Romo Martinus Sarko Dipoyudo, O.Carm. menjadi Komisaris Jenderal pada tahun 1960. Pada tahun itu Karmel di Indonesia mulai mandiri. Pimpinan dipercayakan kepada Romo itu yang berani mengambil keputusan-keputusan yang cukup penting. Salah satu keputusannya ialah, mendatangkan Suster Karmelites Klausura ke Jawa Timur. Ini tidak begitu sederhana, mengingat situasi politik waktu itu. Hubungan dengan negeri Belanda sebagai mantan Negara kolonial cukup buruk, khususnya karena soal Irian Jaya atau Papua. Maka orang Belanda tidak diizinkan lagi masuk ke Indonesia. Syukurlah, ada beberapa gadis Indonesia yang merasa terpanggil dan mereka diutus ke biara Elzendaal, Boxmeer untuk mendapat pendidikan sebagai suster kontemplatif di komunitas itu. Yang pertama adalah Suster Brocarda Sri Maharsi Poespowardojo yang sejak 1953 menyiapkan diri untuk mendirikan biara di Indonesia. Calon yang kedua ialah adik Romo Sarko bernama Suster Agnes Redempta Dipojudo yang kemudian pindah ke Konggregasi Suster C.B.. Sementara mereka tinggal di negeri Belanda, di Batu, bagian pertama biara Flos Carmeli mulai dibangun. Rencana Romo Sarko ini sungguh sesuatu yang menunjukkan keberaniannya. Tetapi syukurlah, Mgr. Albers, O.Carm., yang waktu itu menjabat sebagai Vikaris Apostolik, sangat mendukung rencana ini. Ia benar-benar seorang yang mengetahui betapa doa dibutuhkan untuk kesuburan karya Gereja di Indonesia. Ia sendiri seorang pendoa yang mengesankan umat, bila melihat Beliau berdoa atau memersembahkan Misa Kudus. Semuanya ini masih saya ingat dengan baik-baik.
Akhirnya, kedua Suster tiba di Batu. Bangunan Biara belum selesai. Tetapi mereka disambut dengan baik oleh Suster-Suster SSpS di Biara “Santa Maria”, Batu. Di sana mereka boleh tinggal sampai saat biara baru bisa ditempati. Ini mengingatkan kita bahwa orang yang bersemangat missioner seperti Suster SSpS, menyadari pentingnya hidup kontemplatif di daerah Misi. Saya kurang ingat berapa lama kedua Suster Karmelites pertama tinggal di sana sampai tiba saatnya mereka bisa masuk biaranya sendiri. Tentu dalam arsip Flos Carmeli semua data ini tercatat dengan teliti. Tidak usah saya ulangi dalam sumbangan kecil saya ini. Sejak akhir April 1962, Biara “Flos Carmeli” resmi berdiri. Ada orang masuk, ada yang pergi karena panggilannya lain, tetapi sejumlah Suster dengan setia menghayati panggilan dalam keheningan biara itu. Beberapa Suster sampai akhir hayatnya. Suster pertama yang dipanggil Tuhan ialah Suster Maria Margarita Mariyanti Kayat pada tahun 1990. Pendiri Flos Carmeli, Suster atau yang biasanya disebut Ibu Maria Brocarda meninggal pada tahun 2002. Ada dua Suster lain meninggal. Mereka pernah tinggal di Batu, tetapi kemudian mendirikan biara baru di Palangka Raya. ialah Suster Maria Magdalena Roestantin yang meninggal pada tahun 2005 dan dimakamkan di Batu. Pada tahun 2009 Suster Romea meninggal di Palangka Raya dan dimakamkan di sana. Dari tiga Suster perintis yang berasal dari Negeri Jerman, dua sudah dipanggil Tuhan yakni Suster Elia Debernitz pada akhir tahun 2005 di Jerman dan Suster Teresita Fremuth beberapa tahun kemudian di Duisberg, Jerman Maret 2011. Saya menyebut mereka bukan untuk menulis sejarah Flos Carmeli, melainkan karena saya mengenang mereka sebagai Suster yang ikut membentuk biara Karmelites di Batu ini.
Tinggal satu Suster yang termasuk perintis dan yang masih dengan setianya hidup di biara yang ikut dibukanya pada tahun 1962 ialah Suster Maria Immaculata Büttner. Berkali-kali Beliau memegang pimpinan biara, mendidik banyak gadis yang masuk hingga menjadi Suster Karmelites bersemangat kontemplatif. Sekarang pada masa tuanya, Beliau masih tetap menghayati panggilan istimewa ini dan tentu dapat dicontoh oleh angkatan-angkatan lebih muda, agar meneruskan hidup kontemplatif di Biara Karmelites Batu ini. Saya merasa bersyukur karena pernah mengenal mereka semua itu: manusia yang menanggapi panggilan Tuhan untuk hidup di hadirat-Nya seperti Nabi Elia sambil menyimpan rahasia Allah dalam hati mereka dan merenungkannya seperti Bunda Maria. Nabi Elia dan Bunda Maria adalah dua tokoh Karmel yang mengilhami sikap kontemplatif kepada seluruh Ordo Karmel, tetapi secara khusus bagi para Suster yang hidup di dalam keterbatasan klausura biara mereka.
Saya mengagumi mereka, bukan karena mereka adalah manusia yang sempurna. Mereka sendiri karena hidup di hadirat Allah dan mengenal dirinya dalam terang cahaya Ilahi, menyadari kerapuhan dan kelemahannya sendiri. Bukan kesempurnaan itu yang saya kagumi, tetapi kesetiaan dan ketekunan dalam suatu cara hidup yang tetap di satu tempat bersama dengan orang-orang yang sama. Orang lain dapat mencari hiburan di luar, tetapi mereka tinggal tetap di dalam dengan acara harian yang tidak banyak berubah. Bayangkan, hidup yang sama, setiap hari lagi, namun dihayati bukan sebagai suatu rutinitas, melainkan sebagai suatu pengurbanan kepada Allah dalam persatuan dengan Yesus. Dia hidup dan wafat sepenuhnya bagi keselamatan umat manusia. Hanya berkat kuasa Roh Kudus menjadi mungkin Suster-Suster ini hidup di belakang pintu yang tetap tertutup bersama dengan sejumlah kecil orang yang sama.
Tetapi umat mengerti. Meskipun hanya sedikit orang yang berani mengikuti panggilan seperti itu dan melangkah maju masuk ke dalam klausura, banyak juga orang datang mengetuk pintu. Ada sesuatu yang menarik. Meskipun tidak atau jarang sekali muncul di tengah masyarakat, kehadiran mereka menyakinkan. Orang datang dengan bermacam-macam intensinya, agar didoakan oleh para Suster. Mereka datang ingin berkonsultasi dengan orang yang dalam keheningannya memeroleh suatu pengalaman rohani yang dapat membantu orang lain dalam kesulitan. Mereka dapat menghibur, karena pengalaman akan kasih Allah. Saya tidak tahu jumlah orang yang datang ke Biara “Flos Carmeli” dengan susah atau dukanya dan pulang dengan hati yang lebih ringan karena bisa bertemu dengan orang yang dengan jerih payah berjuang untuk mengabdi kepada Tuhan bersama dengan rekan Susternya. Seandainya mereka semua dapat memberikan kesaksian tentang apa yang mereka cari dan apa yang mereka peroleh di Biara “Flos Carmeli”, kita semua pasti akan kagum atas peran Suster di dalam Gereja, dalam hidup banyak orang dan bersama-sama mau bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka di Batu. Siapa mampu menggambarkan sumbangan rohani mereka bagi Gereja Lokal di Keuskupan Malang selama 50 tahun ini? Hanya Tuhanlah mengetahui rahmat yang mereka perolehkan bagi umat di Keuskupan Malang, dengan hidup mereka yang sederhana, pengurbanan mereka dalam banyak hal dan berkat doa yang memersatukan mereka dengan Tuhan.
Saya sendiri cukup lama boleh melayani para Suster di biara ini dengan pelayanan sacramental. Pertama, melalui Perayaan Ekaristi yang dirayakan dengan khidmat di kapel bersama umat yang memadati bagian kapel yang tersedia bagi mereka. Beberapa waktu saya mendamping para Suster sebagai bapa pengakuan dan memberikan konferensi, khususnya tentang ajaran Santo Yohanes dari Salib. Perhatian para Suster besar, tetapi saya tidak bisa menilai hasilnya. Tetapi pada kesempatan-kesempatan itu ada hubungan persaudaraan yang dapat bertahan sampai perayaan ini. Saya kurang dapat mengetahui sumbangan apa yang saya berikan kepada para Suster Karmelites di Biara “Flos Carmeli”. Tetapi sumbangan mereka bagi saya, besar melalui doanya, semangat kontemplatif, artinya dalam kerinduan akan Allah, dalam persaudaraan. Kemungkinan besar para Suster sendiri tidak menyadari apa yang mereka sumbangkan kepada orang lain, termasuk saya. Tetapi tanpa Suster menyadari sumbangan itu, saya harap Suster mau menerima ucapan terima kasih dan penghargaan saya. Semoga Allah Tritunggal yang Mahakudus tetap melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya atas biara ini dalam masa mendatang, sehingga tetap berarti bagi Gereja dan Masyarakat dari belakang tembok biara, dalam klausura yang hening dan dalam perjuangan sehari-hari untuk mengolah rahmat menjadi serupa dengan Yesus yang berdoa semalam-malaman di hadirat Bapa-Nya demi keselamatan umat manusia.
***
Batu, 8 September 2011
Rm. Cyprianus Verbeek, O.Carm.