia tidak mengabulkan. Lalu saya mencoba mengenal sebuah Tarekat lain yang juga berkarya dalam bidang pendidikan. Terus terang saya ingin melupakan biara Karmelites. Untuk itu saya tinggal di asramanya dan membantu di perpustakaan sekolah tersebut. Dalam proses saya baru mengenal Tarekat itu, namun saya menjadi heran karena beberapa ibu sudah berbicara kalau saya akan masuk biara itu. Ternyata saya sudah dianggap sebagai aspirannya. Saya pikir, kapan saya pernah mengajukan permohonan untuk masuk ke Tarekatnya. Tanpa berpikir panjang, saya  segera angkat kaki dari asrama tersebut. Saya langsung menghubungi Romo yang pernah memerkenalkan saya dengan biara Karmelites untuk mencarikan tempat yang berdekatan dengan biara Karmelites. Tak  dapat  saya  sangkal  ternyata hati saya terus-menerus berada di Karmelites. Fisik  saya  berada  jauh  darinya, namun hati saya tertinggal di sana. Di mana ‘harta’ saya di situlah hati saya berada. Bagi saya biara Karmelites bagaikan ‘harta terpendam’ yang ingin saya miliki, bagaikan mutiara indah yang mau saya perjuangkan, sehingga rela melepaskan dan meninggalkan hal-hal duniawi yang menyenangkan dan menggiurkan. Tak ada lagi yang menarik di dunia ini selain ingin segera masuk ke sana. Maka pada bulan Juli 1984 saya pindah  ke  Batu.  Tujuan utama  saya pindah ke Batu, yaitu ingin berdekatan dengan biara Karmelites. Hal yang wajar ‘kan bila kita mencintai ‘sesuatu’ atau pribadi, pasti kita ingin selalu berada di dekatnya. Selain itu saya ingin menguji diri sendiri, benarkah saya tertarik pada biara ini atau hanya karena pandangan pertama. Saya ingin masuk satu kali untuk seterusnya. Saya ingin memantapkan panggilan saya. Saya ingin serius memersiapkan diri dan tidak menoleh lagi ke tempat lain. Untuk itu saya ingin mengenal lebih jauh tentang kehidupan di biara Karmelites. Jadilah, saya rajin ‘apel’ ke biara Karmelites. Setiap hari saya misa di sini.  Banyak teman menjadi heran, kuliahnya di Malang koq kostnya di Batu. Itulah demi cinta. Memang cinta itu aneh dan misterius. Tak banyak orang tahu, ‘misi’ saya pindah ke Batu. Syukurlah saya mendapat pekerjaan mengajar di S.M.U.K. Yos Sudarso. Jadi, saya punya alasan mengapa pindah ke Batu.

Setelah lulus kuliah saya menjadi bingung karena ibu saya selalu meminta saya pulang ke Surabaya. Beliau berkata, di Surabaya banyak sekolah, mengapa mengajar di kota lain. Saya tahu kalau di Surabaya memang banyak sekolah, tetapi saya sudah tidak ingin pulang.  Kalau  saya  pulang,  pastilah  sulit  untuk memersiapkan diri masuk biara. Keluarga saya belum tahu kalau saya sedang melakukan pdkt. (pendekatan) dengan biara Karmelites. Saya harus mempunyai alasan kuat, supaya tidak disuruh pulang. Akhirnya saya kuliah lagi sebagai pendengar. Nah, ketika diminta  untuk pulang, saya bilang saya masih sekolah. Kakak saya bertanya, berapa lama. Saya menjawab, lama sekali, bertahun-tahun. Saya masih belum melihat adanya ‘lampu hijau’ dari keluarga, khususnya dari ibu saya. Di sinilah perjuangan  saya  yang  paling  berat.  Setiap  kali  saya memulai berbicara  tentang  suster  kepada  ibu   saya. Beliau langsung bereaksi  keras. Kalau sudah begitu saya langsung diam. Saya tahu Ibu saya tidak pernah merelakan saya untuk menjadi suster. Ibu saya selalu berkata, tidak usah macam-macam, kalau saya menyatakan ingin menjadi suster, sedangkan salah seorang kakak saya mengatakan, untuk mengabdi Tuhan tidak perlu harus menjadi suster. Saya pikir, saya harus bersabar. Entah berapa lama. Ibu saya masih merasa asing dengan kehidupan suster, apalagi kehidupan biara kontemplatif. Karena tidak pernah ‘jalan’ kalau saya ingin menjelaskan kehidupan ini secara langsung, akhirnya saya menerangkan lewat surat. Di sana saya menceritakan secara panjang lebar, terutama tentang niat saya yang serius untuk masuk biara di Batu. Selama beberapa tahun saya memersiapkan keluarga akan niat saya ini. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda kalau saya mendapat izin dan restu dari orang tua. Ibu selalu menentang dan melarang saya menjadi suster. Saya hanya pasrah dan berdoa. Saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas kebijakan komunitas ini dengan memberikan dispensasi bagi saya. Saya boleh masuk biara ini tanpa surat izin dari orang tua. Kalau tetap mengharapkan izin dari ibu, boleh jadi saya tidak akan pernah ada di sini dan cerita semacam ini tak ada di depan Anda.

Akhirnya  saat  yang  saya  nantikan itu tiba, setelah mengenal selama lima tahun lima bulan, pada tanggal 21 November 1988 saya diterima dalam biara Karmelites. Sengaja saya memilih tanggal tersebut, supaya saya selalu diingatkan untuk memersembahkan hidup saya seperti Bunda Maria. Tak dapat saya lukiskan betapa bahagianya hati saya. Impian saya sudah   menjadi  kenyataan. Saya  bersyukur  gembira   karena menjadi milik-Mu.  Setiap hari selama bertahun-tahun saya selalu berdoa, semoga Tuhan menganugerahi saya rahmat kesetiaan. Saya ingin setia sampai akhir hayat saya. Saya sadar, bahwa saya ini insan lemah dan rapuh, mudah jatuh dalam godaan. Tanpa bantuan rahmat-Nya rasanya tidak mungkin saya dapat bertahan. Saya belajar untuk setia dalam untung dan malang, belajar setia dalam sehat dan sakit, belajar setia dalam suka dan duka. Belajar setia melakukan acara harian dalam komunitas. Belajar setia melakukan tugas-tugas kecil yang diberikan kepada saya. Belajar setia untuk mencintai-Nya melebihi segala sesuatu. Belajar setia terhadap komitmen yang telah saya buat, meskipun kadangkala saya lengah dan jatuh dalam menapaki jalan ini. Sesekali saya juga menertawakan kekeliruan/ketololan yang saya lakukan. Hal ini membuat saya selalu belajar dari pengalaman, karena pengalaman adalah guru yang paling baik.

Saya menyadari bahwa saya telah mengecewakan banyak orang dengan masuk dalam biara, khususnya ibu saya. Sempat juga saya berpikir, apakah saya ini egois  karena  menuruti kehendak sendiri, apakah saya ini anak yang tidak tahu berbakti kepada orang tua karena tetap memaksa masuk biara, walaupun tanpa restu. Ketika pamit untuk masuk biara, Ibu saya hanya mampu bertanya, apakah tetap terus ‘nekad’. Saya hanya mengangguk. Beliau memeluk saya dengan erat sekali. Setelah itu saya meninggalkan rumah tanpa berani menoleh lagi. Selama dalam perjalanan menuju ke Batu, mata saya berurai air mata, bila mengingat betapa saya telah membuat sedih hati ibu saya. Di bulan-bulan pertama di biara, saya sempat khawatir kalau-kalau ibu saya sakit karena memikirkan saya, apalagi kalau sampai meninggal. Akhirnya, saya hanya dapat berkata demikian, Tuhan, hanya karena Engkaulah, maka saya mau masuk biara tertutup semacam ini, sebagai rubiah Karmel, maka sekarang ke dalam Tangan-Mu saya serahkan ibu dan  saudara-saudaraku. Tolonglah mereka selalu dalam menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini.

Setelah setahun lebih, ibu dan adik saya baru berkunjung ke biara. Senang sekali saya dikunjungi. Pertanyaan pertama yang diajukan oleh beliau ialah, apakah kerjamu di sini? Saya sempat terkejut, wah, pertanyaannya koq mirip dengan pertanyaan yang diajukan kepada Elia. Karena ibu saya tidak pernah membaca Kitab Suci, tentu tidak pernah kenal dengan cerita tentang Nabi Elia. Dengan nada ringan dan gembira, saya menjawab, setiap pagi saya menyapu lorong di biara, mencuci piring setiap pagi, siang, dan malam, mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi dan kloset, mengepel, menjahit, dan membuat atau mencetak hosti. Ibu saya mendengarkan dengan serius. Setelah saya selesai menjawab, beliau berpaling kepada adik saya seraya berkata, ‘lihatlah kakakmu di sini menjadi babu’ (diucapkan dalam bahasa Mandarin: bu’ren) dengan nada bergurau. Mendengar godaan ini saya tidak marah, tetapi saya hanya tersenyum. Saya tidak malu mengatakan pekerjaan yang saya lakukan dalam biara ini karena demikianlah kenyataannya. Biarlah dianggap sebagai pembantu, tetapi saya merasa senang melakukannnya. Itulah persembahan saya kepada Tuhan. Saya mempunyai keyakinan, pekerjaan yang kecil dan sepele di mata dunia akan berkenan di hadapan Tuhan, bila saya melakukannya dengan hati gembira dan ditetesi cinta kasih, serta tanpa pamrih, secara tersembunyi dan diam, dibandingkan dengan pekerjaan besar yang mampu mengundang decak kagum banyak orang, yang mungkin tanpa disadari atau dengan sengaja mencari popularitas atau nama besar. Terdengar aneh di telinga bila orang  dipuji  karena  menyapu  atau  mengepel,  namun hal yang lumrah pujian diberikan kepada orang yang telah melakukan hal-hal yang besar. Jadi, menjadi Suster Karmelites tidaklah tepat bila mencari pujian atau penghargaan orang lain.  Sekarang saya bukan lagi guru bagi orang lain, melainkan menjadi guru bagi diri sendiri.

Saya belum pernah dan mungkin tidak akan pernah menceritakan hal yang kurang baik yang saya alami dalam biara ini kepada keluarga saya. Saya mengasihi dan mencintai mereka, saya tidak ingin membebani pikiran mereka dengan persoalan saya. Persoalan saya adalah masalah saya pribadi. Itulah konsekuensi saya masuk dalam sebuah biara. Biarlah saya menanggung sendiri, tanpa harus diketahui oleh mereka. Tuhan sudah memberikan saudari sekomunitas dan Romo yang dapat membantu saya. Demikianlah pesan dan ajaran Suster Pembimbing saya, Sr. Maria Brocarda almarhumah.

Aneka komentar

Selama beberapa tahun saya memersiapkan diri dan mental saya untuk masuk biara, tidak banyak yang tahu soal ini, bahkan teman dan sahabat dekat juga belum tahu kalau saya akan masuk biara.  Frater Michael Maryono, O. Carm. almarhum, teman seangkatan pernah berkomentar demikian, ‘kalau kamu masuk biara, maka matahari akan terbit dari barat.’ Mendengar ungkapan ini saya hanya tertawa. Nyatanya setelah saya masuk biara, matahari tetap terbit dari timur. Saya maklum maksudnya. Dia tak yakin kalau saya akan masuk biara, karena memang penampilan saya tidak menunjang. Seorang bapak guru senior, rekan  saya mengajar, ketika mendengar saya akan masuk biara, beliau berujar dengan serius dan penuh keyakinan, ‘lihat saja, nggak mungkin akan bertahan, paling-paling sesudah sebulan akan   pulang.’ Saya hanya  menanggapi dengan tersenyum. Ternyata ramalannya tidak terbukti. Tuhan sudah memberi kesempatan kepada saya selama dua puluh delapan tahun  lebih di  sini.  Manusia terkadang begitu yakinnya akan ramalannya, yang akhirnya tidak terbukti.

Dua minggu sebelum saya masuk biara, saya berpamitan kepada para murid. Pada umumnya mereka terkejut dan tidak menyangka. Salah seorang murid saya setelah mendengar penjelasan saya tentang biara yang akan saya masuki, langsung berkomentar, bahwa saya gila. Saya tidak marah dikatakan gila, saya hanya tertawa. Mungkin benar juga, saya ini ‘gila’ karena koq ya mau-maunya masuk biara seperti itu. Saya pikir untuk menjadi pengikut-Nya (baca: menjadi religius) siap untuk dianggap tidak waras. Mereka melihat kehidupan yang akan saya jalani itu tidak umum dan aneh, menimbulkan berbagai pertanyaan. Untuk apa? Mau mencari apa? Mengapa? Saya sadar, kalau kehidupan yang akan saya hayati ini dapat dikatakan atau di mata banyak orang, tidak wajar, tidak normal, tetapi saya juga heran, masih bertahan juga kehidupan membiara semacam itu sampai saat ini. Selama ratusan tahun masih bertahan. Ada apa, ya? Misterikah?

Salah seorang murid saya yang lain, menulis dalam secarik kertas, yang menyatakan bahwa dia tidak setuju kalau saya masuk biara semacam itu. Saya pikir, untunglah saya tidak perlu minta persetujuannya. Saya tahu, dia masih terlalu muda dan  masih kecil,  jadi belum begitu mengerti mengapa ada orang yang begitu kuatnya mempunyai keinginan untuk memersembahkan diri melulu kepada Tuhan lewat cara hidup dalam biara kontemplatif.

Sebelum masuk biara saya sempat berpamitan dengan Rm. Gabriel Harjoko, O. Carm. almarhum. Beliau berpesan, supaya saya mengingat bahwa setiap Suster pasti mempunyai niat yang baik terhadap saya, bagaimanapun sikap yang ditunjukkannya. Pesan ini kerap saya ingat dan renungkan. Memang benar, Tuhan membentuk saya lewat sesama Suster yang hidup bersama saya dengan cara yang berbeda-beda. Saya harus berpikir, bahwa semua suster yang ada di biara adalah ‘pekerja’ yang akan membentuk saya. Ada yang harus membentuk saya dengan kata-kata, yang lain dengan perbuatan, dan yang lain lagi dengan pikiran/pendapat yang melawan saya. Inilah ungkapan yang pernah saya baca dari tulisan St. Yohanes dari Salib tentang Cautela (sikap hati-hati). Mereka pada umumnya menghendaki supaya saya menjadi lebih baik. Jadi, saya harus berterima kasih kepada sesama yang hidup bersama saya karena mereka memerhatikan saya.

Seorang Romo SVD yang bila bertemu dengan saya selalu menggoda dengan mengatakan, bahwa saya tidak cocok kalau masuk biara Karmelites, tetapi lebih tepat menjadi misionaris. Mendengar olok-olokannya ini, saya hanya tersenyum. Ya, saya akan menjadi misionaris dalam doa. Saya tahu Beliau tidak serius. Namun saya jadi berpikir-pikir, koq banyak yang meragukan niat saya menjadi suster Karmelites. Tebersit juga rasa was-was, kira-kira sanggup nggak saya menghayati  hidup  dalam biara  tertutup  ini.  Menjelang  masuk dalam biara ini, saya merasa takut. Takut kalau benar-benar tidak sanggup. Terasa ada bisikan lembut dan halus dalam lubuk hati saya, ‘Jangan takut, kalau Tuhan memang telah memanggil saya, pasti  Dia  tidak akan pernah meninggalkan saya berjalan sendiri.’ Romo ini berpesan kepada saya, ‘manakala saya tidak dapat mengungkapkan diri kepada siapa pun dalam komunitas ini, datanglah ke depan Sakramen Mahakudus.’  Pesan  ini  sungguh bermanfaat bagi perjalanan hidup saya. Memang hanya kepada Dialah saya datang berkunjung dan memohon kekuatan, apabila saya menghadapi masalah yang berat. Di depan Sakramen Mahakudus, saya mendapatkan ketenangan batin yang mendalam. Betapa mengagumkan bila orang dapat tinggal berduaan dan saling mengasihi, terlebih bila salah satunya adalah Allah, demikian ungkapan M.A. de Gauser. Sejak saya masuk sampai saat ini setiap siang hari sebelum waktu istirahat, saya secara pribadi selalu berkunjung ke hadapan Sakramen Mahakudus. Saya menyukai saat-saat tinggal diam di hadapan-Nya. Secara bersama-sama kami selalu melakukan kunjungan/adorasi setelah santap siang dan malam, kecuali bila kami santap wicara.

Pesta komunitas

Ada beberapa peristiwa dalam biara ini yang merupakan pesta komunitas atau pesta keluarga, antara lain hari ulang tahun Suster Priorin, hari ulang tahun ke-50 seorang Suster, 25 tahun profesi,  50 tahun profesi, dan 60 tahun profesi. Biasanya kami membentuk panitia kecil, siapa yang menjadi MC, dekorasi, mengatur buah disertai hiasannya, membuat rangkaian bunga, menyediakan pakaian untuk tonel, menyiapkan perlengkapan makan seperti gelas, piring dan sendok garpu khusus untuk pesta, dan lain-lain. Meskipun hanya pesta di antara kami sendiri, namun kami sungguh-sungguh menciptakan suasana pesta yang disambut oleh semua anggota komunitas. Ruang rekreasi disulap menjadi ruang pesta dengan aneka kreativitas petugas dekorasi, yang kadang kala menimbulkan kekaguman tersendiri. Ini adalah kesempatan bagi kami untuk sejenak ‘refreshing’, sejenak melupakan dan meninggalkan acara rutinitas kami sehari-hari. Sehari penuh kami berkumpul bersama dari santap pagi bersama sampai malam hari, yang diakhiri dengan pembagian hadiah-hadiah ala kadarnya, yang semata-mata hanya untuk menyemarakkan suasana pesta.

Hari-hari menjelang 25 tahun profesi saya, kami mengadakan retret komunitas yang biasa kami adakan pada akhir Januari, hanya empat hari. Tema retret kali ini adalah “Menyongsong Hari Tua” yang dibimbing oleh Rm. Gabriel Pocenti Sindhunata, SJ. Sebagian besar dari kami sudah berusia setengah abad lebih. Jadi, tema ini sangat tepat untuk kami. Materi yang diberikan juga bagus dan sangat mengena. Setelah itu Romo melanjutkan dengan retret pribadi. Ini kedua kalinya Beliau retret di sini. Padahal rumah Beliau di belakang biara kami. Ketika Rm. Sindhunata masih kecil pernah menjadi misdinar di biara kami. Jadi, retret di Biara Rubiah Karmel “Flos Carmeli” baginya, serasa seperti pulang ke rumah sendiri. Hari terakhir Beliau retret, bertepatan dengan 25 tahun profesi saya. Di hari itu, saya membaharui kaul secara pribadi.  Dalam kotbah, Romo menyinggung tentang ketekunan yang kami lakukan dari hari ke hari dengan acara harian yang sama, yang kami lakukan bertahun-tahun. Memang, tanpa memiliki ketekunan, tak mungkin kami mampu menghayati kehidupan yang semacam ini. Acara yang sama, tanpa banyak variasi, berjumpa dengan Suster-suster yang sama sepanjang hari, minggu, bulan, dan tahun bahkan selama puluhan tahun. Hanya anugerah dan rahmat Tuhanlah yang membuat kami mampu bertahan sampai hari ini. Panggilan khusus semacam ini tidak diberikan kepada banyak orang, namun hanya segelintir orang, termasuk kami yang saat ini menjadi anggota komunitas Biara Rubiah karmel “Flos Carmeli”. Kami adalah kawanan kecil, yang kehadiran kami tidak selalu tampak di dunia luar.

Ada beberapa atraksi yang ditampilkan oleh para Suster, ada tarian, tonel yang cukup menghibur dengan gaya mereka yang khas, yang menimbulkan derai tawa, ada juga beberapa lagu yang dibawakan oleh mereka. Hari itu sungguh-sungguh menjadi hari yang meng-gembirakan kami semua. Masing-masing Suster menunjukkan ‘ketrampilannya’ dalam menghibur sesama, dari Suster yang paling muda sampai Suster yang paling tua, ikut terlibat dan tampil untuk menambah semarak kegembiraan kami. Kami saling menghibur dan menggembirakan. Betapa indah dan senangnya tinggal bersama sebagai saudara!

Setiap ada Suster yang berpesta seperti ini, biasanya ditanya ingin minta hadiah apa. Tentu saja hadiah yang wajar, tidak yang aneh-aneh, khususnya yang sungguh berguna dan diperlukan, misalnya minta jubah baru, karena yang lama sudah mulai kusam atau sudah mulai sesak. Ketika Sr. Priorin bertanya kepada saya, mau minta hadiah apa. Spontan saya menjawab, tidak minta hadiah apa-apa, karena memang saat itu saya merasa tidak memerlukan apa-apa. Namun beberapa hari kemudian, saya mulai memikirkan untuk minta sesuatu, yang sudah cukup lama ingin saya miliki secara pribadi. Di awal saya hidup dalam biara ini, semua perlengkapan adalah milik bersama dan menjadi tanggung jawab bersama. Dalam diri kami ditanamkan untuk tidak mengatakan milik pribadi. Saya masih ingat ketika saya membawa buku harian (brevier) sendiri dan di depan sampulnya sudah ada stiker ‘Milik pribadi’. Beberapa kali Sr. Pembimbing saya menyindir soal ini, lama-lama saya merasa kalau Beliau kurang berkenan dengan adanya stiker tersebut, sehingga saya lepas stiker itu. Meskipun saya sempat berpikir, buku ini benar-benar milik pribadi saya. Sampai-sampai pernah terjadi seorang Suster yang berusia lanjut mengatakan, perut kita sakit, padahal yang dimaksudkan adalah perutnya sendiri.

Selama ini, sejak saya masuk biara ini sampai saat ini, saya selalu menyapu kamar setiap pagi. Ini diajarkan oleh Sr. Pembimbing saya. Tempat kami terbuka, begitu keluar dari kamar langsung kebun, begitu pula di belakang kamar kami juga kebun. Jadi, mudah berdebu. Selama ini saya menggunakan sapu milik bersama yang disimpan di tempat penyimpanan aneka perlengkapan untuk kepentingan bersama. Waktu itu kamar saya agak jauh dari tempat penyimpanan sapu. Setiap pagi mengambil dan mengembalikan, sesekali tidak saya kembalikan, tetapi tidak enak juga, karena saya tahu itu tidak benar. Nah, pada kesempatan kali ini, saya minta sapu pribadi untuk saya simpan sendiri di kamar. Selain itu saya juga minta ember kecil untuk tempat aneka keperluan mandi. Saya bersyukur, dengan hadiah ini yang sekarang boleh saya miliki secara pribadi. Kalau saya renungkan, hadiah ini tampaknya agak menggelikan juga, masak 25 tahun profesi minta hadiah semacam itu. Saya juga mendapat hadiah kejutan, yaitu boneka dengan jubah suster Karmelites, yang sekarang menemani saya di kamar.  Semuanya  saya terima dengan penuh rasa sukacita. Saya bersyukur juga,  tidak merasa tergoda untuk minta sesuatu yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh saya perlukan. Paus Fransiskus mengatakan, “Saya sedih ketika melihat seorang pastor atau biarawati tampil dengan mobil terbaru. Mobil memang diperlukan. Tapi, ambillah satu yang sederhana. Pikirkanlah betapa banyak anak yang mati karena kelaparan dan berikanlah hasil penghematan itu kepada mereka.” Seruan ini disampaikan oleh Bapa Suci di Vatikan pada 6 Juli 2013. Mau hidup sederhana dan apa adanya adalah sebuah pilihan. Sebagai religius saya memilih untuk tidak menggunakan dan memiliki barang mewah. Jalan pulang menuju hakikat hidup bakti: miskin, sederhana, murni, dan taat. Inilah jalan kurban dan jalan pemberian diri, demikian ungkapan  Paus Fransiskus.

Sesungguhnya saya merasa sudah mendapat hadiah dari para Suster, yaitu ketika saya minta kursus Medior di Roncalli pada tanggal 2 Oktober – 11 Desember 2016, saya diperkenankan dan didukung oleh semua Suster. Ini merupakan hadiah terindah bagi saya untuk memasuki 25 tahun profesi. Diberi kesempatan untuk tinggal 70 hari di luar klausura untuk mengikuti kursus Medior, sungguh-sungguh memberi kekayaan dan pengalaman yang luar biasa. Saya dapat berjumpa dengan banyak religius dari berbagai penjuru di seluruh Indonesia, sehingga saya juga dapat mengetahui bagaimana pergumulan dan perjuangan mereka dalam melayani umat yang memiliki aneka adat / tradisi / kebiasaan,  latar belakang pendidikan, sosial ekonomi, masalah dalam keluarga, dan sebagainya.

Sepulang dari kursus Medior, ada sebuah pertanyaan yang terus-menerus muncul dalam lubuk hati saya, apa yang saya lakukan setelah pulang dari mengikuti kursus Medior. Apa yang akan saya lakukan dan berikan untuk komunitas memasuki 25 tahun profesi mendatang. Saya ingin melakukan sesuatu yang lebih, meskipun hal kecil dan tak berarti. Sesuatu yang saya lakukan tanpa pamraih dan tanpa harus disuruh atau ditugaskan. Selama beberapa hari, saya mohon petunjuk-Nya, apa yang Dia harapkan dan minta untuk saya lakukan. Saya tiba-tiba teringat kepada kisah hidup St. Theresia Kanak-kanak Yesus. Banyak hal kecil yang dia lakukan dalam menghayati hidupnya sebagai Suster Karmelites. Hal-hal kecil yang tersembunyi, namun dilakukan dengan rasa cinta kepada Tuhan. Persembahan kecil yang berkenan di hadapan-Nya. Dalam hati saya berdoa, mohon rahmat supaya saya diberi hati dan budi yang peka terhadap apa saja di sekitar saya. Saya akan melatih diri untuk melakukan hal-hal kecil yang sering diabaikan atau kurang diperhatikan oleh sesama saya. Akhirnya, saya dapat melakukan beberapa hal yang kurang mendapat perhatian, saya belajar untuk menekuni hal-hal kecil tersebut. Selain itu, saya juga ingin membaca ulang materi-materi yang diberikan dalam kursus Medior, akan saya jadikan sebagai bacaan rohani. Saya begitu tertarik dengan sebuah buku dengan judul: Tuhan ingin Berbicara Kepadamu. Doa sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan yang kita sadari. Buku ini merupakan saduran bebas dari William A. Barry, S.J. dengan judul “God and You, Prayer as a Personal Relationship”. Ketika kursus, saya baca dalam beberapa hari. Saat ini saya baca pelan-pelan sebagai bacaan rohani saya, demikian pula materi yang lain. Sayang sekali kalau materi yang bagus itu hanya tersimpan dalam tumpukan buku tanpa saya baca dan resapi kembali.

Tiba-tiba saya ingin kembali memiliki saat-saat yang pernah saya lakukan ketika di tahun-tahun awal hidup membiara saya. Sebagai postulan, novis, dan Suster yunior muda, saya masih memiliki begitu banyak waktu. Seorang postulan dan novis masih belum mendapat tugas dan tanggung jawab yang berat karena kami masih dalam proses pembinaan. Saya bisa duduk tenang di kapel 30 menit sebelum ibadat siang dan ibadat sore, yang biasanya saya pakai untuk berdoa pribadi atau membaca buku rohani. Saat itu saya merasa ada keinginan untuk cepat-cepat ke kapel setelah waktu bekerja setengah hari selesai. Setiap pkl. 11.30 kami mengakhiri tugas utama. Begitu pula pada waktu pagi dan sore hari. Saya sungguh-sungguh menikmati keheningan dan ketenangan diam di hadapan Sakramen Mahakudus. Namun, dalam perjalanan waktu, entah mulai kapan, semuanya sudah tidak lagi saya lakukan seiring dengan banyaknya tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang saya terima dari komunitas. Lama saya berpikir-pikir dan merenung, mengapa kebiasaan baik yang pernah saya miliki dahulu, kini tidak lagi saya lakukan? Mengapa saya diatur oleh berbagai tugas dan pekerjaan? Saya tahu dan sadar, bahwa pekerjaan itu takkan pernah ada habisnya. Selesai yang satu, sudah menunggu yang lain. Saya pernah ‘keranjingan’ kerja, sehingga di kapel pun, yang saya pikirkan adalah pekerjaan. Menjadi ‘workaholic’ sungguh-sungguh akan melenakan dan membuat saya lupa dan lengah akan tujuan awal saya masuk dan menjadi Suster Karmelites. Setelah beberapa tahun, untunglah saya sadar, bahwa ‘gila kerja’ itu sangat tidak benar. Apa bedanya saya dengan pekerja sosial biasa? Yang membedakan cuma pakaian luar. Saya seorang Suster, tetapi kurang atau tidak menempatkan doa seebagai yang utama dalam hidup saya.  Apakah saya akan membiarkan ‘waktu-waktu pribadi’ saya dengan Tuhan hilang untuk selamanya dan digantikan oleh pekerjaan duniawi belaka? Saya ingin melatih dan memiliki kembali kesempatan tinggal diam di hadapan Tuhan, meskipun saya tahu itu tidaklah selalu mudah, diperlukan tekad dan komitmen yang kuat. Saya ingin Tuhan kembali menumbuhkan dan menanamkan rasa rindu untuk tinggal diam di hadirat-Nya, hanya dengan bantuan rahmat-Nya, saya dapat memulai kembali, seraya berpikir, Engkau dengan setia selalu  menunggu saya. Untuk itu saya harus mempunyai kontak/relasi yang terus-menerus, tak terputus  dengan Tuhan, sehingga saya dapat merasakan dan mengetahui saat-saat saya harus berada bersama-Nya secara pribadi. Saya dapat merasakan, bahwa Tuhan sedang menanti saya. Sungguh luar biasa, Tuhan bisa dengan begitu sabarnya menunggu kunjungan dan kedatangan saya untuk tinggal diam dengan-Nya.

Sejak dulu saya punya devosi kepada Hati Kudus Yesus Yang Mahakudus, sudah bertahun-tahun saya selalu mengawali  hari dengan berdoa kepada Hati Kudus Yesus. Isi doa ini sangat menyentuh dan memberi inspirasi bagi penghayatan hidup membiara saya. Inilah doa yang mengawali hari saya di waktu pagi:

Hati Yesus Yang Mahakudus, aku menyerahkan diriku pada Hati-Mu Yang Mahakudus pada hari ini. Kuasailah seluruh kepribadianku, ubahlah aku menjadi seperti Engkau. Jadikan tanganku tangan-Mu, kakiku kaki-Mu, hatiku hati-Mu. Izinkanlah aku melihat dengan mata-Mu, mendengar dengan telinga-Mu, berkata-kata dengan bibir-Mu, mengasihi dengan hati-Mu, memahami dengan pikiran-Mu, melayani dengan kehendak-Mu, dan mengabdikan seluruh kepribadianku. Jadikan aku serupa dengan Engkau. Hati Yesus Yang Mahakudus, utuslah Roh Kudus-Mu untuk mengajar aku, agar mengasihi-Mu dan hidup melalui Engkau dalam Engkau, dan untuk Engkau.

Datanglah Roh Kudus, jadikan tubuhku bait-Mu. Datanglah dan tinggallah dalamku selamanya. Berilah aku kasih terdalam kepada Hati Yesus Yang Mahakuds untuk dapat melayani Dia dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatanku.

Kuasailah seluruh kemampuanku, tubuh dan jiwaku. Aturlah seluruh hasratku, perasaan dan emosi. Kuasai kepandaian, pengertian, dan kehendakku, ingatan dan khayalku. Oh Roh Kasih Yang Kudus, beri aku rahmat-Mu yang ampuh itu dengan berlimpah. Berilah aku seluruh kebajikan, perkaya imanku, kuatkan harapanku, tingkatkan keyakinanku, dan kobarkan kasihku. Berilah aku ketujuh karunia, buah, dan kebahagiaan-Mu sepenuhnya. Trinitas Yang Mahakudus, jadikanlah jiwaku bait-Mu yang kudus.

Selain itu saya juga menambahkan dengan doa penyerahan dari  Charles de Foucauld:
Bapa, kuserahkan diriku kepada-Mu, berbuatlah sekehendak-Mu atas diriku.
Apa pun yang Kauperbuat atas diriku akan kuterima dengan senang hati.
Aku bersedia menanggung segala-galanya, asal kehendak-Mu terlaksana di dalam
diriku dan di dalam segala makhluk. Itulah Tuhan, yang kuharapkan; tiada yang lain.

Kupertaruhkan jiwaku demi nama-Mu, kuserahkan hidupku kepada-Mu
dengan segenap hati dan penuh cinta, sebab aku mencintai-Mu.
Sebagai tanda bukti cintaku kuserahkan diriku dan
kupersembahkan hidupku tanpa syarat ke dalam tangan-Mu.

Aku percaya kepada-Mu dengan kepercayaan yang tiada batasnya,
sebab Engkau adalah Bapaku. Amin.

Kini, semakin hari saya semakin mantap menghayati kehidupan di Biara Rubiah “Flos Carmeli”. Saya tidak pernah merasa menyesal telah dibawa oleh-Nya -karena saya merasa, saya tidak pernah memilih biara ini, tetapi dipilihkan oleh-Nya-, ke dalam biara Karmelites. Bagaimanapun kondisi komunitas ini, saya tetap mencintainya. Saya belajar terus-menerus untuk memberikan hidup saya untuk komunitas ini, meskipun kadangkala muncul juga sikap manusiawi saya, karena saya tetap memiliki banyak kelemahan. Semoga Tuhan senantiasa menumbuhkan benih panggilan bagi komunitas ini. Semoga masih ada para pemudi yang berminat dan terpesona dengan cara kehidupan semacam ini. Semoga saya yang sudah bertahun-tahun menghayati kehidupan di sini, tetap mengingat akan motivasi awal saya datang dan mau hidup di biara ini sebagai pendoa. Saya sungguh-sungguh bangga dan bahagia menjadi Suster Karmelites. Cita-cita asli Ordo Karmel ialah memersembahkan diri siang dan malam dengan segenap jiwa dan segenap roh kita untuk memersatukan jiwa dan roh kita  dengan Allah Bapa lewat doa, kontemplasi, dan cinta yang tak terputuskan dan itu tidak hanya secara habitual atau rutin belaka, melainkan secara nyata. Terima kasih Tuhan, Engkau telah merayakan kesetiaan-Mu yang boleh saya alami selama ini. Terima kasih untuk panggilan hidup membiara sebagai Suster Karmelites. Terima kasih untuk cinta-Mu yang tiada hentinya kepada saya. Terima kasih untuk seluruh pengalaman suka duka dalam hidup ini.

Saya sadar bahwa jalan menuju ke kebahagiaan itu tidak selalu ditaburi bunga mawar yang harum mewangi, tetapi kadangkala harus melalui duri-durinya yang tajam dan menyakitkan. Kisah perjalanan panggilan saya ini akan saya akhiri dengan sebuah puisi yang pernah saya tulis beberapa bulan setelah saya mengenal biara Karmelites.

Rumah tua yang tenang
Membuat aku selalu terkenang
Hatiku rindu bukan kepalang
Tinggalkan kesan yang takkan hilang

Diriku lemah, hatiku sendu
Rasakan cinta menggebu-gebu
Kalau begini datangnya selalu
Hati tak kuat menanggung rindu

Sebuah tempat yang sepi, tenang, hening, dan sunyi
pernah kurasakan, kuhayati beberapa saat yang lalu
dalam kesunyian dan keheningan
kusadari kehadiran Tuhan
kurenungkan, kurasakan, kunikmati
kebaikan-Nya saat itu . . . .
Hanya perasaan damai dan tenteram yang ada,
tetapi . . . .
tak pernah terpikir olehku
untuk tinggal di sini selamanya
aku merasa hal itu tak mungkin
mustahil bagiku,
tetapi Engkau berkata:
Tak ada yang mustahil bagi-Ku!

***

Medio: Juli  2017

Oleh: Sr. M. Laura Inacentia, O. Carm.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *